Pada aspek sosial-politik, ekonomi, dan hukum dapat disimpulkan bahwa korupsi di Indonesia sulit diberantas ialah karena beberapa hal diantaranya:
- Kurangnya penegakan hukum yang efektif: Salah satu faktor utama adalah kurangnya penegakan hukum yang efektif terhadap kasus korupsi. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk kelemahan sistem peradilan, keterbatasan sumber daya, intervensi politik, dan korupsi di tubuh penegak hukum itu sendiri.
- Kekuasaan politik yang dominan: Korupsi sering kali terkait erat dengan kekuasaan politik. Ketika kekuasaan politik memiliki pengaruh yang dominan dan kurangnya pemisahan kekuasaan yang kuat, maka korupsi dapat berkembang dengan lebih leluasa. Interkoneksi antara politik, bisnis, dan birokrasi sering kali memperumit upaya memberantas korupsi.
- Budaya toleransi terhadap korupsi: Budaya toleransi terhadap korupsi juga merupakan faktor yang sulit untuk diubah. Terkadang korupsi dianggap sebagai hal yang wajar dan diterima dalam masyarakat, baik karena adanya norma-norma sosial yang menghargai praktik korupsi atau karena persepsi bahwa korupsi merupakan satu-satunya cara untuk memperoleh keuntungan atau kemajuan.
- Ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan sosial: Ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan sosial juga memainkan peran penting dalam korupsi. Ketika terdapat kesenjangan sosial dan ketimpangan ekonomi yang signifikan, korupsi menjadi lebih menarik sebagai cara untuk memperoleh kekayaan dan mengatasi kesenjangan tersebut.
- Lemahnya sistem pengawasan dan pemeriksaan: Kurangnya pengawasan dan pemeriksaan yang efektif juga menjadi faktor penyebab sulitnya memberantas korupsi. Sistem pengawasan dan pemeriksaan yang lemah memungkinkan korupsi terjadi tanpa terdeteksi atau diabaikan.
- Untuk memberantas korupsi dengan lebih efektif, diperlukan upaya yang komprehensif dan berkelanjutan, termasuk reformasi sistem peradilan, peningkatan transparansi dan akuntabilitas, penguatan lembaga penegak hukum, serta pengembangan kesadaran dan budaya anti-korupsi di masyarakat.
KESIMPULAN
Dalam kesimpulannya, Jeremy Bentham mengembangkan konsep Panopticon dengan motivasi utama untuk menciptakan sistem pengawasan yang efektif dalam rangka mencapai kontrol sosial dan disiplin dalam masyarakat. Latar belakang historis, pandangan utilitarianisme, perkembangan arsitektur, dan pemikiran progresif tentang perlakuan terhadap individu menjadi faktor yang memotivasi pengembangan konsep ini.
Walaupun kontroversial dan menuai kritik, konsep Panopticon tetap relevan dalam studi kekuasaan, pengawasan, dan kontrol sosial dalam masyarakat kontemporer. konsep Panopticon tidak terbatas pada lingkungan penjara, tetapi juga dapat diterapkan dalam berbagai institusi atau struktur sosial lainnya. Penerapan konsep ini dapat mempengaruhi perilaku individu melalui pengawasan yang tak terlihat.
Kejahatan struktural menurut Anthony Giddens adalah bentuk kejahatan yang terkait dengan ketidakadilan dan ketimpangan dalam struktur sosial masyarakat. Â Kejahatan struktural tidak hanya disebabkan oleh tindakan individu yang jahat, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor struktural yang memicu atau memungkinkan kejahatan. Ketidaksetaraan ekonomi, ketidakadilan sosial, struktur kekuasaan yang korup, norma dan nilai yang merugikan, serta faktor lingkungan merupakan beberapa faktor yang dapat berkontribusi terhadap terjadinya kejahatan struktural.
Giddens menekankan pentingnya melihat kejahatan struktural sebagai fenomena yang kompleks dan multifaktorial. Hal ini membutuhkan pemahaman yang holistik terhadap interaksi antara struktur sosial, ketidakadilan, kesempatan, dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi terjadinya kejahatan. Untuk mengatasi kejahatan struktural, diperlukan intervensi yang melibatkan perubahan struktural dan upaya untuk menciptakan kesetaraan sosial serta keadilan dalam masyarakat.
Korupsi sebagai kejahatan struktural bukanlah kejahatan yang anonim (tanpa wajah) melainkan struktur dan agensinya dapat disendirikan dengan memperhatikan resiko-resiko masing-masing tindakan. Dampak struktural korupsi merupakan bagian dari resiko yang dibuat oleh manusia sendiri atas kepercayaannya terhadap system. Penaggulangan korupsi seharusnya dibarengi dengan pembersihan perbuatan-perbuatan ilegal seperti illegal logging, fishing, trading, dan lainnya yang kesemuanya membutuhkan sistem ahli yang bermoral.
Gerakan-gerakan moral seperti gerakan antikorupsi sebagai wujud kontrol sosial-politik idealnya berkolaborasi dengan gerakan-gerakan kemanusiaan lainnya yang secara riil berkontribusi bagi terciptanya solidaritas masyarakat untuk saling mengurangi beban kemiskinan, ketidakadilan yang menjadi akar tindakan-tindakan koruptif.
CITASI (Daftar Pustaka)
Barton, R. 1966. "The patient's personal territories." Architectural Psychology, 284.
Bentham, J. (1995). Panopticon; or, The inspection-house.Â