Tapi semua usaha itu tidak pernah membuahkan hasil. Arka seperti tembok tebal yang tidak bisa ditembus oleh kasih sayang maupun kemarahan.
Seiring berjalannya waktu, tekanan mental yang dirasakan Mira semakin berat. Dia merasa seperti tenggelam dalam lautan yang dalam, tidak ada jalan keluar, dan tidak ada tempat untuk bernafas. Semakin keras dia berusaha, semakin besar pula beban yang harus ditanggungnya.Â
Di dalam hatinya, Mira mulai merasakan ketakutan yang lebih besar dari sebelumnya. Dia takut bukan hanya pada masa depan Arka, tapi juga pada pengaruh buruk yang mungkin ditimbulkan anak itu terhadap Rara.
Suatu malam, setelah semua orang tertidur, Mira duduk di meja makan sendirian. Dia menatap foto keluarga mereka yang diambil beberapa tahun lalu, sebelum semua kekacauan ini terjadi. Di foto itu, Iwan masih terlihat sehat, dengan senyumnya yang hangat.Â
Arka, yang saat itu masih kecil, tersenyum ceria di sebelah ayahnya. Melihat foto itu, air mata Mira jatuh dengan deras. "Di mana aku salah?" tanyanya dalam hati, berusaha mencari jawaban dari semua penderitaan yang dialaminya.
Malam itu, Mira berdoa, berharap bahwa suatu hari, entah bagaimana caranya, Arka bisa berubah. Tapi di dalam lubuk hatinya, dia tahu bahwa harapan itu semakin tipis, seiring dengan semakin besarnya kesedihan dan kemarahan yang dirasakannya setiap kali melihat anaknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H