Lalu kontroversi tersebut mengalir indah, menjadi sebuah cerita menyesakkan ataupun bahagia yang diceritakan secara turun temurun. Pitutur ini secara tak langsung merawat gairah dalam sepak bola juga ekosistem di dalamnya.
VAR muncul dengan harapan menghancurkan subjektivitas ini. Trobosan tersebut lama kelamaan terasa sebagai FOMO pemangku kepentingan dalam sepak bola. Mereka terlena dengan teknologi yang sebenarnya memiliki beberapa dampak meresahkan.
Selain kekeliruan keputusan yang diambil, pengecekan VAR berpotensi menghilangkan gairah itu sendiri. Pemain dan penonton harus menunggu untuk berselebrasi merayakan gol yang dinanti. Gairah yang seharusnya muncul dalam satu pertandingan seakan surut dalam beberapa saat.
Padahal sepak bola dimainkan dengan berbagai aspek seperti momentum serta psikologis. Ketika gol tercipta dan selebrasi dilakukan oleh para pemain serta penonton, membuat sebuah momentum magis yang menambah gairah permainan, meningkatkan psikologis tim, serta menurunkan semangat juang klub lawan.
Sedangkan VAR memerlukan waktu untuk melakukan verifikasi gol, hingga akhirnya merampas momentum ini. Pemain dan penonton harus menunda selebrasinya. Momen ini jadi terasa hambar.
Penciptaan VAR bermaksud untuk mengurangi beban wasit, tapi hari ini kita melihat teknologi tersebut sangat menjemukkan. Dewasa ini fans khususnya di Eropa semakin dewasa dan bisa menerima kekeliruan seorang pengadil karena mereka juga seorang manusia.
Namun keputrusan wasit yang digabungkan oleh VAR Â dalam laga Tottenham menghadapi Liverpool menjadi blunder fatal. Setelah melihat kegunaan VAR yang tak efektif dan membunuh gairah dalam sepak bola itu sendiri, lalu apa gunanya teknologi ini? Bukankah lebih baik VAR di suntik mati?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H