Mengapa? Karena mungkin saja seorang laki-laki akan merasa lebih 'cantik' jika jadi perempuan ketimbang laki-laki, atau sebaliknya. Kalau sampai terjadi seperti ini, saya rasa pribadi itu perlu mendapat penanganan psikologis atau terapi klinis psikologis supaya ia bisa menyadari dan menerima diri apaadanya.
Saya tidak menyalahkan penggunaan aplikasi FaceApp itu, tetapi yang mau saya garis bawahi di sini adalah bahwa kita jangan sampai tidak menerima diri atau lebih suka mengedit diri daripada merawat diri. Kita tidak boleh lebih suka dengan pribadi editan di dunia maya, daripada pribadi asli di dunia nyata. Kita harus realistis dan menerima diri apa adanya.Â
Kita harus memberi apresiasi atas wajah dan bentuk muka kita yang asli (natural). Sebab dengan begitu kita akan merasa diri kita berharga, bernilai, unik, dan terbedakan dari lainnya.
Penghargaan atas diri, akan sejalan dengan meningkatnya efikasi diri (keyakinan atau kepercayaan diri individu mengenai kemampuannya), karena keberhargaan dan kebernilaian diri pada hakekatnya berawal dari diri kita sendiri. Kitalah hakim yang paling layak memberi penilaian atas diri kita sendiri.Â
Tanggapan dan respons orang lain terhadap kita hanyalah tambahan untuk menegaskan eksistensi diri kita yang sebenarnya. Ingat, wajah adalah cerminan hati. Jadilah pribadi dengan wajah natural bukan artifisial, sehingga pribadi kita dapat dinilai dengan tepat.
Sebuah celotehan sederhana tapi mendalam; "wajah itu dirawat, bukan diedit" perlu kita indahkan agar kenaturalan wajah kita bisa menggambarkan kepribadian yang sesungguhnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H