Ibu yang Tertekan
Sejak kematian Iwan, kehidupan di rumah menjadi lebih suram. Kepergian suaminya meninggalkan luka yang dalam bagi Mira, baik secara emosional maupun finansial. Dengan segala tanggung jawab yang kini menumpuk di pundaknya, Mira harus mencari cara untuk bertahan hidup.Â
Dia mengambil pekerjaan tambahan, bekerja siang dan malam demi mencukupi kebutuhan anak-anaknya. Namun, semakin keras dia bekerja, semakin berat beban yang terasa di hatinya. Setiap kali melihat Arka, yang semakin hari semakin sulit diatur, perasaan benci dan penyesalan perlahan menggerogoti dirinya.
Saat malam tiba, di sela-sela pekerjaannya yang tak pernah usai, Mira sering termenung sendirian di ruang tamu, memikirkan nasib buruk yang menimpa keluarganya.Â
"Kenapa aku harus melahirkan anak ini?" pertanyaan itu selalu muncul dalam benaknya, meskipun dia tahu betapa menyakitkannya pikiran itu. Arka, yang seharusnya menjadi kebanggaan keluarga, malah menjadi sumber kesedihan dan kekhawatiran.
Arka, yang sejak kecil sudah menunjukkan sikap pemberontak, kini menjadi semakin susah diatur. Ucapannya kasar, tindakannya sering kali menimbulkan masalah, dan yang paling menyakitkan bagi Mira adalah kenyataan bahwa dia seolah tidak peduli dengan perasaan orang lain.Â
Setiap kali dia berbicara, kata-katanya menusuk seperti belati, menyakiti hati siapa pun yang mendengarnya.Â
Di sekolah, Arka pun tidak jauh berbeda. Guru-guru sering memanggil Mira, mengeluhkan tingkah laku Arka yang semakin memburuk. Tidak hanya itu, teman-teman sekelasnya pun perlahan menjauhinya. Tidak ada yang tahan dengan sikapnya yang keras kepala dan agresif.
Suatu hari, saat Mira baru saja pulang dari bekerja, dia mendapatkan telepon dari sekolah Arka. "Ibu Mira, kami ingin membicarakan tingkah laku Arka di sekolah," suara di ujung telepon terdengar tegas namun penuh keprihatinan. "Arka terlibat perkelahian lagi, dan kali ini dia hampir memukul seorang guru."
Mira, yang sudah terlalu lelah baik secara fisik maupun mental, hanya bisa mendesah berat. Rasanya dia sudah terlalu sering mendengar keluhan serupa. Dia datang ke sekolah dengan hati yang berat, berharap bahwa kali ini dia bisa menemukan solusi untuk masalah yang terus menumpuk.Â
Namun, saat bertemu dengan kepala sekolah dan mendengar penjelasan lebih lanjut tentang kenakalan Arka, Mira hanya bisa terdiam. Di depan kepala sekolah, dia mencoba mempertahankan ketenangannya, tetapi di dalam hatinya, dia merasa hancur.
"Bu, kami sudah memberikan banyak peringatan pada Arka. Tapi sepertinya tidak ada yang bisa mengubah sikapnya," ucap kepala sekolah dengan nada prihatin. "Kami khawatir, jika ini terus berlanjut, Arka mungkin harus dikeluarkan."
Ucapan itu menghantam Mira seperti palu godam. Dikeluarkan? Mira tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya hidup mereka jika Arka sampai dikeluarkan dari sekolah.Â
Meski seburuk apapun sikap anak itu, dia tetap ingin Arka mendapatkan pendidikan yang layak. Namun, kenyataan semakin menghimpitnya. Dia merasa tak berdaya, tidak tahu harus berbuat apa lagi untuk menolong anaknya.
Setelah pertemuan itu, Mira membawa pulang Arka dengan perasaan kacau. Dalam perjalanan pulang, dia tidak berkata apa-apa. Arka pun tetap diam, meski di wajahnya tidak ada tanda-tanda penyesalan sedikitpun.Â
Sampai di rumah, Mira langsung menuju kamar mandi, menatap cermin dengan mata yang penuh air mata. "Dia benar-benar anak setan," gumamnya lirih. "Tak ada yang bisa menolong anak ini."
Di malam-malam yang sunyi, ketika rumah sudah sepi, Mira sering duduk di kamarnya, menangis tanpa suara. Setiap kali melihat Arka, yang terus-menerus membawa kesialan, dia merasa seolah hidupnya berubah menjadi neraka.Â
Pikirannya dipenuhi oleh kenangan akan Iwan yang meninggal dengan penuh penderitaan, akibat perbuatan anak mereka sendiri. Setiap kali melihat Rara, adik Arka yang masih kecil, hatinya semakin berat.Â
Rara adalah anak yang lembut, penuh kasih sayang, namun setiap kali dia mencoba mendekati kakaknya, yang didapatnya hanyalah teriakan dan hinaan.
Rara, meskipun masih kecil, sering kali menjadi sasaran kemarahan Arka. Bahkan hal sepele seperti suara tawa Rara bisa memicu amarah Arka. "Diam, Rara! Jangan ketawa bodoh kayak gitu!" teriak Arka suatu hari, membuat Rara yang sedang bermain sendirian langsung menangis tersedu-sedu.Â
Mira, yang menyaksikan kejadian itu, hanya bisa memeluk Rara erat-erat, menenangkan anak perempuannya dengan air mata yang tak bisa lagi ditahannya. Tatapan dingin Arka saat melihat adiknya menangis semakin membuat Mira merasa takut.
Di dalam hati Mira, dia sering kali merasa bimbang. Bagaimanapun, Arka adalah darah dagingnya. Namun, setiap kali dia melihat anak itu, yang muncul hanyalah rasa takut dan kemarahan. Berkali-kali dia mencoba menasihati Arka, berbicara dengan lembut, bahkan dengan nada tegas dan marah.
 Tapi semua usaha itu tidak pernah membuahkan hasil. Arka seperti tembok tebal yang tidak bisa ditembus oleh kasih sayang maupun kemarahan.
Seiring berjalannya waktu, tekanan mental yang dirasakan Mira semakin berat. Dia merasa seperti tenggelam dalam lautan yang dalam, tidak ada jalan keluar, dan tidak ada tempat untuk bernafas. Semakin keras dia berusaha, semakin besar pula beban yang harus ditanggungnya.Â
Di dalam hatinya, Mira mulai merasakan ketakutan yang lebih besar dari sebelumnya. Dia takut bukan hanya pada masa depan Arka, tapi juga pada pengaruh buruk yang mungkin ditimbulkan anak itu terhadap Rara.
Suatu malam, setelah semua orang tertidur, Mira duduk di meja makan sendirian. Dia menatap foto keluarga mereka yang diambil beberapa tahun lalu, sebelum semua kekacauan ini terjadi. Di foto itu, Iwan masih terlihat sehat, dengan senyumnya yang hangat.Â
Arka, yang saat itu masih kecil, tersenyum ceria di sebelah ayahnya. Melihat foto itu, air mata Mira jatuh dengan deras. "Di mana aku salah?" tanyanya dalam hati, berusaha mencari jawaban dari semua penderitaan yang dialaminya.
Malam itu, Mira berdoa, berharap bahwa suatu hari, entah bagaimana caranya, Arka bisa berubah. Tapi di dalam lubuk hatinya, dia tahu bahwa harapan itu semakin tipis, seiring dengan semakin besarnya kesedihan dan kemarahan yang dirasakannya setiap kali melihat anaknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H