PANOPTICON JEREMY BENTHAM
Pada awal tahun 1786, Jeremy Bentham mengunjungi kakaknya yang bernama Samuel Bentham di Krichev, White Russia (sekarang lebih dikenal dengan nama Belarus). Samuel Bentham sendiri sudah cukup lama berada di Krichev, ia sedang menemani Prince Potmekin, yang tidak lain adalah salah satu bangsawan dan komandan militer saat itu. Tujuan mereka berada di Krichev adalah untuk membangun sarana dan prasarana umum di daerah tersebut. Tidak lama setelah Jeremy sampai di Krichev, Samuel kemudian menunjukan pada Jeremy sebuah bangunan tinggi yang berbentuk melingkar di tengah proyek.
Bangunan ini tidak lain dijadikan sebagai pusat yang digunakan oleh beberapa manajer proyek untuk mengawasi aktifitas para tenaga kerja proyek yang jumlahnya cukup banyak. Melalui bangunan berbentuk melingkar ini, Samuel dan para mandor dapat lebih leluasa mengawasi para pekerja. Para pekerja sendiri tidak tau kapan mereka diawasi dan kapan mereka tidak diawasi, hal itulah yang mendorong psiokolgis mereka untuk selalu merasa sedang diawasi oleh Samuel dan para mandor proyek. Dibanding harus membayar lebih banyak mandor untuk mengawasi para pekerja, cara ini tentu jauh lebih efektif dan efisien.
Melihat hal ini, Jeremy Bentham kemudian tertarik untuk merombak desain ini menjadi desain bangunan penjara. Desain penjara inilah yang nantinya diberi nama Panopticon. Sepulang dari Rusia. Jeremy Bentham terus mengembangkan desain Panopticon di Inggris.
Panopticon adalah sebuah konsep yang dirancang oleh Jeremy Bentham sebagai sebuah struktur penjara yang unik. Konsep ini pertama kali dijelaskan oleh Bentham dalam bukunya yang berjudul "Panopticon; or, The Inspection-House" pada tahun 1791.
Istilah "Panopticon" berasal dari bahasa Yunani, di mana "pan" berarti "semua" dan "opticon" berarti "melihat". Konsep Panopticon ini menggambarkan sebuah penjara atau lembaga pemasyarakatan yang didesain sedemikian rupa sehingga para tahanan dapat terus-menerus diamati oleh seorang pengawas, sementara para tahanan tidak dapat melihat apakah mereka sedang diamati atau tidak.
BAGAIMANA BENTHAM MERANCANG STRUKTUR PENJARA DALAM KONSEP PANOPTICON?
Konsep panopticon Jeremy Bentham mencakup struktur fisik dan psikologis yang khas:
- Struktur fisik: Bentham menggambarkan panopticon sebagai bangunan berbentuk lingkaran atau heksagonal dengan sel-sel penjara atau ruangan yang menghadap ke pusat. Di pusat, terdapat sebuah menara atau ruangan pengamat yang dilengkapi dengan jendela atau cermin satu arah. Hal ini memungkinkan pengamat untuk melihat setiap tahanan atau penghuni dalam sel-sel tersebut tanpa mereka sadari. Sel-sel ini dirancang agar terlihat oleh pengamat dan oleh satu sama lain.
- Pengawasan tak terlihat: Para penghuni sel-sel atau tahanan tidak dapat melihat pengamat di pusat. Mereka hanya melihat jendela atau cermin satu arah, yang menciptakan ketidakpastian tentang kapan mereka sedang diawasi dan kapan tidak. Pengamat, di sisi lain, dapat melihat setiap sel dan mengawasi aktivitas penghuni tanpa mereka tahu kapan mereka sedang diawasi.
- Efek psikologis: Konsep panopticon Jeremy Bentham didasarkan pada keyakinan bahwa penghuni atau tahanan yang merasa selalu diawasi akan mengembangkan rasa disiplin internal. Mereka akan mengatur perilaku mereka sendiri secara otomatis, karena mereka tidak pernah tahu kapan pengawasan sedang berlangsung. Dengan demikian, konsep ini bertujuan menciptakan perasaan konstan pengawasan yang menghasilkan kontrol dan disiplin.
MENGAPA JEREMY BENTHAM MENGEMBANGKAN KONSEP PANOPTICON?
Jeremy Bentham merancang konsep panopticon sebagai solusi untuk memperbaiki sistem penjara yang ada pada masanya. Ia percaya bahwa dengan mengimplementasikan konsep ini, penjara dapat menjadi lebih efisien, penghuni dapat berperilaku lebih baik, dan biaya operasional dapat dikurangi. Namun, tidak banyak panopticon yang dibangun sesuai dengan rencananya.
Meskipun konsep panopticon Jeremy Bentham awalnya dikembangkan untuk penggunaan dalam sistem penjara, konsep ini juga telah diinterpretasikan secara lebih luas dalam konteks sosial dan politik. Panopticon telah digunakan sebagai metafora untuk menggambarkan pengawasan dan kontrol dalam masyarakat modern, serta masalah privasi dan kekuasaan yang terkait.
Meskipun tidak ada Panopticon fisik yang pernah dibangun sesuai dengan desain Bentham, konsep ini telah mempengaruhi pemikiran sosial dan politik. Panopticon telah digunakan sebagai metafora untuk menggambarkan kontrol sosial, kekuasaan, dan pemantauan yang konstan dalam masyarakat modern. Konsep ini juga memiliki relevansi dalam era digital, di mana teknologi pemantauan elektronik memainkan peran penting dalam pengawasan dan privasi. Dalam beberapa hal, Panopticon mencerminkan perhatian Bentham terhadap masalah kontrol dan kebebasan individu dalam masyarakat. Meskipun konsep ini kontroversial, ia tetap menjadi bagian penting dalam warisan pemikiran Jeremy Bentham.
LALU, APA TUJUAN DARI KONSEP PANOPTICON YANG DI RANCANG OLEH JEREMY BENTHAM?
Tujuan utama dari Panopticon Jeremy Bentham, adalah menciptakan sebuah struktur pengawasan yang efisien dan efektif untuk mengatur perilaku individu dalam masyarakat, terutama di lembaga pemasyarakatan atau penjara. Bentham melihat Panopticon sebagai sarana untuk mencapai disiplin dan pengendalian sosial yang lebih baik.
Bentham berpendapat bahwa dengan adanya kesadaran konstan akan pengawasan, individu akan memilih untuk menghindari tindakan yang melanggar peraturan atau hukum, karena mereka tidak ingin menerima hukuman atau pengawasan yang lebih ketat. Dalam pandangan Bentham, hal ini akan menciptakan kontrol sosial yang lebih efektif dan mendorong individu untuk berperilaku sesuai dengan norma-norma yang diinginkan oleh masyarakat.
Selain itu, Bentham juga melihat Panopticon sebagai alat untuk meningkatkan efisiensi dan pengelolaan dalam lembaga pemasyarakatan. Dengan pengawasan sentral dari sebuah menara, jumlah pengawas yang diperlukan dapat dikurangi, sementara cakupan pengawasan menjadi lebih luas. Ini akan membantu mengurangi biaya operasional dan memastikan pengawasan yang lebih efektif terhadap tahanan.
Namun, penting untuk dicatat bahwa tidak ada Panopticon fisik yang pernah dibangun sesuai dengan desain Bentham, dan keefektifan serta keberlanjutannya sebagai model pengawasan telah menjadi subjek perdebatan. Banyak pihak yang menolak desain panopticon buatan Bentham ini karena alasan kemanusiaan, mengawasi setiap saat para tahanan merupakan suatu tindakan yang menyalahi hak asasi para tahanan untuk menjaga privasinya. Meskipun berada di sebuah penjara, bukan berarti para tahanan tidak berhak memiliki sebuah privasi. Selain itu, ada juga kekhawatiran tentang penyalahgunaan kekuasaan dalam konteks Panopticon. Kekuasaan yang terpusat dalam tangan penjaga atau otoritas dapat menimbulkan risiko penyalahgunaan atau perlakuan yang sewenang-wenang terhadap individu yang berada dalam pengawasan dan mengabaikan aspek privasi serta kebebasan individu.
Jeremy Bentham pun terus mencoba selama bertahun-tahun membujuk agar pemerintah mengadopsi konsep tersebut. Namun, ide ini tidak diterima dalam rencana lembaga pemasyarakatan saat itu. Jeremy Bentham saat itu pun menerima 23.000 sebagai kompensasinya pada 1813. Namun, ia kehilangan kepercayaan pada semangat reformasi politisi dan pejabat saat itu. Meski demikian, rencananya dinilai cukup berpengaruh melihat dari konstruksi berikutnya seperti di Stateville Correctional Center, di Joliet, Illinois, Amerika Serikat. Penjara itu menggabungkan fitur-fitur Panopticon.
Meskipun konsep Panopticon tidak pernah sepenuhnya diimplementasikan dalam bentuk yang direncanakan oleh Bentham, pengaruhnya telah membawa dampak penting dalam bidang sosiologi, filsafat, dan studi kekuasaan. Konsep pengawasan tak terlihat dalam Panopticon terus diperdebatkan dan dikaji dalam konteks modern, terutama dalam era teknologi dan kemajuan sistem pemantauan.
Dalam era digital dan kemajuan teknologi, beberapa elemen dari konsep Panopticon telah diterapkan dalam konteks pengawasan dan pemantauan modern. Dalam masyarakat yang terhubung secara digital, ada kemungkinan pengumpulan data, pemantauan elektronik, dan pengawasan yang luas terhadap individu.
Contohnya, teknologi pemantauan seperti kamera CCTV, pengawasan elektronik, sensor, dan pengumpulan data secara massal dapat menciptakan situasi di mana individu dapat merasa selalu terpantau. Pemerintah, organisasi, dan perusahaan dapat memanfaatkan teknologi ini untuk memantau perilaku dan aktivitas individu secara online dan offline.
Selain itu, media sosial dan platform online juga memberikan elemen pengawasan dalam bentuk pengumpulan data pribadi, analisis perilaku pengguna, dan penargetan iklan yang dipersonalisasi. Hal ini memungkinkan perusahaan untuk memantau dan mengumpulkan informasi tentang kegiatan dan preferensi pengguna. Namun, implementasi teknologi pengawasan dan pemantauan ini juga memiliki aspek privasi dan etika yang kompleks. Perdebatan tentang batasan-batasan pengawasan dan penggunaan data pribadi terus berlangsung.
Penting untuk mempertimbangkan kepentingan privasi, kebebasan individu, dan perlindungan data dalam konteks kemajuan teknologi dan penerapan elemen Panopticon modern. Meskipun konteksnya berbeda, prinsip dasar pengawasan tak terlihat dan pengaruhnya terhadap perilaku individu masih relevan.
APA YANG MELATARBELAKANGI JEREMY BENTHAM DALAM MENGEMBANGKAN KONSEP PANOPTICON?
Hal yang melatarbelakangi Bentham dalam mengembangkan konsep Panopticon terkait erat dengan pandangan utilitarianisme yang ia anut. Bentham adalah seorang filsuf utilitarian yang meyakini bahwa tindakan yang benar adalah tindakan yang memberikan kebahagiaan yang maksimal bagi sebanyak mungkin orang. Dalam pandangan utilitarian, tujuan utama masyarakat adalah mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan yang maksimal bagi semua anggotanya.
Bentham percaya bahwa untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan umum, diperlukan kontrol sosial yang efektif. Dia melihat bahwa manusia cenderung bertindak egois dan memaksimalkan keuntungan pribadi mereka. Dalam konteks ini, pengawasan yang ketat dan disiplin diperlukan untuk mengendalikan perilaku individu dan mencegah mereka melanggar aturan yang dapat mengganggu kebahagiaan umum.
Konsep Panopticon merupakan jawaban Bentham terhadap tantangan pengawasan yang efektif. Dia percaya bahwa dengan menciptakan pengawasan yang terus-menerus dan tak terlihat, individu akan merasa terintimidasi dan waspada terhadap kemungkinan pengawasan. Dalam keadaan ini, mereka akan cenderung mematuhi aturan dan norma yang ada.
Selain itu, Bentham juga melihat adanya kebutuhan untuk menghindari penggunaan kekerasan atau hukuman yang ekstrem dalam menjaga ketertiban dan disiplin. Dia berpendapat bahwa ancaman pengawasan yang tak terlihat lebih efektif dalam mencapai tujuan sosial daripada kekerasan atau penggunaan kekuatan langsung. Dalam pandangannya, konsep Panopticon mencerminkan pendekatan yang lebih manusiawi dan memperhatikan kesejahteraan individu yang terlibat dalam sistem pengawasan.
Bentham juga melihat potensi Panopticon sebagai alat reformasi dan pemulihan. Dia berpendapat bahwa dengan adanya pengawasan yang terus-menerus, individu yang melanggar aturan dapat direformasi melalui pembinaan dan pengarahan yang tepat. Dalam hal ini, Panopticon tidak hanya bertujuan untuk menghukum individu yang melanggar, tetapi juga untuk membantu mereka memperbaiki perilaku dan menginternalisasi nilai-nilai yang diinginkan dalam masyarakat.
Bentham juga berpendapat bahwa sistem Panopticon akan menciptakan keadilan yang lebih baik dalam proses hukum. Dalam sistem pengadilan tradisional, hanya sedikit kasus yang dibawa ke pengadilan, sedangkan banyak tindakan pelanggaran tidak pernah terungkap. Dalam Panopticon, dengan adanya pengawasan yang tak terlihat, tindakan pelanggaran akan terdeteksi lebih efektif, sehingga mendorong pencegahan dan penegakan hukum yang lebih adil.
KARAKTERISTIK DESAIN PANOPTICON
Betham dalam rancangan Panopticon selain memaksudkan untuk mendisiplinkan juga agar supaya penjara dalam perawatan dan penanganannya dapat lebih mudah dan murah daripada penjara yang ada pada waktu itu. karena diperlukan staff yang lebih sedikit. Tanpa memperhatikan lagi hak asasi atau kebutuhan pelayanan untuk para Narapidana.
