Terlebih orang NTT, dengan label 'kepala batu' yang melekat, saya bisa pastikan bahwa perilaku taat atau kepatuhan terhadap suatu himbauan (instruksi) masih rendah.
Problem sulit taat atau tidak patuh pada peraturan dan atau himbauan, bukan sesuatu yang baru dalam realitas sosial kita. Kalau kita bertanya kepada masyarakat, jawaban mereka sangat biasa, bahwa ketidak-patuhan mereka selalu beralasan. Memang tidak mudah menghadapi hal ini.
Akan tetapi, kita tak boleh jenuh mengkampanyekan himbauan untuk tidak keluar rumah, selalu memakai masker, selalu mencuci tangan dan berbagai anjuran lainnya agar penularan virus mematikan ini tidak semakin besar.
Persoalan Kepatuhan: Obedience atau Compliance?
Kali ini saya coba soroti persoalan kepatuhan publik dari sudut pandang psikologi sosial, secara khusus dalam teori dinamika kelompok dan pengaruh sosial.
Kita tahu bahwa sebagai pribadi yang hidup di tengah masyarakat, dengan tata aturan nilai dan norma sosial yang berlaku didalamnya, kita memiliki seperangkat aturan untuk dipatuhi sehubungan dengan diterimanya kita dalam suatu masyarakat.
Apabila kita tidak mematuhi tata aturan tersebut, kita akan dianggap tidak patuh dan menyimpang. Ini semua terjadi karena adanya pengaruh sosial (sosial influence), di mana pengaruh sosial tersebut akan mengubah sikap, perilaku, dan persepsi orang lain. Sekurang-kurangnya ada 3 aspek penting dalam pengaruh sosial, yaitu: compliance, obedience dan conformity. Teori compliance dikembangkan oleh Green dan Kreuters (1991), yang menurutnya kepatuhan adalah ketaatan melakukan suatu yang dianjurkan atau respon yang diberikan terhadap sesuatu diluar subyek. Sementara itu, teori obedience dikembangkan oleh Stanley Milgram dalam serangkaian eksperimennya pada tahun 1963. Milgram menyatakan bahwa kunci untuk patuh atau tidak bergantung pada figur otoritas. Seseorang yang tidak mematuhi aturan akan dianggap tidak memiliki sikap kepatuhan. Beberapa contoh ketidakpatuhan diantaranya adalah pelanggaran tata tertib sekolah, pelanggaran lalu lintas, Pelanggaran pajak, tidak mengikuti anjuran atau instruksi Pemerintah dll.
Bila diterjemahkan ke dalam kata bahasa Indonesia, baik obedience maupun compliance memiliki arti yang sama yaitu kepatuhan. Namun sebenarnya jika dimaknai secara lebih detail, obedience dan compliance memiliki arti yang berbeda. Dalam pemahaman sederhana, compliance berarti melakukan sesuatu yang dianjurkan atau respon yang diberikan terhadap situasi dari luar subyek. J.A Mayers (2008), memberikan arti compliance sebagai suatu kesepakatan yang dibuat oleh seseorang tanpa adanya beban atau paksaan, sehingga dapat dilakukan secara tulus, tanpa merasa terbebani. Hal ini juga didukung oleh Robert Cialdini (2007).yang mengatakan bahwa compliance merupakan suatu bentuk pengaruh sosial, dan berfokus pada kemauan seseorang untuk mengikuti, serta melakukan permintaan seseorang dengan tidak terpaksa atau ikhlas. Dari sini, dapat disimpulkan bahwa compliance merupakan tindakan seseorang yang bersedia melakukan suatu hal karena dia menyetujui sebuah permintaan dan bukan karena perintah atau paksaan dari atasan. Semisal, seorang tenaga medis (perawat), akhirnya menggunakan APD secara lengkap setelah menyetujui dan sadar bahwa APD itu akan melindunginya dari penyebaran virus.
Sementara itu, obedience menurut Stanley Milgram adalah suatu bentuk prilaku dimana seseorang mematuhi perintah langsung dari pimpinan. Obedience menjadikan seseorang melakukan perubahan sikap dan tingkah lakunya untuk mengikuti permintaan atau perintah orang lain tanpa membutuhkan persetujuan dari orang tersebut. Obedience dikatakan terjadi jika seseorang mengikuti perintah atasannya tanpa mempertanyakan untuk apa perintah tersebut. Contoh kecil dari obedience, lebih banyak terjadi pada dunia anak-anak, yakni jika seorang anak diperintahkan oleh orangtuanya untuk menuruti kata-kata orang tuanya, atau menghargai orang lain yang lebih tua darinya, atau di lingkungan sekolah misalnya, di mana seorang murid dituntut untuk menuruti perintah gurunya selama di sekolah. Contoh sederhana dalam situasi saat ini adalah demikian; Keluarga pasien akan menggunakan masker jika ada tenaga medis yang meminta atau mengontrolnya. Artinya, ia akan taat dan patuh karena ada orang lain, dan bukan dari kesadarannya sendiri. Untuk lebih memahaminya, berikut disajikan perbedaan kedua konsep tersebut dalam tabel:
Berdasarkan dua pemahaman tentang compliance dan obedience yang menjelaskan definisi kepatuhan tadi, maka dapat disimpulkan bahwa kepatuhan merupakan suatu tindakan yang dilakukan seseorang karena adanya stimulus tertentu. Stimulus yang menyebabkan kepatuhan tersebut dapat berupa permintaan, peraturan, perintah, maupun paksaan yang akhirnya menimbulkan tindakan patuh untuk mengikuti stimulus. Kepatuhan sebagai perilaku positif dinilai merupakan sebuah pilihan. Artinya individu memilih untuk melakukan, mematuhi, merespon secara kritis suatu aturan, himbauan, hukum, norma sosial, permintaan, maupun keinginan dari orang lain yang memegang otoritas ataupun peran penting (Morselli dan Passini, 2012). Bertolak dari sini, kita sudah bisa menemukan bahwa bentuk kepatuhan masyarakat saat ini (khususnya orang NTT) dalam menghadapi pandemi Covid-19, sedikit banyak mengarah ke konsep obedience. Alasan sederhananya karena pada dasarnya, masyarakat kita akan lebih taat kalau diawasi atau adanya 'power' yang berkuasa dan memaksa. Memang, tidak semua yang seperti itu, masih ada banyak orang lain yang memang melaksanakan perilaku patuh berdasarkan konsep compliance.
Konformnitas (conformity): Pengaruh Sosial yang (mungkin) Diperlukan