Perjalanan Menuju Gunung Kuno
Keesokan paginya, saat embun masih menetes di dedaunan dan kabut tipis menyelimuti istana, Alena berjalan dengan langkah mantap menuju aula utama, di mana kedua orang tuanya, Raja Andros dan Ratu Selene, telah menunggu. Ia tahu bahwa apa yang akan ia sampaikan tidak mudah diterima, namun ancaman Morgath tidak bisa diabaikan. Dengan suara tegas, Alena menceritakan pengalaman malam sebelumnya---tentang cermin tua, bayangan Morgath, dan peringatan gelap yang diterimanya.
Raja Andros mendengarkan dengan seksama, kedua tangannya menggenggam erat sandaran kursi takhtanya. Wajahnya yang tegar mulai menunjukkan kerut keprihatinan yang mendalam. Sementara itu, Ratu Selene menatap putrinya dengan mata penuh kekhawatiran, namun ada kilatan keyakinan dalam sorot matanya. Mereka tahu bahwa ini bukan sekadar mimpi buruk atau halusinasi. Ini adalah peringatan nyata dari kegelapan yang mendekat.
"Anakku, Morgath adalah musuh yang sangat kuat," kata Raja Andros dengan suara berat. "Dia tidak akan mudah dikalahkan. Namun, kami percaya pada kekuatan yang kau miliki. Darah para leluhur yang menundukkan Morgath dulu mengalir dalam dirimu."
Ratu Selene, dengan penuh kelembutan namun tegas, menambahkan, "Alena, ada sesuatu yang harus kau ketahui. Morgath tidak bisa dilawan hanya dengan kekuatan senjata atau prajurit. Kau harus pergi ke Gunung Kuno. Di sana, tersembunyi sebuah artefak yang dikenal sebagai *Cahaya Kehidupan*. Artefak itu adalah satu-satunya hal yang bisa melindungi kerajaan kita dari kegelapan. Tetapi perjalanan ke Gunung Kuno penuh dengan bahaya yang tak terbayangkan. Hanya kau yang bisa menemukannya, karena kau adalah pewaris garis Cahaya."
Alena terdiam sesaat. Pikiran tentang petualangan yang berbahaya menakutinya, tetapi ia tahu bahwa ini adalah takdirnya. Cahaya yang selalu menyertainya, yang ia pikir hanyalah kebetulan atau halusinasi, kini menjadi lebih jelas maknanya. Kekuatan itu, yang diwarisi dari leluhurnya, harus ia gunakan untuk menyelamatkan kerajaan Cahaya.
"Jika ini memang takdirku, maka aku tidak akan menghindar," kata Alena akhirnya. "Aku akan pergi ke Gunung Kuno dan menemukan *Cahaya Kehidupan*."
Keputusan Alena membuat kedua orang tuanya bangga, meski hati mereka dipenuhi dengan kecemasan. Dengan keberanian yang baru ditemukan, Alena mulai mempersiapkan perjalanan. Ia mengenakan jubah perjalanan berwarna biru tua yang dihiasi lambang keluarga kerajaan, dan pedang perak yang diwariskan dari generasi ke generasi diselipkan di pinggangnya. Pedang itu, meskipun tampak sederhana, telah diberkahi dengan kekuatan magis yang mampu memancarkan Cahaya saat dihadapkan dengan kegelapan.
Saat semua persiapan selesai, Raja Andros memerintahkan salah satu ksatria terbaiknya, seorang pemuda bernama Cedric, untuk menemani Alena dalam perjalanan. Cedric adalah ksatria muda yang telah membuktikan kesetiaannya kepada kerajaan dalam berbagai pertempuran. Dia dikenal sebagai petarung ulung, namun di balik baju zirahnya, Cedric menyimpan kekaguman yang dalam terhadap Alena. Meski mereka jarang berbicara, Cedric selalu memperhatikan putri dengan rasa hormat yang besar.
Saat mereka bersiap untuk berangkat, Cedric mendekati Alena dan berkata dengan penuh semangat, "Putri, perjalanan ini akan sangat berbahaya, tetapi dengan kekuatan Cahaya yang ada di sisimu, aku yakin kita bisa mengatasi apa pun yang menghadang." Cedric memberikan senyuman yang penuh keyakinan, mencoba memberi semangat pada Alena. Meskipun Alena merasa ragu untuk bergantung pada orang lain, terutama karena beban tugas ini seolah-olah hanya miliknya sendiri, ia menghargai kesetiaan Cedric.
"Terima kasih, Cedric," jawab Alena dengan lembut. "Aku tahu ini tidak akan mudah, tapi kita harus melakukannya. Kerajaan kita bergantung pada keberhasilan kita."
Dengan semangat yang berkobar, mereka meninggalkan istana saat fajar menyingsing. Kuda-kuda mereka berlari melewati jalan setapak menuju hutan lebat yang mengelilingi kerajaan. Jalan menuju Gunung Kuno terkenal berbahaya, penuh dengan hutan belantara yang dipenuhi binatang buas dan makhluk-makhluk aneh yang jarang ditemui manusia. Namun, itu bukan satu-satunya ancaman. Morgath, yang mengetahui pergerakan mereka, pasti akan mengirim pasukannya untuk menggagalkan misi ini.
Hari pertama perjalanan mereka relatif tenang. Hutan di sekeliling mereka terasa seperti hidup, dengan pepohonan yang besar dan bayangan yang seolah-olah berbisik di balik dedaunan. Namun, saat malam menjelang, suasana berubah. Kabut mulai turun, menyelimuti jalan setapak dengan lapisan tebal yang membuat mereka sulit melihat lebih dari beberapa langkah ke depan.
"Alena, kita harus berhenti di sini untuk malam ini," kata Cedric sambil memeriksa lingkungan sekitar. Mereka menemukan sebuah gua kecil yang tampak cukup aman untuk dijadikan tempat berlindung. Dengan cepat, Cedric membuat api unggun kecil untuk menghangatkan mereka di malam yang dingin.
Saat duduk di dekat api, Alena merasakan keheningan yang aneh di sekitar mereka. Suara-suara hutan yang biasanya ramai dengan nyanyian burung atau serangga mendadak lenyap. Hanya ada desiran angin yang terasa semakin dingin. Tiba-tiba, dari balik kabut, terdengar suara langkah kaki yang berat dan gemuruh aneh yang menggema di hutan.
Cedric berdiri dengan cepat, menghunus pedangnya. "Ada sesuatu yang datang," bisiknya, matanya waspada memandang ke arah kabut yang tebal. Dari kejauhan, sosok-sosok besar mulai muncul, semakin jelas dengan setiap langkah yang mendekat. Mereka adalah makhluk bayangan yang besar, dengan tubuh berotot yang dilapisi oleh kegelapan tebal. Mata mereka merah menyala, memancarkan kebencian dan kehausan akan kekacauan.
Makhluk-makhluk ini adalah pelayan Morgath, dikirim untuk menghentikan perjalanan Alena. Cedric segera maju ke depan, bersiap untuk melindungi sang putri. Namun, sebelum makhluk itu sempat menyerang, Alena mengangkat pedangnya. Cahaya yang terpancar dari pedang itu bersinar terang, menyinari kegelapan dan membuat makhluk-makhluk itu terhenti.
Dengan keberanian yang luar biasa, Alena melangkah maju. Cahaya dari pedangnya semakin kuat, mengusir bayangan-bayangan yang menyerang mereka. Makhluk-makhluk Morgath berteriak, terhantam oleh kekuatan Cahaya yang begitu kuat hingga mereka terpaksa mundur. Alena dan Cedric berhasil mengusir para makhluk itu, namun pertempuran tersebut menyadarkan mereka bahwa perjalanan ini tidak akan mudah.
"Ini baru permulaan," kata Cedric setelah makhluk-makhluk itu hilang di balik kabut. "Morgath akan mengirim lebih banyak lagi. Kita harus terus waspada."
Alena mengangguk, rasa tanggung jawab semakin membebani pundaknya. Namun ia juga tahu, semakin dekat mereka ke Gunung Kuno, semakin besar pula harapan mereka untuk menyelamatkan kerajaan. Mereka melanjutkan perjalanan keesokan paginya, bertekad menghadapi setiap tantangan yang menanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H