Pertemuan dengan Morgath
Di puncak Gunung Kuno, angin dingin berhembus kencang, membawa serta aroma mistis yang membekukan hati. Alena dan Cedric berdiri di depan altar besar, dikelilingi oleh pilar-pilar batu kuno yang terlihat seperti penjaga abadi yang mengawasi sejak zaman dahulu. Di tengah altar itu, bersinar terang, tampak sebuah benda berkilauan yang memancarkan aura suci—Cahaya Kehidupan. Itulah artefak yang selama ini mereka cari, sebuah kekuatan purba yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan dunia.
Namun, sebelum Alena bisa mendekati artefak itu, bayang-bayang di sekitarnya mulai bergerak. Udara menjadi semakin dingin dan tebal dengan kekuatan kegelapan. Dari dalam bayang-bayang yang gelap, sosok tinggi dan mengintimidasi muncul. Ia mengenakan jubah hitam yang berkibar tertiup angin, wajahnya ditutupi oleh topeng perak yang memantulkan cahaya aneh, sementara mata merah menyala itu bersinar seperti api neraka, memancarkan kebencian yang dalam.
“Morgath…” bisik Alena dengan gemetar. Meski ia telah mempersiapkan diri untuk pertemuan ini, kehadiran Morgath lebih mengerikan dari yang ia bayangkan. Kegelapan yang mengelilingi pria itu seolah hidup, melingkupi tempat itu dan memadamkan cahaya di sekitar mereka.
Morgath tertawa jahat, suara tawanya terdengar seperti ribuan bisikan mengerikan yang menggema di telinga mereka. “Kau pikir bisa menghentikan aku, Putri kecil?” suaranya penuh ejekan. “Kekuatanku melampaui apa yang bisa kau bayangkan. Cahaya Kehidupan itu tidak akan pernah menjadi milikmu. Kegelapan ini adalah takdir dunia.”
Dengan satu gerakan tangannya yang tampak ringan, Morgath menciptakan dinding kegelapan yang mengurung mereka di altar. Cahaya alami seolah lenyap begitu saja, digantikan oleh kegelapan pekat yang menekan setiap jiwa yang ada di tempat itu. Cedric, yang setia mendampingi Alena, segera maju dengan pedangnya, mencoba menyerang Morgath dengan keberanian luar biasa. Namun, Morgath hanya melambaikan tangannya, menciptakan perisai sihir gelap yang tak tertembus. Cedric terpental mundur dengan keras, jatuh ke tanah dan mengerang kesakitan.
“Tidak ada tempat untukmu di sini, ksatria rendahan,” ejek Morgath tanpa rasa belas kasihan. “Kau hanyalah gangguan kecil dalam rencana besarku.”
Alena melirik Cedric yang berjuang bangkit. Meski tubuhnya sakit, tekad di matanya masih menyala. Namun, Alena tahu bahwa pertarungan ini bukan hanya soal kekuatan fisik. Morgath adalah lawan yang jauh lebih kuat dari apa pun yang pernah mereka hadapi. Kekuatan gelapnya begitu besar, dan Alena bisa merasakan ketakutan mulai merayapi hatinya. Namun, di saat yang sama, ia tahu bahwa inilah momen yang telah ditakdirkan untuknya.
Alena memegang kristal Kunci Takdir dengan erat di tangannya, merasakan getaran cahaya di dalamnya yang semakin kuat. Cahaya di dalam dirinya berpendar lebih terang dari sebelumnya, seolah menjawab panggilan dari Cahaya Kehidupan yang berada di altar. Ia mengambil napas dalam-dalam, menenangkan diri meski kegelapan di sekelilingnya semakin mendalam.
“Morgath,” Alena bersuara, nadanya tegas meski ada getar samar di dalamnya, “kau tidak bisa mengambil kegelapan yang bukan milikmu. Cahaya ini adalah warisan leluhurku, dan aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan kerajaanku. Cahaya selalu hadir untuk mengusir kegelapan, dan aku akan memastikan kau tidak akan berhasil.”
Morgath tertawa lagi, kali ini lebih keras, seakan tidak terancam oleh perkataan Alena. “Cahaya itu tidak akan cukup, Putri. Kekuatanku lebih tua dari dunia ini. Aku telah hidup lebih lama dari leluhurmu, dan aku telah melihat kerajaan-kerajaan jatuh. Kau tidak bisa menghentikanku!”