Mohon tunggu...
WARDY KEDY
WARDY KEDY Mohon Tunggu... Relawan - Alumnus Magister Psikologi UGM
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

SAYA adalah apa yang saya TULIS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Fisiognomi dan Penilaian Karakter Wajah Hasil Editan "FaceApp"

4 Juni 2020   06:00 Diperbarui: 4 Juni 2020   18:54 1884
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
FaceApp kembali naik daun karena dibuat viral netizen yang menguti oplas challenge. (Image: GETTY/FACEAPP via express.co.uk)

Belakangan ini banyak orang sedang "demam" menggunakan aplikasi FaceApp. Di berbagai media sosial banyak yang meng-upload hasil edit foto wajah mereka masing-masing.

Sebenarnya aplikasi ini sudah sempat populer sekitar satu hingga dua tahun lalu. Kini aplikasi edit wajah itu kembali naik daun karena dibuat viral oleh para netizen untuk mengikuti Oplas Challenge yang tengah hits atau sekadar untuk seru-seruan saja. 

Wajah mereka diubah, menjadi lebih tua, atau lebih muda, atau menjadi anak kecil, bahkan sampai mengubah bentuk muka menjadi laki-laki dan perempuan.

Unik memang, ketika melihat unggahan foto dari seorang yang wajahnya berubah. Bagi saya, ini hanya sebuah aplikasi yang dipakai untuk bersenang-senang, sekalipun tentu ada bahaya yang bisa terjadi ketika menggunakannya.

Berangkat dari itu, perubahan wajah dari seorang yang mengunggah fotonya sendiri, bisa juga dikaji dari sudut pandang teoritis keilmuan. Semua orang pasti akan tahu bahwa wajah dapat menjadi cerminan kepribadian seseorang. Kepribadian merupakan bagian yang penting dalam menciptakan pergaulan atau berelasi dengan orang lain. 

Kepribadian adalah cara berinteraksi yang khas oleh individu terhadap perangsang sosial, dan kualitas diri yang dilakukan terhadap segi sosial lingkungannya. Saat berinteraksi dengan orang lain kita tentu akan bertatap muka/wajah, sekalipun secara virtual, karena wajah adalah salah satu unsur yang sangat penting dalam berkomunikasi. 

Dengan melihat dan mengenali wajah, kita bisa memahami kepribadian lawan bicara, dan tentu bisa mempengaruhi tanpa harus menyinggung perasaan lawan bicara tersebut.

Sebab itu, wajah dianggap sebagai cerminan kepribadian seseorang, karena wajah merupakan anggota tubuh manusia yang paling tampak kelihatan dan bisa menunjukkan suasana dan perasaan hati. Wajah tidak tertutup oleh apapun, sehingga kita tidak perlu meminta izin pada seseorang ketika kita ingin mencari tahu kepribadian atau karakternya.

Karena wajah bisa mencerminkan perilaku dan watak dari yang memilikinya, maka banyak peneliti kemudian mempelajari hubungan antara wajah dan kepribadian, sehingga muncul teori yang disebut dengan fisiognomi (keahlian membaca wajah atau face reading).

Dalam buku Membaca Kejujuran dan Kebohongan dari Raut Wajah (2014) yang ditulis oleh Budi Susilo, dijelaskan bahwa fisiognomi berasal dari kata Phisis yang berarti alam dan Gnomon yang berarti penilaian. 

Fisiognomi adalah seni atau ilmu yang digunakan untuk mengenal karakter seseorang dengan melihat wajah atau dikenal dengan face reading. 

Beberapa konsep analisis raut wajah dalam fisiognimi antara lain: anatomi struktur tengkorak, bentuk rambut, bentuk dahi, bentuk tulang pipi, bentuk tulang rahang, bentuk telinga, bentuk dan letak alis mata, bentuk hidung dan mulut (bibir), letak dan bentuk dagu, serta ciri atau tanda khusus pada wajah seperti tahi lalat, bekas luka, atau tanda lahiriah lainnya.

Pada dasarnya, wajah dapat memberikan banyak informasi mengenai seseorang seperti suasana hati, kesehatan, temperamen (watak atau sifat), serta status sosial dan ekonomi.

Setiap perubahan wajah yang terunggah di medsos, dan dilihat oleh orang lain, tentu menghasilkan berbagai perspektif dan penilaian. Kita mungkin tidak sadar kalau foto/gambar yang kita unggah akan mengkonstruksi pola pikir dan penilaian orang lain terhadap pribadi kita. 

