Pelaku bullying harus ditangani dengan psiko-edukasi berdasar kesabaran dan empati, sembari tidak menyudutkannya dengan pertanyaan yang interogatif. Mereka perlu diberi kepercayaan agar dapat memperbaiki dirinya.
Empati dan rasa bersalah perlu ditumbuhkan, agar mereka dapat merasakan perasaan yang dialami korban saat menerima perlakuan bullying. Pelaku perlu diberi pengakuan akan kelebihan atau bakat di bidang yang positif. Tindakan tegas dan disiplin dari pihak Seminari dengan mengeluarkan (drop out) pelaku, sudah sangat tepat.
Sekarang, yang perlu diperhatikan adalah pendampingan yang intens terhadap para Seminaris (khususnya korban/adik kelas) yang masih berada di Seminari. Rasa bersaudara dan bersahabat antara kakak dan adik kelas perlu ditingkatkan, semisal dengan membangun semangat kolaborasi dan kerja sama di antara mereka.
Disamping itu, korban bullying memerlukan penangan khusus. Korban bullying mungkin lebih cenderung menutup diri, stres, tertekan, takut, cemas, bahkan bisa sampai pada trauma dan depresi. Karena itu, perlu ditumbuhkan rasa nyaman dan percaya diri agar dia menjadi lebih terbuka dalam menerima masalahnya.
Jika korban sudah terbuka dan bisa lebih tenang, maka hal selanjutnya yang harus dilakukan yaitu menghormati pilihan dan membekalinya dengan cara positif dalam menghadapi tekanan atau stressor di Seminari.
Korban bullying harus diajari untuk menghadapi bullying dengan tegas tapi peduli. Rasa percaya diri korban bullying perlu ditingkatkan sehingga mampu menghadapi tekanan dengan tegar dan kemungkinan besar tidak menimbulkan dendam. Dengan begitu, mata rantai 'tradisi buruk' di Seminari bisa terputus.