Desain Panopticon terdiri atas struktur melingkar dengan "inspeksi rumah" di pusatnya, dimana para staff lembaga dapat melihat, mengawasi dan mengontrol para tahanan dari kejauhan yang ditempatkan di sekitar perimeter tanpa disadari oleh Narapidana itu sendiri. Walaupun memberi kesan terawasi daerah teritori berupa kamar sel dari Narapidana masih terdapat di sana, karena satu sel hanya dihuni oleh satu Narapidana saja. Sebagian besar Lembaga di Indonesia menempatkan lebih dari satu narapidana di dalam satu sel, hal ini tidak memungkinkan para penghuninya untuk mempunyai teritori atau daerah pribadinya sendiri. Teritori berfungsi sebagai pemicu agresi tapi juga bisa menjadi stabilisator untuk mencegah agresi.
Agresi lebih umum terjadi pada kondisi teritori yang belum terbentuk nyata atau dalam perebutan. Perebutan daerah Teritori adalah kasus yang sangat rentan terjadi didalam Penjara. Ketika ruang-ruang memiliki suatu tanda atau batas yang membatasi teritori ruang tersebut dengan teritori ruang lainnya terbukti vandalisme dan kejahatan berkurang.Â
Jika para penghuni diberi kesempatan untuk memiliki teritori pribadi, maka atmosfir sosial yang tercipta di bangsal-bangsal dapat meningkatkan perasaan positif. Batasan teritori yang jelas akan lebih mampu menciptakan stabilitas dan mengurangi peseturuan di antara kelompok manusia dan juga pada dunia binatang. Batasan teritori yang sangat jelas. Desain ruang dalam Panoptic melingkar dan terdiri dari 3 bagian yaitu ruangan sel pada bagian terluar khusus untuk para Narapidana, kemudian sirkulasi atau jarak antara ruang sel dan tower, tepat ditengah lingkaran yaitu tower pengamat khusus untuk sipir penjara.
Panoptic memiliki material yang umum yakni dengan dinding beton berstruktur, dengan jendela kaca tunggal tanpa bukaan di masing-masing sel, dengan ukuran sel yang didesain 1x2 hingga 2x2 terdapat water closet dan tempat tidur(untuk penjara). Panoptic biasa didesain labih dari dua lantai atau tergantung dengan kemampuan pengawasan tower pengamat. Akses untuk ke setiap lantai dapat menggunakan tangga maupun lift.
KONSEP PANOPTICON DALAM CONTOH KASUS
Terdapat banyak kasus yang sering terjadi di penjara, seperti mantan narapidana yang kembali kejeruji tahanan, pengedaran Narkoba di dalam lapas, perlawanan/pemberontakan Narapidana, yang terkait dengan kebiasaan dan peraturan yang berlaku di dalam lapas dengan sistem rehabilitasi dan resosialisasi, yang membuktikan bahwa watak, karakter dan kepribadian dari  masyarakat (Narapidana) di Indonesia tidak cocok untuk sekedar 'pembinaan'.Â
Sistem kelembagaan yang dianut saat ini justru seakan memberikan efek yang 'santai dan biasa' sehingga tidak adanya efek kejeraan atau citra momok mengerikan yang seharusnya melekat dengan suatu lembaga. Selain itu, terdapat kasus lain yang sering adalah perkelahian antar sesama Narapidana.
Konsep panopticon ini menjadi sebuah solusi dari rumitnya keterlibatan dalam upaya menangani sejumlah besar tahanan, karna terdapat relasi antara yang diawasi dan mengawasi, orang yang mengontrol dan dikontrol, orang yang merehabilitasi dan direhabilitasi, orang yang abnormal dan menormalkan dalam sebuah ruang kekuasaan.
Efek utama dari mekanisme panopticon ini yaitu menimbulkan kesadaran untuk diawasi, dilihat, secara terus menerus pada diri seseorang. Sebuah kesadaran yang mengisaratkan bahwa segala tindak-tanduk dan gerak-gerik mereka ada yang mengontrol dan mengawasi. Tentunya kesadaran diawasi dan dikontrol ini menimbulkan efek kepatuhan, tekanan bahkan ketakutan dan dimaksudkan tidak hanya untuk menyadari kesalahannya dan kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab bagi diri, keluarga, dan lingkungannya, namun agar memberikan efek pendisiplinan selama didalam hingga diluar lembaga hingga tidak lagi berkehendak untuk melakukan tindak pidana.
kemudian konsep Panopticon juga menjadi jalan keluar untuk kasus agresi atau perkelahian antar sesama Narapidana di dalam Penjara. Perkelahian yang terjadi seringnya di akibatkan oleh perebutan daerah kekuasaan, ini karena desain dari sistem lembaga saat ini menempatkan lebih dari satu orang disetiap selnya. Artinya, ada pembagian ruang untuk masing masing penghuni di dalam sel. Sejatinya setiap manusia dengan sifat dan karakter yang berbeda-beda membutuhkan area teritori untuk meningkatkan kualitas dirinya sendiri. Inilah pemicu terjadinya perseturuan untuk memperebutkan area teritori atau area kekuasaannya.
JEJARING SOSIAL SEBAGAI BENTUK PANOPTICON MODERN
Jaringan sosial dianggap sebagai bentuk panopticon modern dalam beberapa hal, meskipun konsepnya tidak sepenuhnya sebanding dengan panopticon yang digagas oleh filsuf Jeremy Bentham pada abad ke-18. Panopticon adalah sebuah desain arsitektur penjara yang dimaksudkan untuk menciptakan pengawasan yang terus-menerus terhadap para tahanan dengan menggunakan struktur bercorak melingkar yang memungkinkan seorang pengawas berada di pusat dan memantau seluruh tahanan tanpa mereka menyadari apakah sedang diawasi atau tidak.
Seiring dengan kemajuan teknologi, algoritma dan kecerdasan buatan juga digunakan dalam analisis data jejaring sosial. Hal ini memungkinkan perusahaan-perusahaan teknologi untuk memahami lebih dalam tentang perilaku pengguna, preferensi, dan pola interaksi. Dalam hal ini, perusahaan memiliki kekuasaan yang mirip dengan pengawas dalam panopticon. Mereka memiliki akses dan kontrol penuh terhadap data pengguna, dan pengguna tidak tahu secara pasti kapan dan bagaimana data mereka digunakan.
Dalam konteks jaringan sosial, ada beberapa persamaan dengan konsep panopticon. Beberapa ciri penting yang dapat dikaitkan dengan panopticon dan jaringan sosial adalah sebagai berikut:
1. Pengawasan dan pemantauan: Dalam jaringan sosial, pengguna secara aktif memposting dan membagikan informasi pribadi mereka dengan orang lain. Informasi ini kemudian dapat diakses dan dipantau oleh siapa pun yang terhubung dengan mereka atau memiliki akses ke platform tersebut. Dalam hal ini, jaringan sosial memungkinkan pengawasan dan pemantauan yang terus-menerus terhadap kehidupan pribadi pengguna.
2. Pengetahuan yang asimetris: Seperti panopticon, di mana pengawas memiliki pengetahuan yang lengkap tentang para tahanan, dalam jaringan sosial, pengguna sering kali memiliki pengetahuan yang terbatas tentang siapa yang melihat atau memiliki akses terhadap informasi mereka. Mereka mungkin tidak tahu secara pasti siapa yang melihat atau mengumpulkan data pribadi mereka, menciptakan asimetri informasi yang mirip dengan panopticon.
3. Efek disiplin dan kendali diri: Konsep panopticon berfokus pada pengaruh pengawasan yang berkelanjutan terhadap perilaku para tahanan. Dalam jaringan sosial, pengguna mungkin merasa perlu untuk mengontrol dan memoderasi perilaku mereka secara mandiri karena kesadaran akan potensi pengawasan yang konstan. Hal ini dapat mempengaruhi bagaimana pengguna memperilakuinya dalam jaringan sosial, dengan menyesuaikan apa yang mereka bagikan dan bagaimana mereka berinteraksi dengan orang lain.
4. Permanensi data: Jaringan sosial sering menyimpan data pengguna secara permanen. Meskipun pengguna dapat menghapus atau mengubah postingan mereka, data tersebut mungkin tetap tersimpan di server jaringan sosial atau dapat diakses oleh pihak lain yang memiliki akses ke data tersebut. Hal ini menciptakan perasaan pengawasan yang berkelanjutan, di mana tindakan pengguna dapat dipantau dan dikaitkan dengan mereka bahkan setelah waktu berlalu.
Akan tetapi sifat panopticon dalam konteks jaringan sosial tidak sepenuhnya identik. Panopticon adalah struktur fisik yang mengatur pengawasan, sementara jaringan sosial adalah platform digital di mana pengguna secara sukarela berbagi informasi. Selain itu, dalam jaringan sosial, pengawasan cenderung tidak terpusat pada suatu entitas mereka mungkin merasa terbebas untuk berbagi informasi dan berinteraksi di platform jejaring sosial, tetapi mereka juga sadar bahwa tindakan mereka terus-menerus diamati dan dicatat oleh perusahaan teknologi. Hal ini dapat mempengaruhi perilaku pengguna, seperti penyesuaian perilaku atau pengekangan diri dalam berbagi informasi yang sensitif atau kontroversial.
PANOPTICON PADA PENDIDIKAN
Dalam konteks pendidikan, konsep Panopticon dapat diterapkan dalam sekolah atau universitas. Sekolah atau universitas dapat menerapkan konsep Panopticon dengan menggunakan berbagai metode dan alat pengawasan. Seperti, CCTV di koridor sekolah dan kampus, kamera pengawas di kelas, pengawasan online pada aktivitas siswa atau mahasiswa, dan bahkan pengawasan langsung oleh guru maupun dosen tanpa harus selalu hadir di dekat mereka. Â Hal tersebut dapat mengubah perilaku siswa atau mahasiswa untuk berperilaku yang diharapkan dan mematuhi aturan yang ditetapkan.
KEJAHATAN STRUKTURAL ANTHONY GIDDENS
Sekilas Tentang Anthony Giddens
Anthony Giddens adalah seorang sosiolog Inggris terkemuka yang dikenal atas kontribusinya di bidang sosiologi dan teori sosial. Ia lahir pada tanggal 18 Januari 1938, di London, Inggris. Giddens memiliki pengaruh yang signifikan terhadap sosiologi kontemporer melalui gagasan teoretisnya dan perannya sebagai intelektual publik.
Anthony Giddens menjadi dosen tetap sosiologi di Universitas of Cambridge. Di Cambridge, ia mengembangkan Polity Press, lembaga penerbitan akademik yang mampu memproduksi 80-an buku setiap tahunnya. Giddens juga menjadi dosen tamu luar biasa dan kehormatan di belasan perguruan tinggi besar di lima benua. Terakhir, sejak 1997, untuk masa jabatan lima tahun kedepan, Giddens diangkat menjadi direktur di almamaternya, London School of Economics.
Giddens adalah seorang teoritikus sosial yang membangun teorinya secara eklektik. Ia mengkritik banyak teori sosial yang menjadi warisan "tradisi ortodoks" sekaligus menggunakan bagian-bagiannya sebagai titik tolak kritis untuk membangun teorinya sendiri. Teori strukturasi dibangun dalam proses Panjang  kritik dan sintesis. Giddens memusatkan perhatiannya pada upaya untuk merekonstruksi secara radikal teori sosial, karena teori yang ada tidak memadai lagi untuk memahami kondisi masyarakat modern dan perubahan sosial yang terjadi di dalamnya. Ia mengkritik teori sosial klasik, mengambil hal-hal yang berguna untuk membangun teori baru dan membuang yang dianggapnya tidak relevan. Namun, Giddens juga membawa perubahan pada ilmu-ilmu sosial, seperti sejarah, geografi, dan ekonomi.
Selain itu, dalam teori Strukturasi, Giddens juga menggambarkan corak pemikiran yang cenderung ontologis dibanding epistemologis. Giddens mengkritisi kecenderungan sosiologi yang terlalu menaruh perhatian pada usaha menghasilkan pengetahuan yang ilmiah, atau dengan kata lain mempersoalkan kedudukan ilmiah sosiologi di antara ilmu-ilmu alam, dibanding melihat persoalan dalam dunia sosial dan memutuskan apa yang harus menjadi bahasan sosiologi
Sebagai seorang ilmuwan, Giddens tidak sekedar melahirkan karya-karya tulis yang bermutu bila diukur secara kualitatif, tapi ia juga seorang pemikir yang produktif secara kuantitatif. Lebih dari 200-an judul artikel yang ditulisnya tersebar di jurnal-jurnal profesional, mingguan dan surat kabar. Tidak kurang dari 57 judul buku yang telah ditulis Giddens sendiri atau bekerjasama dengan pengarang lain, meliputi bidang sosiologi, politik, dan teori sosial yang diminatinya.
Giddens terkenal karena mengembangkan teori strukturasi, yang menggabungkan unsur agensi dan struktur dalam analisis sosial. Dia berpendapat bahwa struktur sosial bukanlah kekuatan eksternal yang menentukan perilaku manusia, melainkan diciptakan dan direproduksi melalui tindakan individu. Teori ini menekankan pentingnya agensi manusia dalam membentuk sistem dan struktur sosial.
Konsep kunci lain yang terkait dengan Giddens adalah "jalan ketiga", yang dipopulerkannya sebagai ideologi politik pada 1990-an. Cara ketiga merupakan pendekatan sentris yang berusaha untuk menggabungkan unsur demokrasi sosial dan neoliberalisme, mengadvokasi keseimbangan antara keadilan sosial dan efisiensi ekonomi.
Sepanjang karirnya, Giddens telah menulis banyak buku berpengaruh tentang berbagai topik, termasuk teori sosial, globalisasi, modernitas, dan perubahan sosial. Beberapa karyanya yang terkenal termasuk "The Constitution of Society" (1984), "Modernity and Self-Identity" (1991), "Runaway World" (1999), dan "The Third Way: The Renewal of Social Democracy" (1998).
Keilmuan Giddens, sebenarnya baru diakui setelah ia menerbitkan The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration (1984), yang menurut majalah Cosmopolis dari Jerman (edisi Juni/Juli 1999) merupakan karya paling utama Giddens. Pada tahun 1999 Anthony Giddens dipilih sebagai orang nomer 12 paling berpengaruh di Inggris dalam dunia pendidikan, sesudah orang-orang seperti Perdana Menteri dan Menteri Pendidikan .
Anthony Giddens juga memegang posisi akademik di institusi bergengsi, termasuk University of Cambridge dan London School of Economics and Political Science. Dia telah menerima banyak penghargaan dan penghormatan atas kontribusinya pada sosiologi, dan karyanya memiliki dampak yang besar pada disiplin dan seterusnya.
Di Indonesia, Anthony Giddens lebih dikenal lewat pamfletnya, The Third Way, dari pada lewat karya teoritik nya, The Constitution Of Society. Bila gagasan tentang "jalan ketiga" adalah hilir, judul yang terakhir disebut merupakan hulu dalam perjalanan intelektual Giddens.
TEORI STRUKTURASI ANTHONY GIDDENS
Karya Anthony Giddens tentang teori strukturasi tidak secara khusus berfokus pada "kejahatan struktural" atau "penyimpangan struktural" sebagai konsep spesifik. Namun, teori strukturasinya dapat diterapkan untuk memahami struktur dan sistem sosial yang berkontribusi terhadap perilaku kriminal dan penyimpangan.
Menurut Giddens, struktur sosial bukanlah kekuatan eksternal yang menentukan perilaku manusia, tetapi diciptakan dan direproduksi melalui tindakan individu. Ini berarti bahwa perilaku kriminal dan penyimpangan tidak semata-mata merupakan hasil dari pilihan individu atau sifat pribadi tetapi dipengaruhi oleh struktur dan sistem sosial.
Giddens berpendapat bahwa sistem sosial, seperti sistem hukum, struktur ekonomi, dan norma budaya, berperan dalam membentuk pola perilaku kriminal. Struktur ini memberikan peluang atau kendala bagi individu untuk terlibat dalam kegiatan kriminal. Misalnya, ketidaksetaraan dalam akses ke sumber daya dan peluang dapat berkontribusi pada individu atau kelompok tertentu yang lebih cenderung terlibat dalam perilaku kriminal sebagai sarana bertahan hidup atau pemberontakan.
Giddens juga menekankan pentingnya agensi, kemampuan individu untuk bertindak dan membuat pilihan dalam batasan struktur sosial. Ini berarti bahwa individu memiliki kapasitas untuk menolak atau menantang struktur sosial yang berkontribusi terhadap perilaku kriminal atau penyimpangan.
Sementara teori strukturasi Giddens memberikan kerangka kerja untuk memahami interaksi antara agensi dan struktur, teori ini tidak menawarkan analisis khusus tentang kejahatan struktural atau memberikan penjelasan rinci tentang tindak pidana tertentu. Ini lebih fokus pada pemahaman dinamika yang lebih luas dari sistem sosial dan pengaruhnya terhadap perilaku individu.
Terdapat kata kunci dalam teori strukturasi: "struktur" dan "agensi". Menurut Anthony Giddens yang dimaksud dengan "struktur" adalah "rules and resources" yang dipakai pada produksi dan reproduksi sistem. Sedangkan "agensi" agency) adalah individu. Segala sesuatu tidak mungkin terjadi lewat intervensi individu. Giddens dipandang sebagai orang pertama yang berhasil menghasilkan teori yang menghubungkan struktur dan agensi. Teorinya disebut "Teori Strukturasi".
Dalam teori ini, struktur dan agensi tidak dipandang sebagai dua hal yang terpisah, karena jika demikian akan muncul dualisme struktur-agensi. Struktur dan agensi, menurut Giddens, harus dipandang sebagai dualitas (duality), dua sisi mata uang yang sama. Hubungan antara keduanya bersifat dialektik, dalam arti struktur dan agensi saling mempengaruhi dan hal ini berlangsung terus menerus, tanpa henti.
Struktur mempengaruhi agensi dalam dua arti: memampukan (enabling) dan menghambat (constraining). Terjadinya paradoks dalam pengertian struktur ini karena Giddens melihat struktur merupakan hasil (outcome) sekaligus sarana (medium) praktik sosial. Dan bukanlah merupakan totalitas gejala, bukan kode tersembunyi seperti dalam strukturalisme, dan bukan pula kerangka keterkaitan bagian-bagian dari suatu totalitas seperti yang dipahami para fungsionalis. Dalam pengertian Giddens, agensi dapat meninggalkan struktur, ia tidak selalu tunduk pada struktur. Ia dapat mencari kesempatan maupun kemungkinan untuk keluar dari peraturan dan ketentuan yang ada.
Maka dalam teori strukturasi yang menjadi pusat perhatian bukan struktur, bukan pula agensi, melainkan apa yang oleh Giddens disebut "social practices". Memang orang tidak boleh melupakan struktur dan agensi, bahkan seharusnya memahami secara detil struktur dan agensi. Namun fokus utama harus diletakkan pada social practice, yaitu bagaimana manusia-manusia menjalani hidup seharihari, baik dalam hubungannya dengan anak-istri/suami, sahabat, maupun dengan birokrat, pelayan bank, dan lain-lain.
Giddens membedakan 3 (tiga) dimensi internal pelaku, yaitu :
- Motivasi Tak Sadar (Unconscious Motives)
Motivasi tak sadar berkaitan dengan keinginan atau kebutuhan yang berpotensi mengarahkan tindakan individu, tetapi bukan tindakan itu sendiri. Motivasi tak sadar melibatkan dorongan-dorongan yang tersembunyi di luar kesadaran yang dapat mempengaruhi pikiran, perasaan, dan perilaku.
- Kesadaran Praktis (Practical Consciousness)
Kesadaran praktis adalah istilah yang mengacu pada pemahaman dan kesadaran yang tidak selalu dapat dijelaskan secara rinci atau diurai menjadi komponen-komponen yang terpisah. Ini menggambarkan pemahaman intuitif atau pengalaman holistik yang sulit dijelaskan dengan kata-kata atau didefinisikan secara terperinci.
- Kesadaran Diskursif (Discursive Consciousness)
Kesadaran diskursif, juga dikenal sebagai kesadaran berbahasa atau discursive consciousness, mengacu pada kapasitas kita untuk merefleksikan dan memberikan penjelasan rinci serta eksplisit atas tindakan kita. Ini melibatkan kemampuan kita untuk menggunakan bahasa dan konsep-konsep yang terstruktur untuk menggambarkan dan memahami pengalaman, motivasi, niat, dan alasan di balik tindakan yang kita lakukan.