Dalam keseharian, biasanya kita akan menyimpulkan bahwa seorang dengan raut/garis wajah keriput atau yang sudah tua, diindentikan dengan sifat bijaksana, tenang, wibawa dan lain sebagainya.

Atau orang dengan bentuk wajah persegi panjang, menunjukkan bahwa dia cukup kreatif dan memiliki penguasaan diri yang baik. Atau lain lagi, bentuk wajah bulat, yang menggambarkan watak seorang yang kuat dan percaya diri, serta berbagai bentuk yang bisa dianalisis.

Kendati demikian, FaceApp yang menggambarkan perbedaan wajah kita ketika diedit, nyatanya tidak menunjukkan gambaran pribadi yang sebenarnya. Sebab watak, karakter, dan kepribadian seseorang adalah suatu proses yang terbentuk secara alamiah, bukan polesan atau editan. 

Memaksakan perubahan wajah melalui editan aplikasi FaceApp, tidak akan menggambarkan keseluruhan kepribadian seseorang. Malah justru orang akan semakin bingung dengan keadaan wajah yang sudah berubah tersebut. 

Hanya saja, kebanyakan dari kita, langsung memberi komentar bahwa "wajahmu itu cocok", "wajahmu itu sangat bijaksana", "wajahmu itu imut", dan lain sebagainya.

Dalam berbagai komentar di medsos, saya kira kita jangan terlalu prematur dalam menilai pribadi seseorang hanya melalui editan wajah di aplikasi FaceApp. Karena perubahan wajah yang terpampang hanyalah sebuah editan, maka komentar kita pun harus tepat sasar.

Belum lagi, seorang laki-laki yang mengedit wajahnya menjadi seorang wanita, saya rasa ini cukup berbahaya karena kita bisa jatuh dalam pribadi yang sedikit "abnormal" karena menganggap kalau wajah kita bagus dan cocok jika diubah menjadi pribadi yang lain.

Kalau sekadar merubah wajah menjadi tua, atau muda, atau menjadi anak kecil, saya kira itu masih normal. Tetapi kalau sudah mengubah wajah sampai pada taraf gender (wajah laki-laki diedit menjadi perempuan dan sebaliknya), maka sekalipun itu dianggap biasa dan hanya untuk seru-seruan, tetapi harus diingat bahwa kecenderungan kita ke arah abnormalitas kepribadian bisa terbentuk. 

Mengapa? Karena mungkin saja seorang laki-laki akan merasa lebih 'cantik' jika jadi perempuan ketimbang laki-laki, atau sebaliknya. Kalau sampai terjadi seperti ini, saya rasa pribadi itu perlu mendapat penanganan psikologis atau terapi klinis psikologis supaya ia bisa menyadari dan menerima diri apaadanya.

Saya tidak menyalahkan penggunaan aplikasi FaceApp itu, tetapi yang mau saya garis bawahi di sini adalah bahwa kita jangan sampai tidak menerima diri atau lebih suka mengedit diri daripada merawat diri. Kita tidak boleh lebih suka dengan pribadi editan di dunia maya, daripada pribadi asli di dunia nyata. Kita harus realistis dan menerima diri apa adanya. 

Kita harus memberi apresiasi atas wajah dan bentuk muka kita yang asli (natural). Sebab dengan begitu kita akan merasa diri kita berharga, bernilai, unik, dan terbedakan dari lainnya.

Penghargaan atas diri, akan sejalan dengan meningkatnya efikasi diri (keyakinan atau kepercayaan diri individu mengenai kemampuannya), karena keberhargaan dan kebernilaian diri pada hakekatnya berawal dari diri kita sendiri. Kitalah hakim yang paling layak memberi penilaian atas diri kita sendiri. 

Tanggapan dan respons orang lain terhadap kita hanyalah tambahan untuk menegaskan eksistensi diri kita yang sebenarnya. Ingat, wajah adalah cerminan hati. Jadilah pribadi dengan wajah natural bukan artifisial, sehingga pribadi kita dapat dinilai dengan tepat.

Sebuah celotehan sederhana tapi mendalam; "wajah itu dirawat, bukan diedit" perlu kita indahkan agar kenaturalan wajah kita bisa menggambarkan kepribadian yang sesungguhnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun