Pendidikan merupakan aspek vital bagi hidup manusia. Semua yang dilakukan manusia selama ia hidup merupakan bagian dari proses dan sekaligus produk pendidikan. Ki Hadjar Dewantoro menyebutnya sebagai life-long education yang diartikan sebagai proses pendidikan sepanjang hayat.Â
Berkat kegigihan dan perjuangan beliau, berdirilah lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi untuk bisa memperoleh hak pendidikan, seperti halnya para bangsawan maupun orang-orang Belanda di masa kolonial. Dari sini, maka setiap tanggal 02 Mei, diperingati Hari Pendidikan Nasional (HARDIKNAS).
Mencermati wajah pendidikan di Indonesia, kita harus jujur bahwa terdapat banyak persoalan yang sedang terjadi. Bahkan persoalan itu muncul dari Perguruan Tinggi (PT). Banyak alumni PT yang memiliki nilai bagus dan bergelar namun ketika kembali ke masyarakat, mereka bingung dan tidak tahu apa yang harus dibuat. Untuk mengantisipasi tuntutan perkembangan globalisasi, PT harus bisa melayani berbagai kebutuhan masyarakat secara kompetitif.Â
Nilai kompetitif PT sesungguhnya terdapat pada kemampuannya melayani kebutuhan yang ada dimasyarakat. Fakta menunjukkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia, khususnya di Perguruan Tinggi lebih banyak mencetak lulusan ketimbang lapangan kerja yang tersedia. Inilah cikal bakal meningkatnya angka pengangguran di Indonesia.
Kalau melihat data Badan Pusat Statistik, jumlah angkatan kerja pada Februari 2019 sebanyak 136,18 juta orang, naik 2,24 juta orang dibanding Februari 2018. Sejalan dengan naiknya jumlah angkatan kerja, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) juga meningkat sebesar 0,12 persen poin.Â
Dalam setahun terakhir, pengangguran berkurang 50 ribu orang, sejalan dengan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) yang turun menjadi 5,01 persen pada Februari 2019, (BPS, dirilis pada 06 mei 2019). Memang TPT sudah menurun dibanding tahun sebelumnya, akan tetapi, kalau dikonversi ke jumlah orang, maka totalnya masih cukup besar penduduk yang tidak ada pekerjaan.
Bercermin dari data ini, dapat kita katakan bahwa sistem pendidikan di Indonesia, sampai sekarang masih berorientasi pada menghasilkan lulusan walaupun tingkat kemandirian dan semangat kewirausahaannya sangat rendah. Presentasi lulusan PT yang bisa menghasilkan lapangan pekerjaan sendiri masih redah.Â
Persoalan ini kemudian menjadi fokus utama para petinggi negara-negara anggota PBB mengangkat rangkaian Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030 yang menyertakan 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, atau Sustainable Development Goals (SDGs). Salah satu tujuan SDGs adalah menjamin pendidikan yang inklusif dan setara secara kualitas serta mendukung kesempatan belajar seumur hidup bagi semua.
Jika demikian, apa solusi yang harus dilakukan agar output dari dunia pendidikan bisa menjawab kebutuhan masyarakat? Sebagai respon terhadap kompleksitas permasalahan pendidikan di Indonesia saat ini, Saya memberikan solusi dengan mengimplementasikan konsep Pendidikan Berbasis Masyarakat (Community-Based Education) dalam penyelenggaraan pendidikan nasional.Â
Pendidikan berbasis masyarakat (CBE) merupakan pendidikan yang dirancang, dilaksanakan, dinilai, dikembangkan dan dievaluasi oleh masyarakat, guna menjawab tantangan dan peluang yang ada di masyarakat (Sihombing, 2001). Dengan kata lain, pendidikan berbasis masyarakat adalah konsep pendidikan 'dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat'. Jelaslah bahwa yang menjadi acuan dalam memahami pendidikan berbasis masyarakat adalah pendidikan 'luar sekolah', karena bertumpu pada masyarakat, bukan pada pemerintah.
Walau demikian, pendidikan berbasis masyarakat sesungguhnya tidak hanya dapat dilaksanakan melalui jalur pendidikan luar sekolah (nonformal). UU No. 20 Tahun 2003 pasal 13 ayat (1) menyebutkan bahwa 'jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya'.Â
Oleh karena itu, pendidikan berbasis masyarakat dapat juga mengambil jalur formal, nonformal dan informal. Pendidikan berbasis masyarakat dengan proses formal biasanya merupakan pendidikan yang diselenggarakan oleh organisasi birokrasi formal semisal sekolah atau universitas.Â
Pendidikan berbasis masyarakat dengan proses nonformal dapat mengambil bentuk pendidikan di luar kerangka sistem formal yang menyediakan jenis pelajaran terpilih, seperti di perpustakaan atau museum dan berbagai lembaga kerajinan tangan. Adapun pendidikan berbasis masyarakat dengan proses informal merupakan pendidikan yang diperoleh individu melalui interaksinya dengan orang lain di tempat kerja, atau dengan keluraga di lingkungan tempat tinggal.
Pendidikan berbasis masyarakat sejatinya didasarkan pada konsep pedagogik kritis (grounded in critical theory and pedagogy). Jika dalam paradigma pendidikan konservatif, pendidikan bertujuan untuk menjaga status quo, maka dalam pedagogik kritis, pendidikan diarahkan demi terciptanya perubahan struktur secara fundamental dalam hidup bermasyarakat.Â
Dalam perspektif pedagogik kritis, pendidikan tidak mungkin berjarak dengan masyarakat. Karena itu, tugas utama pendidikan adalah 'memanusiakan' manusia yang mengalami dehumanisasi karena sistem dan struktur yang tidak adil (Freire, 2000). Karena itu, penerapan konsep pendidikan berbasis masyarakat cukup perlu diimplementasikan, agar pendidikan senantiasa bebas dari dominasi dan hegemoni kekuasaan serta 'feodalisme' kampus.
Dari uraian di atas disimpulkan bahwa segala urusan dan keputusan dalam sistem pendidikan berbasis masyarakat ditentukan oleh masyarakat, mulai dari masalah input, proses, dan output pendidikan, hingga masalah pendanaan. Sebuah model yang dapat dijadikan contoh bagi pendidikan berbasis masyarakat antara lain lembaga kursus dan pelatihan seperti lembaga kursus komputer, kursus bahasa asing, kursus seni musik dan tari, kerajinan tangan dan sebagainya.Â
Selain itu, ada juga kelompok belajar dan pusat kegiatan belajar masyarakat, serta satuan pendidikan sejenis yang merupakan pendidikan nonformal yang dilakukan oleh masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap, dimana cakupannya luas dan memerlukan landasan hukum, seperti pra sekolah (kelompok bermain, penitipan anak), balai latihan dan penyuluhan, kepramukaan, padepokan pencak silat, sanggar kesenian dan lain-lain.
Sayangnya, semua jenis lembaga sekolah nonformal ini masih kurang mendapat perhatian serius dari Pemerintah, sehingga acap kali terbengkalai dan akhirnya bubar. Di sini peran Pemerintah daerah sangat urgen, karena Pemda-lah yang sangat paham akan kondisi real masyarakatnya.Â
Pemerintah Pusat melalui Pemerintah Daerah harus berkolaborasi membangun pendidikan yang tepat sasar demi menjawab kebutuhan masyarakat. Melalui dana Desa yang ada saat ini, saya mengusulkan agar penggunaannya bisa dialokasikan untuk membangun gedung Sekolah yang masih kurang layak di daerah terpencil.Â
Di samping itu, dana Desa juga bisa dialokasikan ke beberapa lembaga pendidikan nonformal yang ada di desa, seperti taman baca, rumah pintar dan sebagainya, agar buta aksara dan angka anak putus sekolah bisa tertasi. Selain itu, pemerintah perlu mendukung rancangan 'kurikulum pendidikan berbasis masyarakat' untuk bisa dipakai oleh berbagai lembaga pendidikan nonformal, yang mana bentuk dan kebijakannya diambil serta diatur dari dan oleh masyarakat sendiri. Dengan demikian, kebutuhan masyarakat terjawabi dan lulusan PT pun bisa berkreasi dan berinovasi mengebangkan ilmu yang sudah diperoleh.
Selamat Hari Pendidikan Nasional untuk kita semua, semoga harapan Negara untuk mencerdaskan anak bangsa dapat terwujud. Jayalah Pendidikan Indonesia!
Referensi Ide:
Cunningham, P.M. (1994). Community Education and Community Development dalam The International Encyclopedia of Education, editor kepala Torsten Husen dan T. Neville Postlethwaite, Vol. II. Oxford: Pergamon
Freire, Paulo. (2000). Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, alih bahasa Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartanto. Cet. II; Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nielsen, Dean. (2001). Memetakan Konsep Pendidikan Berbasis Masyarakat di Indonesia dalam Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (Eds.), Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah. Cet.I; Yogyakarta: Adicita Karya Nusa
Sihombing, Umberto, (2001). Konsep dan Pengembangan Pendidikan Berbasis Masyarakat dalam Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (Eds.), Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. Cet. I; Yogyakarta: Adicita Karya Nusa. 2001.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI