Korupsi, rasisme, hingga kericuhan antar suporter sering dibahas dalam diskursus sepak bola, terlebih ketika isu ini masih hangat. Namun kasus yang sering muncul ke permukaan belakangan ini soal kekerasan kepada perempuan tak pernah tuntas dikupas.
Kenyataan pahit ini bagaikan angina lalu yang hilang begitu saja dalam kurun beberapa minggu. Sepertinya kekerasan terhadap perempuan oleh oknum pesepakbola profesional hanyalah isu remeh yang tak diminati oleh khalayak sepak bola hingga kita mudah melupakannya.
Atau mungkin kelalayan ingatan kita terbentuk karena pemujaan terhadap tokoh pesepakbola itu sendiri -- mereka yang melakukan penganiyayaan. Lewat magisnya di atas lapangan, pikiran masyarakat sepak bola dikaburkan dan akhirnya melupakan tindakan tak terpuji oknum pemain bola tersebut.
Mungkin juga penggila bola yang didominasi oleh kaum laki-laki sebagai kelompok yang sering melakukan tindakan kekerasan ini begitu naif dan sengaja melupakannya. Tak usah terlalu naif melihat sepak bola di luar negeri, kita di Indonesia memiliki anekdot untuk mencibir pemain.
"Pakai rok supaya tidak dikolongi"
Apakah kata ini aneh di telinga? Jujur dari dalam hati, buat saya pribadi, ejekan tadi merupakan hal lumrah yang terlontar saat "dikolongi" oleh lawan. Pemilihan diksi ini memperlihatkan superioritas pemain bola laki-laki yang semestinya mampu bermain lebih garang dengan kekuatannya yang melebihi perempuan.
Disadari atau tidak, saya, anda, ataupun kita yang pernah mendengar maupunpun melontarkannya merupakan pelaku kekerasan secara verbal. Naas kejahatan ini menjadi pembiaran yang bertumpuk hingga kini.
Sekarang coba kita renungkan, apakah Anda akan melupakan momen tetangga yang istrinya digebuki oleh suaminya? Lalu bandingkan dengan kasus penganiayaan oleh pesepakbola profesional.
Tak usah muluk membicarakan kasus Anthony yang masih hangat, tapi cobalah cari file dalam ingatan kita soal kasus penyerangan legenda sepak bola dunia, Diego Maradona yang memukul kekasihnya di depan kamera sebelum almarhum meninggal atau Cristiano Ronaldo yang memperkosa seorang guru di Amerka sebelum dirinya pindah ke Real Madrid.
Fakta bahwa Maradona menjadi seorang pahlawan di Argentina dengan iring-iringan warga yang memadati pemakamannya serta CR 7 dengan magisnya masih menjadi primadona brand serta fan sepak bola dunia untuk memujanya menunjukkan kalau kita mengesampingkan masalah ini.
Fan dalam sepak bola hanyalah komoditi yang kehadirannya sangat menentukan. Kita adalah komunitas yang memberikan nafas bagi perkembangan sepak bola, disamping talenta pesepakbola itu sendiri.
Sedikit banyaknya, suara suporter akan didengar oleh manajemen klub dan para pemain itu sendiri. Komunitas ini punya kekuatan untuk menyuarakan sebuah kebenaran sekaligus memberi sangsi sosial dalam kasus kekerasan terhadap perempuan.
Sialnya kita terlajur terjebak dalam fanatisme sepak bola yang cenderung menyesatkan hingga mengaburkan kebenaran tentang tindakan negatif para pemain di luar lapangan. Baru-baru ini bahkan jersey Mason Greenwood di Getafe ludes terjual dalam waktu 48 jam!
Kebintangan dan kecintaan masyarakat sepak bola kepada klub maupun pemain tertentu telah mendistrupsi pemikiran. Kesalahan ini perlu diluruskan sebagai upaya mengembalikan humanisme dalam sepak bola.
Setelah sepak bola menjadi sebuah industri, para pemainnya mengalami peningkatan stres karena tuntutan profesi dan padatnya jadwal pertandingan. Hal ini pernah saya bahas dalam tulisan berjudul Mason Greenwood dan Sepak Bola Tanpa Girah.Â
Berbeda dengan sepak bola zaman dulu yang banyak diberikan pembiaran disamping peraturannya tidak seketat sekarang. Saat ini sepak bola profesional dipenuhi peraturan jelimet dan para bintangnya didaulat sebagai super star dunia.
Tiap gerak gerik kehidupannya menjadi konsumsi masyarakat luas. Mereka dituntut profesional baik di dalam maupun luar lapangan, lantas mengapa kekerasan seperti ini dengan gampangnya terjadi?
Pemuja feminisme pasti menuding laki-laki sebagai kaum yang lebih sering melakukan tindakan ini merasa mereka lebih superior. Pria menganggap wanita merupakan objek yang mudah dieksploitasi sedemikian rupa.
Namun sungguh saya bukanlah pemuja feminisme. Saya lebih suka mencari jalan tengah yang sudah dikodratkan Tuhan kepada manusia yang memiliki akal budi, spiritual, dan kemanusiaan itu sendiri.
Kekerasaan apapun bentuknya tak lain adalah masalah penguasaan diri yang perlu dipupuk dengan spiritualisme dan kemanusiaan. Sehingga seseorang dapat dengan mudahnya memilih tentang baik buruk tindakan yang hendak diambilnya.
Beberapa jawaban paling masuk akal dalam kasus kekerasan pada perempuan ini dilatarbelakangi oleh lingkungan. Jika seseorang tinggal di lingkungan keras dengan kekerasan yang sering dilihatnya, akan berbanding lurus dengan tindakannya ketika dewasa, seperti seorang yang sejak kecil tumbuh di wilayah konflik, kebanyakan dari mereka akan berubah menjadi teroris.
Alasan lainnya bisa dilihat dari penelitian yang dilakukan oleh para ahli syaraf otak. Ada satu penyakit yang disebyt CTE. Penyakit ini membuat fungsi otak terganggu seiring berjalannya waktu dengan gejala awal yakni implusif, eksplosif, dan agresi.
Penyakit ini bisa terjadi karena benturan yang terjadi pada otak bagian depan dengan luka cukup dalam dalam jangka waktu tertentu. Selain itu penyakit tersebut dapat menyerang anak karena bawaan genetik orang tuanya.
Sementara itu tindakan agresif terjadi karena korteks prefrintal manusia tak berfungsi dengan baik. Sebagai salah satu olah raga yang cukup mengandalkan kontak fisik, para pesepak bola bisa saja terkena masalah ini.
Sepak bola yang sekarang telah mengandalkan berbagai disiplin ilmu perlu memperhatikan kesehatan para pemainnya. Klub-klub sepak bola sebagai pihak yang bertanggung jawab mengembangkan para pemain perlu memperkerjakan dokter psikologis untuk masalah ini.
Agar masalah ini bisa dikurangi, klub perlu memasukkan pelajaran tentang kekerasan kepada pemain akademinya. Pembelajaran sejak dini akan efektif untuk membentuk karakter para pemain hingga mereka dewasa.
Dunia olahraga dalam hal ini sepak bola perlu memahami secara khusus mengenai bahaya kekerasan pada perempuan maupun bentuk kekerasan lainnya. Selain itu olahraga ini perlu memiliki panduan kepada individu yang melakukannya.
Sudah saatnya kita sadar dan mengembalikan sepak bola sebagai rumah bersama seluruh umat manusia, tanpa mementingkan pendapatan dan kejayaan yang nampak banal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H