Mohon tunggu...
WARDY KEDY
WARDY KEDY Mohon Tunggu... Relawan - Alumnus Magister Psikologi UGM
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

SAYA adalah apa yang saya TULIS

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Akrabnya Filsafat dan Sastra

20 Mei 2020   08:55 Diperbarui: 20 Mei 2020   08:52 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karya sastra memiliki keakraban dengan filsafat. Sama-sama memungut realitas sebagai sumber inspirasi. Bedaannya, terletak pada metodologi yang digunakan. Sastra merupakan ziarah penjelajahan seluruh realitas tanpa pretensi membuat rumusan sistematis, sedangkan filsafat tampil sebagai refleksi atas ziarah dimaksud secara sistematis. 

Pada titik ini, filsafat mengambil sastra sebagai bahan bakunya. Keakraban demikian, ditunjukkan pula oleh kemampuan sastra untuk menjelaskan konsepsi filosofis secara lebih komunikatif, segar dan hidup.

Berbicara tentang sastra berarti berbicara tentang manusia dan masyarakat," tulis Mochtar Lubis. Oleh sebab itu, karya sastra tidak dapat dipisahkan dari pemikiran-pemikiran dan perasaan yang hadir di masyarakat. 

Ia dipandang sebagai cerminan suatu kondisi atau keadaan yang tengah berkembang. Dengan demikian, karya sastra tidak saja melulu bermuatan estetis. 

Dalam karya sastra terpancar juga pemikiran, kehidupan, dan tradisi yang hidup dalam suatu masyarakat. Dengan demikian, berbicara karya sastra berarti juga berbicara tentang budaya. 

Hubungan filsafat dengan sastra berkaitan dengan muatan atau isinya. Filsafat akan bermakna dalam sastra kalau sastra diisi dengan nilai-nilai. Jadi, sastra berfungsi mengkomunikasikan nilai-nilai tersebut sedemikian rupa berdasarkan karaker sastra. 

Sastra mengandung unsur hiburan sehingga nikmat dibaca. Keuntungan filsafat dengan sastra yaitu pemikiran kefilsafatan jadi tidak terasa. Sastra tidak menggurui beda dengan filsafat yang murni. Filsafat disebut sebagai pengetahuan lapis kedua bahkan ketiga.

Dalam pendapat lain mengemukakan: hubungan sastra dan filsafat laksana dua sisi mata uang, permukaan yang satu tidak dapat dipisahkan dari permukaan yang lainnya, bersifat komplementer, saling melengkapi. 

Masalahnya, karya sastra membicarakan dunia manusia. Demikian juga filsafat, betapapun penekanannya pada usaha unutuk mempertanyakan hakikat dan keberadaaan manusia, sumbernya tetap bermuara pada manusia sebagai objeknya. Jika demikian apakah kemudian itu berarti karya sastra identik dengan filsafat? 

Tentu saja tidak. Mengapa tidak? Di mana pula letak persamaan dan perbedaannya? Justru dalam hal itulah hubungan sastra dengan filsafat lalu melahirkan masalah sendiri.

Secara asasi, baik karya sastra maupun filsafat, sebenarnya merupakan refleksi pengarang atas keberadaan manusia. Hanya, jika karya sastra merupakan refleksi evaluatif, maka filsafat merupakan refleksi kritis. 

Apa yang diungkapkan filsafat adalah catatan kritis yang awal dan akhirnya ditandai dengan pertanyaan radikal yang menyangkut hakikat dan keberadaan manusia. Itulah, di antaranya, yang membedakan karya sastra dan filsafat.

Dalam konteks itu, perlu diingatkan bahwa gagasan filsafat yang dibungkus ke dalam kemasan sastra, tetaplah mesti ditempatkan sebagai karya sastra. 

Artinya, bahwa karya itu tidak dapat begitu saja meninggalkan konvensi kesastraannya. Gagasan filsafat yang terkandung dalam karya itu seyogianya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari unsur-unsur kesastraan lainnya. 

Dengan demikian, gagasan filsafat itu akan lebur menjadi salah satu unsur yang justru ikut membangun nilai-nilai estetika karya bersangkutan.

Kecenderungan sastrawan yang terbawa oleh hasrat besarnya untuk berfilsafat dan mengabaikan nilai estetika kesastraan, akan tergelincir jatuh pada karya yang lebih dekat ke karya filsafat daripada ke karya sastra.

Akibatnya, karya itu akan kehilangan daya tarik dan gregetnya sebagai karya sastra, karena ia lebih mementingkan gagasan filsafatnya daripada nilai estetiknya. Dengan demikian karya itu - boleh jadi - lebih tepat ditempatkan sebagai karya filsafat daripada karya sastra.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun