Mohon tunggu...
Diaz Restu Pramudya
Diaz Restu Pramudya Mohon Tunggu... Lainnya - Bismillah

Semoga bermanfaat

Selanjutnya

Tutup

Financial

Pemahaman Terkait Penentuan BUT di Indonesia dan Contoh Kasus Sengketanya

11 Oktober 2021   10:01 Diperbarui: 20 Oktober 2021   07:14 3244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemahaman Terkait Penentuan BUT di Indonesia

  • Latar Belakang

Pada era globalisasi saat ini, batas geografis antar negara di dunia semakin memudar. Dari hal tersebut, banyak pengusaha dari berbagai negara dapat melakukan kegiatan di mana saja selain di negara domestiknya atau negara tempat kedudukannya. Kegiatan yang dimaksud tersebut berupa perluasan kegiatan yang biasanya dilakukan dengan cara mendirikan anak perusahaan dan/atau membuka cabang perusahaan di negara lain. Perusahaan-perusahaan tersebut dapat dikatakan sebagai perusahaan multinasional yang mengoperasikan kegiatan perluasan tersebut di luar negeri. Perusahaan multinasional yang mengoperasikan cabangnya di Indonesia baik berdasarkan peraturan-peraturan domestik yang ada maupun Tax Treaty atau Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) ditetapkan sebagai Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) yang dikenal dengan nama Bentuk Usaha Tetap (BUT).

  • Gambaran Umum Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia

Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan Subjek Pajak Luar Negeri (non-resident taxpayer), baik orang pribadi (nature person) maupun badan (legal person) untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia. Berdasarkan Pasal 2 ayat (5) UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, BUT adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.

Batasan waktu 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan ini diterapkan apabila Indonesia dan negara asal perusahaan tersebut tidak memiliki Tax Treaty atau P3B. Akan tetapi, apabila antara Indonesia dengan negara asal perusahaan tersebut terdapat Tax Treaty atau P3B maka batasan waktu sebagai BUT yang berlaku mengikuti perjanjian yang disepakati kedua negara tersebut.

Pada Pasal 2 Ayat (5) UU PPh, menyebutkan bahwa BUT yang menjadi subjek Pajak Penghasilan saat ini terdiri atas 16 bentuk usaha, yaitu sebagai berikut.

  1. Tempat kedudukan manajemen;
  2. Cabang perusahaan;
  3. Kantor perwakilan;
  4. Gedung kantor;
  5. Pabrik;
  6. Bengkel;
  7. Gudang;
  8. Ruang untuk promosi dan penjualan;
  9. Pertambangan dan penggalian sumber alam;
  10. Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;
  11. Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
  12. Proyek konstruksi, instalasi, atau perakitan;
  13. Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan;
  14. Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
  15. Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; dan
  16. Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi eklektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet
  • Penentuan BUT di Indonesia

Pada dasarnya, setiap negara mengatur ketentuan mengenai pemajakan untuk Permanent Establishment (PE) yang ada di negaranya masing-masing dengan berkaca pada Model P3B dan mengembangkannya sendiri. Begitu pula Indonesia, Indonesia mengatur ketentuan terkait BUT dalam UU domestiknya mulai dari wujud atau rupa BUT itu sendiri, kriteria penentuan BUT, kewajiban perpajakan yang timbul atas BUT, dan sejenisnya. Kewajiban pajak subjektif SPLN dengan BUT dimulai pada saat orang pribadi atau badan menjalankan usaha atau kegiatan melalui BUT dan berakhir pada saat orang pribadi atau badan tidak lagi menjalankan usaha atau kegiatan melalui suatu BUT.

Penentuan keberadaan suatu BUT di Indonesia tentunya telah diatur dalam UU domestik dengan memperluas cakupan terkait BUT yang telah didefinisikan dalam Model P3B. Penentuan keberadaan BUT di Indonesia diatur dalam UU PPh Pasal 2 ayat (5) yang telah didefinisikan sebelumnya di atas pada bagian gambaran umum BUT di Indonesia. Kemudian dari penjelasan Pasal 2 ayat (5) tersebut, Indonesia menjelaskan lebih lanjut terkait kriteria terbentuknya suatu BUT di Indonesia dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2019 (PMK-35) yaitu sebagai berikut.

  1. Adanya suatu tempat usaha (place of business) di Indonesia

Tempat usaha tersebut merupakan segala jenis tempat, ruang, fasilitas, atau instalasi, termasuk mesin, peralatan, atau gedung, yang tersedia untuk digunakan oleh SPLN dalam menjalankan kegiatan usahanya. Keberadaan tempat usaha tersebut terpenuhi tanpa memperhatikan apakah tempat tersebut dimiliki, atau disewa SPLN, atau apakah SPLN tersebut secara hukum berhak menggunakan tempat tersebut.

       2. Tempat usaha bersifat permanen

Kriteria “permanen” dalam hal ini mencakup dua hal, yaitu digunakannya tempat usaha tersebut secara kontinu atau terus-menerus dan tempat tersebut berada di lokasi geografis tertentu, yang dalam hal ini diartikan sebagai aspek temporal dan geografis. Terus-menerus disini diartikan bahwa tempat usaha tersebut menjalankan kegiatan usahanya yang sifatnya tidak sekadar insidental atau sesekali saja. Akan tetapi, sampai waktu yang belum tahu kapan akan berakhir atau tidak ada rencana awal yang mana sudah ada batasan waktunya.

      3. Tempat usaha digunakan SPLN untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan

Persyaratan ini terpenuhi sepanjang tempat usaha tadi tersedia untuk digunakan SPLN sehingga SPLN tersebut memiliki akses yang tidak terbatas untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan. Selain itu, tempat tersebut memang digunakan oleh SPLN untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.

Ketiga kriteria tersebut harus terpenuhi semua atau bersifat kumulatif agar suatu BUT dapat terbentuk. Ketiga kriteria yang dimaksud di atas adalah untuk penentuan BUT berupa tempat usaha tetap (Basic Rule). Adapun jenis kriteria BUT lain selain BUT yang berupa tempat usaha tetap tersebut, yaitu yang dikenal dengan Deemed BUT. Deemed rule artinya bahwa BUT dianggap terbentuk meskipun basic rule tidak terpenuhi, sehingga tidak perlu memenuhi 3 kriteria di atas. Jenis BUT yang termasuk Deemed BUT yaitu:

  1. BUT Jasa

Konteks BUT Jasa dalam hal ini yaitu pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dengan syarat:

  • pegawai atau orang lain tersebut dipekerjakan oleh SPLN atau subkontraktor dari SPLN tersebut;
  • pemberian jasa dilakukan di Indonesia; dan
  • pemberian jasa dilakukan kepada pihak di Indonesia atau di luar Indonesia.

      2. BUT Proyek (Konstruksi, Instalasi, Perakitan)

BUT Proyek disini didefinisikan sebagai adanya proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan yang merupakan usaha atau kegiatan SPLN di Indonesia.

     3. BUT Agen

BUT Agen dalam hal ini yaitu adanya orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas sepanjang orang pribadi atau badan tersebut bertindak untuk dan atas nama SPLN, dengan syarat:

  • menerima instruksi untuk kepentingan SPLN dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatannya; atau
  • tidak menanggung sendiri risiko usaha atau kegiatannya.

    4. BUT Asuransi

BUT Asuransi dalam konteks ini adalah adanya agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, dengan syarat:

  • menerima premi asuransi di Indonesia; atau
  • menanggung risiko di Indonesia dimana pihak tertanggung bertempat tinggal, bertempat kedudukan, atau berada di Indonesia.

Contoh Permasalahan Kasus Sengketa Pajak Atas Penentuan BUT di Indonesia

Dalam lingkup perpajakan internasional, pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) harus selalu memperlihatkan kinerja yang terbaik terkait pemajakan WPLN, yang dalam hal ini WPLN berbentuk BUT. Untuk memajaki suatu BUT, tentunya DJP harus bisa membuktikan dengan jelas bahwa keberadaan BUT tersebut terpenuhi dan terdapat kewajiban perpajakan atas objek pajaknya. Pada beberapa kasus yang saya ketahui, sering kali DJP mengalami kesulitan apabila terdapat sengketa pajak terhadap suatu entitas yang dianggap sebagai BUT dalam penentuan sebagai BUT di Indonesia. Kesulitan tersebut dapat berupa kurangnya bukti yang jelas dan nyata, serta terkadang ada sangkut pautnya dengan ketentuan yang diatur dalam P3B negara yang berkaitan dengan sengketa tersebut, sehingga DJP mengalami kekalahan pada saat di pengadilan. Selanjutnya, untuk lebih jelas memahami terkait bagaimana kronologi lebih rinci mengenai sengketa pajak, terdapat salah satu contoh sengketa pajak dalam penentuan BUT sebagai Kantor Perwakilan Dagang Asing yang ada di Indonesia.

PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI (PK) Nomor 1518/B/PK/PJK/2017

Pokok Sengketa    : Penentuan Status BUT Wajib Pajak sebagai Kantor Perwakilan Dagang Asing (KPDA) yang Terutang PPh Pasal 15 atas Objek Pajaknya.

