Pengakuan bahwa Alkitab itu suatu kebenaran Wahyu, tentu bukanlah satu-satunya pembuktian yang meyakinkan. Suatu kebenaran iman hanya bisa memuaskan kita bila kita mengenal Kristus secara pribadi. Yesus sendiri pernah bersabda "Akulah gembala yang baik, dan Aku mengenal domba-dombaKu dan domba-dombaKu mengenal Aku" (Yohanes 10: 14); dan "domba-domba itu mengikuti Dia, karena mereka mengenal suaraNya" (Yohaes 10: 4).Â
Umat yang percaya padaNya mengenal siapa diriNya yaitu Putera Allah. Dan karena percaya kepadaNya, umat kristiani juga percaya pada kesaksianNya tentang Bapa dan Roh Kudus. Pengetahuan kita tentang Tuhan juga tergantung pada Roh Kudus karena Roh Kuduslah yang bersaksi tentang Tuhan bersama-sama dengan Roh kita (Roma 8: 16).Â
Allah Bapak, Pencipta yang maha kuasa, juga menyatakan diriNya kepada pikiran kita melalui dunia ciptaanNya sehingga kita tidak dapat berdalih (lihat Roma 1: 18-20; Mazmur 19).Â
Jadi pemahaman kita akan ajaran tentang Trinitas dan pengakuan kita akan kebenarannya pada akhirnya tergantung pada pengenalan pribadi kita akan Tuhan yang satu tetapi berpribadi tiga itu.Â
Pemazmur mengungkapkan hal ini secara tepat: "di dalam terangMu kami melihat terang" (Mazmur 36: 10). Hanya ketika kita mengimaniNya, budi kita diterangi untuk mengenalnya secara lebih baik, dan memahami SabdaNya dalam Alkitab secara lebih benar. Hanya dalam terang iman akal budi kita dapat memahami misteri Trinitas.
Mungkin ada yang mengira bahwa pengakuan kaum kristiani tentang inti iman mereka sebagai misteri yang tak terpahami adalah suatu dalih semata-mata karena tidak mampu menjelaskannya. Bagi mereka, kaum kristiani telah mengurbankan intelek manusiawi mereka di atas 'altar' pengakuan iman. Tetapi, sesungguhnya iman akan Trinitas menuntut hal yang lain untuk dikurbankan. Bukan intelek yang harus dikurbankan melainkan anggapan akan otonomi intelek, yaitu pemahaman bahwa intelek manusiwi merupakan penentu terakhir dari kebenaran. Kebenaran tentang Trinitas menuntut kita untuk berani menerima dan mengimani apa yang tidak secara penuh kita pahami.
Â
Dan hal ini pun bukan suatu kekecualian yang luar biasa. Dalam ilmu-ilmu lain seperti fisika, biologi, sejarah, tetap terdapat keterbatasan dalam pemahaman. Karena itu, sebuah penelitian ilmiah acap kali belum mampu mengungkap seluruh aspek dari bidang yang diteliti, sehingga peneliti berikutnya masih menemukan lagi sesuatu yang baru dalam bidang tersebut. Para peneliti ilmiah biasanya dengan rendah hati mengakui bahwa hasil penelitian mereka masih harus dikembangkan lagi oleh penelitian berikutnya. Jarang ada yang mengatakan bahwa hasil penelitiannya sudah final, dan segalanya telah diketahui. Karena itu, bukanlah hal yang memalukan bila kaum kristiani tidak mampu menjelaskan tentang Trinitas sepenuh-penuhnya. Sebaliknya, pengakuan akan ketidak-mampuan menjelaskan yang Ilahi adalah bagian dari ketundukan, ketaatan dan penerimaan hakikat diri kita sebagai makhluk terbatas yang tak mungkin menjangkau Sang Ilahi yang tak terbatas. Allah itu maha besar, sehingga intelek kita manusia ciptaanNya, terlalu kecil untuk dapat memahamiNya sepenuh-penuhnya.
Â
Keterbatasan pemahaman inilah yang menimbulkan banyak pemahaman keliru tentang Trinitas. Dalam sejarah Kekristenan telah banyak ajaran dan teori yang mencoba menjelaskan Trinitas tetapi banyak pula dari penjelasan dan teori-teori tersebut yang tidak menjelaskan hakikat Trinitas yang sesungguhnya. Karena itu, Gereja telah menegaskan bahwa ajaran-ajaran yang demikian merupakan ajaran sesat. Walaupun demikian, ajaran-ajaran yang keliru tersebut telah pula mendorong refleksi mendalam atas misteri iman ini. Refleksi mendalam atas misteri Trinitas telah berkembang dalam sejarah Kekristenan, baik karena didesak oleh perlunya penjelasan yang benar melawan ajaran sesat maupun secara positif dikemukakan oleh para pemikir Kristiani.
Â