Giddens menyatakan bahwa struktur merupakan aturan (rules) dan sumber daya (resources) dapat terbentuk dari praktik sosial. di sisi lain, pelaku yang merupakan aktor dapat pula mempengaruhi struktur, dalam arti tidak harus selalu tunduk kepada struktur. Giddens menyebutkan bahwa ada tiga gugus struktur yang harus dimilki oleh agen, yakni:
- Signifikasi (Signification)
 konsep "Struktur Signifikasi" atau "Penandaan" (Signification) merujuk pada proses di mana tindakan sosial diberi arti dan makna melalui penggunaan simbol dan tanda-tanda.
Giddens berpendapat bahwa simbol dan tanda-tanda adalah bagian integral dari tindakan sosial dan digunakan untuk mentransmisikan makna di antara individu dan dalam interaksi sosial. Dalam konteks ini, tindakan sosial tidak hanya memiliki efek praktis tetapi juga memiliki dimensi simbolis yang melibatkan pertukaran pesan dan interpretasi makna.
- Dominasi (Domination)
konsep "dominasi" (domination) merujuk pada mekanisme kekuasaan dan kontrol yang terkait dengan struktur sosial. Giddens mengakui bahwa dalam masyarakat terdapat hubungan kekuasaan yang tidak merata, di mana beberapa individu atau kelompok memiliki kekuatan yang lebih besar untuk mempengaruhi dan mengendalikan tindakan orang lain.
Giddens memahami dominasi sebagai aspek yang melekat dalam struktur sosial yang lebih luas. Ini mencakup hubungan hierarkis, ketidaksetaraan sosial, dan mekanisme kekuasaan yang memengaruhi interaksi dan tindakan individu. Dominasi muncul dari perbedaan kekuasaan yang ada dalam masyarakat, termasuk kekuasaan ekonomi, politik, sosial, dan budaya.
- Legitimasi (Legitimation)
konsep "legitimasi" (legitimation) merujuk pada proses di mana struktur sosial dan kekuasaan diterima, diakui, dan dianggap sah oleh individu dan masyarakat secara luas. Legitimasi berkaitan dengan cara struktur sosial dan kekuasaan mendapatkan otoritas dan keabsahan dalam masyarakat.
Giddens menganggap bahwa keberadaan kekuasaan dan struktur sosial tidak hanya bergantung pada penguasaan fisik atau pemaksaan, tetapi juga pada dukungan dan penerimaan masyarakat. Legitimasi melibatkan proses di mana struktur dan kekuasaan diterima sebagai wajar, adil, dan pantas oleh anggota masyarakat, sehingga memperkuat stabilitas sosial dan melembagakan hubungan kekuasaan.
Legitimasi dapat terjadi melalui beberapa cara. Salah satu cara adalah melalui peneguhan norma sosial dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Ketika struktur dan kekuasaan sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat, mereka lebih cenderung dianggap sah dan diterima.
Hal yang juga diperhatikan oleh Anthony Giddens dalam merombak pemikiran ilmu social, adalah dengan memperhatikan masalah ruang dan waktu bukan sebagai 'arena dimana manusia bertindak', tetapi dalam suatu unsur konstitutif dari tindakan dan pengorganisasian masyarakat. Dan untuk karena itu maka unsur waktu dan ruang menjadi unsur konstitutif dari tindakan dan pengorganisasian masyarakat.
Teori strukturasi bermaksud untuk mempermudah melihat dunia yang terstruktur dengan mengedepankan konsep agensi manusia. Caranya adalah dengan mengenali perbedaan antara konsep 'struktur' dengan 'sistem'. Sistem sosial tidak memiliki struktur namun memperlihatkan 'sifat-sifat struktural'. Sifat-sifat struktural ini hanya muncul di dalam berbagai tindakan instant serta menjadi jejak-jejak memori yang memberi petunjuk akan agen-agen manusia yang telah banyak memiliki pengetahuan
KEJAHATAN STRUKTURAL MENURUT ANTHONY GIDDENS
Menurut Anthony Giddens, kejahatan struktural adalah bentuk kejahatan yang terkait dengan struktur sosial yang ada dalam masyarakat. Giddens menganggap bahwa kejahatan struktural tidak hanya disebabkan oleh tindakan individu yang jahat, tetapi juga dipengaruhi oleh ketidakadilan dan ketimpangan struktural dalam masyarakat.
Giddens berpendapat bahwa struktur sosial yang tidak adil dan ketimpangan ekonomi dapat menciptakan kondisi yang memicu kejahatan struktural. Misalnya, ketidaksetaraan ekonomi yang signifikan antara kelompok masyarakat dapat menyebabkan ketidakadilan dan penindasan yang berpotensi memunculkan tindakan kriminal seperti pencurian, penipuan, atau korupsi.
Selain itu, Giddens juga mengidentifikasi bahwa kejahatan struktural dapat terjadi melalui mekanisme institusional dan struktur kekuasaan yang tidak seimbang. Misalnya, korupsi dalam sistem politik atau penyalahgunaan kekuasaan oleh kelompok elit dapat menghasilkan kejahatan struktural yang merugikan masyarakat luas.
Dalam pandangan Giddens, kejahatan struktural bukan hanya hasil dari individu yang melanggar hukum, tetapi juga akibat dari ketidakadilan struktural yang mendalam dalam masyarakat. Oleh karena itu, untuk mengatasi kejahatan struktural, Giddens menekankan perlunya intervensi yang melibatkan perubahan struktural dan upaya untuk menciptakan kesetaraan sosial serta keadilan dalam masyarakat.
Pendekatan Giddens terhadap kejahatan struktural menyoroti pentingnya melihat lebih dari tindakan individu dalam pemahaman tentang kejahatan. Hal ini menggarisbawahi peran struktur sosial dalam membentuk kesempatan dan insentif bagi kejahatan serta perlunya upaya untuk memperbaiki ketidakadilan struktural untuk mencegah dan mengurangi kejahatan dalam masyarakat.
Kejahatan struktural terjadi karena berbagai faktor yang terkait dengan struktur sosial dan ketidakadilan dalam masyarakat diantaranya :
- Ketimpangan ekonomi yang signifikan antara kelompok masyarakat dapat menciptakan ketidakadilan dan frustrasi. Orang-orang yang merasa terpinggirkan dan tidak memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai kehidupan yang layak dapat terdorong untuk terlibat dalam kejahatan seperti pencurian, penipuan, atau penyalahgunaan keuangan.
- Ketidaksetaraan sosial dalam hal pendidikan, kesempatan kerja, atau akses ke sumber daya publik juga dapat memicu kejahatan struktural. Ketidakadilan dalam distribusi kekayaan dan kesempatan dapat menciptakan frustrasi dan ketegangan dalam masyarakat, yang pada gilirannya dapat menghasilkan perilaku kriminal.
- Kejahatan struktural dapat terjadi ketika struktur kekuasaan yang korup atau tidak seimbang memungkinkan para pelaku untuk menyalahgunakan kekuasaan mereka. Korupsi dalam institusi pemerintahan, bisnis, atau penegakan hukum dapat menciptakan iklim yang memfasilitasi kejahatan struktural.
- Norma dan nilai sosial yang merugikan atau membenarkan kejahatan juga dapat berperan dalam terjadinya kejahatan struktural. Misalnya, budaya yang mendorong pembenaran atas perilaku seperti korupsi atau penindasan dapat memberikan sinyal yang salah kepada individu untuk terlibat dalam kejahatan.
- Ketidakmampuan sistem hukum dalam menegakkan keadilan dan memberikan sanksi yang tegas terhadap pelaku kejahatan struktural juga dapat menjadi faktor pendorong terjadinya kejahatan. Kelemahan dalam sistem peradilan pidana atau kurangnya efektivitas penegakan hukum dapat menciptakan iklim di mana pelaku kejahatan merasa bisa melanggar hukum tanpa hukuman yang tegas.
KEJAHATAN STRUKTURAL KORUPSI DALAM TEORI STRUKTURASI
Esensi korupsi merupakan kejahatan kemanusiaan. Hal ini dipahami karena manusia pada dasarnya adalah makhluk ekonomi yang selalu berupaya memaksimalkan manfaat atas setiap aktivitas dengan biaya seminimal mungkin yang dengan kata lain, dalam diri manusia sesungguhnya sudah ada benih atau kecenderungan untuk melakukan tindakan korupsi.
Hobbes dalam Campbell (1994: 85) mengatakan, pada dasarnya manusia adalah makhluk individualis dan materialistis. Kehidupan manusia adalah hasrat abadi dan tak kunjung padam untuk meraih kekuasaan demi kekuasaan, yang berhenti hanya dalam kematian. Baginya, masyarakat adalah sebuah bangunan buatan yang didukung bersama dengan sebuah campuran kepentingan diri rasional, kekerasan, ancaman, dan penipuan.
Dalam diri manusia terdapat empat strata kejiwaan yang sangat mempengaruhi orientasi hidup:
- Jiwa Nabati (vegetability) yaitu bersifat fisikal seperti aktivitas makan, minum, dan tumbuh
- Jiwa Hewani(animality), yaitu jiwa yang selain bersifat nabati juga terdapat nafsu dan naluri untuk saling menerkam dan menghancurkan yang lain keti ka dirinya merasa terancam. Uniknya, jika muncul nafsu atau keinginan, ia akan mendekat dan mengejarnya, tetapi kalau takut dan merasa terancam akan lari menjauhinya (fight or flight)
- Jiwa Insani (humanity), ialah sumber dan poros utama kualitas kemanusiaan. Berbeda dengan jiwa nabati dan hewani yang mengandalkan insting, jiwa insani mempunyai daya refleksi, kesadaran moral, kreativitas, penghayatan seni, rasa humor, dan nalar sehat.
Seorang koruptor sesungguhnya seorang yang hanya berasyik diri pada kehidupan level hewani, kualitas dan makna hidupnya dangkal sebab kebahagiaanya hanya disandarkan pada pemenuhan yang bersifat konsumtif semata. Korupsi sebagai kejahatan kemanusiaan merupakan perbuatan yang telah merusak kebutuhan dasar sesama manusia, memporakporandakan dan mengabaikan norma-norma esensial manusia universal.
Korupsi adalah tindakan merusak, merugikan manusia dan lingkungan tempat manusia hidup. Oleh karena itu, korupsi adalah 'jahat' karena secara struktural menciptakan penderitaan bagi orang lain. Korupsi dipandang sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime)
Giddens mengatakan, setiap manusia yang hidup dalam masyarakat sosial adalah human agent. Setiap tindakan manusia disadari atau tidak, disengaja atau pun tidak, tentu berpengaruh terhadap setiap peristiwa atau keadaan sekecil apa pun di sekelilingnya.
Korupsi merupakan bagian dari kejahatan struktural. Korupsi secara struktural menjadi penyebab pokok kemiskinan dan kekacauan sosial. Korupsi merupakan kejahatan yang multikompleks. Walaupun terkesan hanya terkait dengan persoalan harta benda, korupsi mempunyai karakter tersendiri. Secara struktural, hasrat korupsi berjalan di atas ego kognitif yang merupakan potensi dasar manusia sebagai mikro kosmos. Sebagai animal rasionale atau human agent, manusia senantiasa merasionalisasi kehidupannya untuk menjadi lebih masuk akal.
Pemahaman korupsi sebagai kejahatan struktural tidak dapat dipisahkan dari pemahaman tindakan moral yang merupakan bentuk refleksif agen-agen sosial. Korupsi menjadi kejahatan struktural bukan karena adanya struktur (sistem) sosial yang mengamini melainkan karena adanya hubungan dualitas (timbal balik) antara struktur dan agen.
Manusia bukanlah entitas atau benda mati yang tidak punya kuasa apa-apa. Korupsi merupakan perbuatan kejahatan yang dilakukan secara sadar (refleksif) dan bertanggung jawab. Korupsi sebagai kejahatan struktural adalah berakar pada banality atau pembiasaan yang dilakukan oleh agen-agen sosial dalam memproduksi dan mereproduksi struktur-struktur korupsi.
Kejahatan struktural korupsi merupakan problem kejahatan manusia modern di mana gugusan strukturnya berasal dari nilai-nilai modernitas, seperti kebebasan, sekularisme, individualisme, liberalisme, pragmatisme, yang menandai tempat bagi relasi-relasi sosial masyarakat. Menurut Giddens, manusia yang hidup dalam realitas kosmos modern akhir berjalan diatas logika 'percepatan' sehingga mengakibatkan orang tidak dapat berfikir panjang, mengambil jalan pintas, berfikir dan bertindak praktis.
Makna struktural kejahatan korupsi dalam konteks dunia global ialah bahwa korupsi memiliki sifat-sifat struktural kejahatan yang memiliki rentang ruang-waktu terluas dan dimensi-dimensi struktur (budaya, ekonomi, politik, hukum) yang saling kait mengkait. Tindakan kejahatan tersebut tidak terlepas dari jaringan tindakan produksi dan reproduksi struktur oleh agen, yang hadir dalam konteks kehadiran maupun ketidakhadiran, yang membentuk setting atas apa yang dikatakan dan apa yang dikerjakan satu sama lain dalam seluruh totalitas gejala.
Penempatan korupsi sebagai problem kejahatan struktural merupakan konsekuensi dari kosmologi modernitas yang tengah bergerak menjadi kekuatan semakin tidak terkendali akibat arus globalisasi.
Teori strukturasi sangat relevan untuk mengurai benang kusut fenomena korupsi yang ada di Indonesia yang dalam hal ini dapat dilakukan melalui tiga tahap:
1. Mengurai bingkai interpretasi masyarakat terhadap makna korupsi
2. Mengidentifikasi sumber dayasumber daya alokatif dan otoritatif yang turut memberdayakan dan menguatkan praktik korupsi
3. Melihat unsur-unsur yang menjadi alat pembenaran (justifikasi) bagi alibi-alibi hukum positif maupun normatif (sosial-agama).
Pada aspek sosial-politik, ekonomi, dan hukum dapat disimpulkan bahwa korupsi di Indonesia sulit diberantas ialah karena beberapa hal diantaranya:
- Kurangnya penegakan hukum yang efektif: Salah satu faktor utama adalah kurangnya penegakan hukum yang efektif terhadap kasus korupsi. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk kelemahan sistem peradilan, keterbatasan sumber daya, intervensi politik, dan korupsi di tubuh penegak hukum itu sendiri.
- Kekuasaan politik yang dominan: Korupsi sering kali terkait erat dengan kekuasaan politik. Ketika kekuasaan politik memiliki pengaruh yang dominan dan kurangnya pemisahan kekuasaan yang kuat, maka korupsi dapat berkembang dengan lebih leluasa. Interkoneksi antara politik, bisnis, dan birokrasi sering kali memperumit upaya memberantas korupsi.
- Budaya toleransi terhadap korupsi: Budaya toleransi terhadap korupsi juga merupakan faktor yang sulit untuk diubah. Terkadang korupsi dianggap sebagai hal yang wajar dan diterima dalam masyarakat, baik karena adanya norma-norma sosial yang menghargai praktik korupsi atau karena persepsi bahwa korupsi merupakan satu-satunya cara untuk memperoleh keuntungan atau kemajuan.
- Ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan sosial: Ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan sosial juga memainkan peran penting dalam korupsi. Ketika terdapat kesenjangan sosial dan ketimpangan ekonomi yang signifikan, korupsi menjadi lebih menarik sebagai cara untuk memperoleh kekayaan dan mengatasi kesenjangan tersebut.
- Lemahnya sistem pengawasan dan pemeriksaan: Kurangnya pengawasan dan pemeriksaan yang efektif juga menjadi faktor penyebab sulitnya memberantas korupsi. Sistem pengawasan dan pemeriksaan yang lemah memungkinkan korupsi terjadi tanpa terdeteksi atau diabaikan.
- Untuk memberantas korupsi dengan lebih efektif, diperlukan upaya yang komprehensif dan berkelanjutan, termasuk reformasi sistem peradilan, peningkatan transparansi dan akuntabilitas, penguatan lembaga penegak hukum, serta pengembangan kesadaran dan budaya anti-korupsi di masyarakat.
KESIMPULAN
Dalam kesimpulannya, Jeremy Bentham mengembangkan konsep Panopticon dengan motivasi utama untuk menciptakan sistem pengawasan yang efektif dalam rangka mencapai kontrol sosial dan disiplin dalam masyarakat. Latar belakang historis, pandangan utilitarianisme, perkembangan arsitektur, dan pemikiran progresif tentang perlakuan terhadap individu menjadi faktor yang memotivasi pengembangan konsep ini.
Walaupun kontroversial dan menuai kritik, konsep Panopticon tetap relevan dalam studi kekuasaan, pengawasan, dan kontrol sosial dalam masyarakat kontemporer. konsep Panopticon tidak terbatas pada lingkungan penjara, tetapi juga dapat diterapkan dalam berbagai institusi atau struktur sosial lainnya. Penerapan konsep ini dapat mempengaruhi perilaku individu melalui pengawasan yang tak terlihat.
Kejahatan struktural menurut Anthony Giddens adalah bentuk kejahatan yang terkait dengan ketidakadilan dan ketimpangan dalam struktur sosial masyarakat. Â Kejahatan struktural tidak hanya disebabkan oleh tindakan individu yang jahat, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor struktural yang memicu atau memungkinkan kejahatan. Ketidaksetaraan ekonomi, ketidakadilan sosial, struktur kekuasaan yang korup, norma dan nilai yang merugikan, serta faktor lingkungan merupakan beberapa faktor yang dapat berkontribusi terhadap terjadinya kejahatan struktural.
Giddens menekankan pentingnya melihat kejahatan struktural sebagai fenomena yang kompleks dan multifaktorial. Hal ini membutuhkan pemahaman yang holistik terhadap interaksi antara struktur sosial, ketidakadilan, kesempatan, dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi terjadinya kejahatan. Untuk mengatasi kejahatan struktural, diperlukan intervensi yang melibatkan perubahan struktural dan upaya untuk menciptakan kesetaraan sosial serta keadilan dalam masyarakat.
Korupsi sebagai kejahatan struktural bukanlah kejahatan yang anonim (tanpa wajah) melainkan struktur dan agensinya dapat disendirikan dengan memperhatikan resiko-resiko masing-masing tindakan. Dampak struktural korupsi merupakan bagian dari resiko yang dibuat oleh manusia sendiri atas kepercayaannya terhadap system. Penaggulangan korupsi seharusnya dibarengi dengan pembersihan perbuatan-perbuatan ilegal seperti illegal logging, fishing, trading, dan lainnya yang kesemuanya membutuhkan sistem ahli yang bermoral.
Gerakan-gerakan moral seperti gerakan antikorupsi sebagai wujud kontrol sosial-politik idealnya berkolaborasi dengan gerakan-gerakan kemanusiaan lainnya yang secara riil berkontribusi bagi terciptanya solidaritas masyarakat untuk saling mengurangi beban kemiskinan, ketidakadilan yang menjadi akar tindakan-tindakan koruptif.
CITASI (Daftar Pustaka)
Barton, R. 1966. "The patient's personal territories." Architectural Psychology, 284.
Bentham, J. (1995). Panopticon; or, The inspection-house.Â
In M. Foucault (Ed.), Discipline & Punish: The Birth of the Prison (pp. 195-228). Vintage Books.
Semple, S. J. 1993. Bentham's Prison: A Study of the Panopticon Penitentiary. Clarendon Press.
Faucault, M. 1790. Discipline and Punish, New York: Vintage Books, A Division Of
Random House.
Alif. Asditya. 2021. Penjara Virtual Bernama Media Sosial. Jakarta: Guepedia.
Fadillah D. Eldija & Faizah Mastutie. 2016. Media Matrasain:'Panoptic Architecture'. 13(1). 16-23
Muthahari, Nisrina. 2013. Jejaring Sosial  Sebagai Bentuk Panopticon Modern. (Skripsi Sarjana, UniversitasNegriYogyakarta).http://library.fis.uny.ac.id/digital/skripsi/42a0e188f5033bc65bf8d78622277c4e/index.html#p=92
Giddens, A. (1981). "A Contemporary Critique of Historical Materialism: The Nation-State and Violence". Berkeley Journal of Sociology, 26, 183-201.
Downes, D., & Rock, P. (2007). "Understanding Deviance: A Guide to the Sociology of Crime and Rule-Breaking". Oxford University Press.
Asha, Abdul Firman. 2006. Pola Relasi Media, Negara, Dan Masyarakat: Teori Strukturasi Anthony Giddens Sebagai Alternatif. 8(2), 205-2018
Abdul, Wadi.2013. Strukturasi Perubahan Pendidikan Pesantren Di Madura. 1(3), 1-7
Priyono, B. Herry. 2002. Anthony Giddens: SuatuPengantar. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Imadah, Thoyyibah. 2015. Jurnal Filsafat: Makna Kejahatan Struktural Korupsi Dalam Perspektif Teori Strukturisasi Anthony Giddens. 25(1), 134-171
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H