Pemohon PK          : DJP, yang sebelumnya Terbanding

Termohon PK        : BHLN KOMATSU LOGISTICS Corp., yang sebelumnya Pemohon Banding. (merupakan Kantor Perwakilan dari KOMATSU LOGISTIC CORP yang berkedudukan di Jepang)

  • Kronologi:

Tingkat Banding

  • Argumen Pemohon Banding

Menurut Wajib Pajak bahwa kegiatan yang dilakukan di Indonesia hanya sebatas riset pemasaran, bukan promosi produk. Menurutnya Pemohon Banding merupakan Badan Hukum Luar Negeri bahwa berdasarkan Tanda Daftar Perusahaan (TDP), Pemohon Banding mempunyai Nomor Kegiatan Usaha Pokok Nomor 74130 (Jasa Riset Pemasaran) dengan Status Perwakilan. Pihaknya hanya melakukan kegiatan yang bersifat penunjang dan persiapan, serta sementara. Selain itu, berdasarkan P3B Indonesia dan Jepang, kegiatan penunjang dan persiapan tidak tergolong sebagai BUT.

  • Argumen Terbanding

Menurut DJP sebagai otoritas pajak tidak setuju dengan pernyataan Wajib Pajak tersebut. Terbanding menilai bahwa Pemohon Banding mempunyai tempat usaha tetap berupa kantor yang beralamat di Jalan Raya Cakung Cilincing KM.4 Rorotan Jakarta Utara. Di samping itu, aktivitas yang dilakukan pemohon banding berupa promosi tidak dapat dikategorikan sebagai kegiatan penunjang dan persiapan saja karena menurut terbanding, pemohon banding menjalankan fungsi yang saharusnya dijalankan oleh kantor pusat bukan hanya sebatas penunjang dan persiapan dari perusahaan sehingga menurutnya terdapat suatu tempat kedudukan manajemen dan seharusnya termasuk sebagai BUT berupa KPDA dan mempunyai hak pemajakan yang dalam sengketa ini terutang atas PPh Pasal 15 Final.

  • Argumen Pengadilan (Banding)

Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan seluruhnya permohonan bading yang diajukan wajib pajak. Dalam putusan banding, majelis tidak dapat menerima dalil dari DJP yang menyatakan wajib pajak melakukan kegiatan memperkenalkan, memajukan, dan memasarkan barang-barang dari kantor pusat. Setelah diperiksa dan diteliti, dalam laporan bulanan tidak ada kegiatan promosi yang dilakukan wajib pajak. Dalam persidangan telah terbukti bahwa usaha pemasaran produk kantor pusat di Jepang kepada konsumen akhir di Indonesia sudah dilakukan oleh perusahaan lainnya. Oleh sebab itu, tidak tepat apabila wajib pajak dikenakan PPh Pasal 15 Final.  Dengan demikian, wajib pajak tidak dapat dikategorikan sebagai BUT.

Tingkat PK

  • Argumen Pemohon PK

Menurut Pemohon PK bahwa Termohon PK memiliki kantor manajemen tetap di Indonesia. Selain itu, aktivitas Termohon PK adalah mempromosikan produk dari kantor pusat di Jepang dan telah dijalankan selama bertahun-tahun. Dengan begitu tidak dapat dikategorikan hanya sebatas penunjang dan persiapan, serta sementara saja. Dengan adanya status BUT sebagai KPDA, DJP berhak memungut pajak kepada Termohon PK atas omzet yang diperoleh kantor pusat dari kegiatan ekspornya ke Indonesia yang ditetapkan menjadi objek PPh Pasal 15 final untuk Termohon PK.

  • Argumen Termohon PK

Menurut Termohon PK bahwa ia hanya melakukan kegiatan yang bersifat penunjang dan persiapan saja. Merujuk pada P3B Indonesia dan Jepang, perusahaan yang melakukan kegiatan penunjang dan persiapan tidak tergolong sebagai BUT. Oleh sebab itu, atas kegiatan ekspornya yang dilakukan kantor pusat ke Indonesia tidak terutang PPh Pasal 15 final bagi Termohon PK.

  • Argumen Mahkamah Agung

Menurut Mahkamah Agung, Majelis Hakim Pengadilan Pajak sudah benar dalam menerapkan hukum. Pertimbangannya yaitu:

  1. Bahwa Judex Facti sudah benar dan tidak salah menerapkan hukum, karena koreksi Terbanding hanya berdasarkan data dari data PIB perusahaan Indonesia dan data di Portal Pertukaran Data DJP dan DJBC, dan tidak berdasarkan keadaan sebenarnya.
  2. Bahwa kegiatan Pemohon Banding terbukti hanya berupa riset pemasaran, bukan promosi produk, sehingga tidak tepat apabila Pemohon Banding dikategorikan sebagai KPDA yang menjadi objek PPh Pasal 15 Final.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, permohonan PK yang diajukan DJP tidak beralasan dan dinyatakan ditolak, sehingga DJP pun kalah dan harus membayar biaya perkara sebesar Rp2.500.000,00.

