Namun orang-orang terdahulu melakukan permainan ini untuk menghilangkan kejenuhan ataupun stres. Tingkat kejenuhan dan stres tersebut tak bisa kita ukur secara pasti hingga mendorong mereka melakukan tindakan menimang sesuatu yang sekarang disebut sebagai bola.
Imajinasi liar yang mereka bawa bisa dijadi mendorong mereka menemukan permainan ini. Namun kita tak tahu pasti asal imajinasi dan mengapa imajinasi orang berbeda-beda.
Manusia modern menganggap penemuan atau buah pikir ini datang karena kecerdasan yang dibangun oleh orang tersebut. Kecerdasan tersebut didapat dari proses pembelajaran dan pengamatan bertahun-tahun yang dipadukan dengan pengalaman lain dalam hidup mereka.
Pengalaman ini termasuk perasaan yang secara tak sadar tidak pernah bisa dijabarkan atau sekadar diukur dengan gamblang melalui pembuktian empiris manusia modern.
Sedangkan orang-orang yang kita anggap kuno dan terbelakang karena lekat dengan pemahaman spiritual menganggapnya sebagai bentuk bantuan dari makhluk asing dan tak bisa ditangkap dengan mata telanjang.Â
Manusia kuno melihat pikiran sebagai makhluk hidup yang terus berkembang dan tak bisa diterjemahkan dengan huruf-huruf mati seperti pemahaman manusia modern.
Seperti penemuan sepak bola. Orang yang menemukannya pada awalnya mungkin memiliki dorongan untuk mendribel sebuah tengkorak manusia atau kulit hewan yang dipadatkan menjadi bulat.Â
Sekarang kita menikmatinya sebagai permainan sepak bola. Apakah orang pertama itu tahu asal dari pikiran yang datang begitu saja? Bisa jadi ada zat yang membawanya melakukan hal tersebut.
Pembuktian spiritual hanya didapat dengan pengalaman seseorang dan keterampilannya mengembangkan ilmu tersebut. Inilah yang menyebabkan hal-hal mistis sulit dijelaskan oleh setiap orang, karena mereka memiliki tafsirnya sendiri dan tak bisa disalahkan.
Lalu manusia-manusia modern menganggap orang yang dekat ilmu esoteris ini sebagai orang gila dan putus asa. Pembelokkan makna spiritualitas sebagai hal negatif yang terus berkembang menjadi musababnya.
Saat ini kita selalu memandang objek fisik sebagai kenyataan. Dia lebih penting ketimbang pikiran dan gagasan itu sendiri, padahal Plato menyebut gagasan sebagai hal-hal yang nyata. Inilah yang diajarkan oleh dunia mistis kepada penganutnya.