Kesimpulan dari adanya contoh sengketa di atas:

         Dari penjelasan dan kronologi di atas, pada intinya bahwa pokok sengketa kasus tersebut yaitu apakah benar Pemohon Banding melakukan kegiatan memperkenalkan dan memajukan pemasaran barang-barang group Komatsu Jepang (kantor pusat yang ada di Jepang), sehingga menjadi objek PPh Pasal 15 Final?. Seperti yang kita ketahui bahwa DJP atau otoritas pajak mengalami kekalahan di dalam pengadilan. Padahal, apabila melihat dari argumen-argumen yang disampaikan oleh DJP yang tentunya dengan didasari bukti yang didapat, menurut saya DJP bisa kemungkinan memenangkan kasus sengketa tersebut di pengadilan. Seperti yang kita tahu bahwa pada kasus ini, SPLN dianggap sebagai BUT berupa KPDA yang merupakan salah satu jenis BUT tempat usaha tetap dan termasuk klasifikasi basic rule. Dalam penentuan BUT atas kasus tersebut, pada dasarnya harus memenuhi 3 kriteria yang telah dijelaskan sebelumnya. Nah, apabila membaca lebih lanjut mengenai putusan ini, dapat ditemukan bahwa sebenarnya SPLN tersebut telah memenuhi 3 kriteria penentuan BUT yang telah dibuktikan oleh DJP sendiri.

  • Place of business : terdapat fasilitas seperti tempat, ruang, peralatan, gedung yang tersedia untuk digunakan SPLN untuk menjalankan kegiatan usaha
  • A fixed place : mempunyai tempat usaha tetap berupa kantor yang beralamat di Jalan Raya Cakung Cilincing KM.4 Rorotan Jakarta Utara (geografis), dan sudah lebih dari 1 tahun (temporal)
  • Carrying on business : SPLN tersebut memiliki akses yang tidak terbatas untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan. Selain itu, kantor tersebut memang digunakan oleh SPLN untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.

Namun, 3 kriteria ini belum sepenuhnya menjadi pegangan kuat DJP untuk memenangkan kasus sengketa tersebut karena apabila dilihat, terdapat P3B antara Indonesia dan Jepang yang di dalamnya mengatur juga batasan dalam penentuan BUT yang terkait dengan aktivitas yang dilakukan oleh SPLN. Batasan tersebut intinya yaitu apabila SPLN hanya sebatas melakukan kegiatan penunjang dan persiapan saja maka tetap tidak tergolong sebagai BUT. Dari sini, DJP seharusnya lebih memperkuat bukti-bukti yang masih dianggap lemah dan tidak beralasan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak maupun MA agar DJP bisa menang. Bukti-bukti yang dapat diperkuat DJP yaitu bukti bahwa SPLN benar-benar dan nyata-nyata melakukan kegiatan memperkenalkan, memajukan, dan memasarkan barang-barang dari kantor pusat di Jepang, serta bukti terkait adanya kegiatan promosi yang dilakukan terus-menerus oleh SPLN sehingga tidak dikategorikan hanya sebagai penunjang dan persiapan, serta sementara saja.

Bukti-bukti tersebut dapat diambil misal dari kegiatan promosi yang SPLN lakukan selama tahun-tahun sebelumnya dan telah mendatangkan manfaat seperti dari adanya ekspor dari kantor pusat di Jepang ke KPDA tersebut apakah benar ada transaksi penyerahan atau tidak, mensurvei langsung, dan membuktikan di KPDA ada transaksi penjualan atau tidak, karena apabila dipikir -pikir harusnya memang sudah ada kegiatan yang tidak hanya sebatas penunjang dan persiapan saja sebab KPDA tersebut sudah ada di Indonesia sejak beberapa tahun yang lalu sebelum kasus sengketa ini terjadi.

Sumber:

- Peraturan Perundang-Undangan
     UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan

- Putusan Mahkamah Agung Nomor 1518/B/PK/PJK/2017

- https://www.online-pajak.com/tentang-pph-final/bentuk-usaha-tetap

- https://katadata.co.id/safrezifitra/finansial/5e9a51a7417a8/aturan-but-dinilai-tak-bisa-menangkap-potensi-pajak-google

- https://news.ddtc.co.id/sengketa-pajak-atas-penentuan-status-but-wajib-pajak-20413

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun