Mohon tunggu...
Diaz Abraham
Diaz Abraham Mohon Tunggu... Jurnalis - Penyesap kopi, pengrajin kata-kata, dan penikmat senja

Peraih Best Feature Citizen Jurnalis 2017 dari PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) | Sisi melankolianya nampak di Tiktok @hncrka | Narahubung: diazabraham29@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Jogo Bonito Perlu Perawatan Setelah Terkikis Waktu

13 Desember 2022   09:00 Diperbarui: 13 Desember 2022   10:29 989
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Walau dijagokan dalam berbagai turnamen, ekosistem sepak bola di sana tak sehebat Eropa, pemilik klub menjadi enggan keluar uang banyak untuk berinvestasi pada masalah pengembangan usia muda. Klub-klub lokal yang seharusnya menjadi wadah mengasah talenta berbakat, tak kuasa menjalankan perannya.

Namun kondisi ini dibarengi dengan keinginan para pemilik klub untuk meningkatkan pamornya. Kekalahan dalam sepak bola seperti aib karena olahraga ini amat dicintai warga Brasil. Mereka ingin hasil maksimal tapi instan untuk meraih kejayaan.

Jangan harap ada proses panjang dalam pembangunan tim seperti Sir Alex di Manchester United maupun Jurgen Klopp di Liverpool dalam pengembangan sepak bola di Liga Brasil. Para pemilik lebih suka menyalahkan pelatih atas hasil minor.

Liga Brasil menjadi salah satu yang terkejam di dunia dalam urusan memecat pelatih. Majalah Meksiko El Ecomonista menyebut rata-rata pelatih di tim lokal Brasil hanya bertahan 15 pertandingan sebelum dipecat. Akibatnya selain pengembangan usia dini yang macet, nyaris tak ada nama pelatih Brasil dengan prestasi mentereng di sepak bola.

Sialnya Konfederasi Sepak Bola Brasil (CBF) menginginkan pelatih lokal menangani timnas untuk menjaga filosofi sepak bolanya tetap lestari. Padahal dalam sepak bola, filosofi permainan terus berkembang dan beradaptasi.

Para pelatih tim lain sudah paham dengan gaya baku permainan Brasil yang mudah terbaca melalui kekuatan individunya. Hasilnya selepas memenangkan turnamen pada 2002, Selecao tak pernah menginjakan kaki ke partai puncak.

CBF sepertinya lupa dengan kasus tim dengan memainkan filosofi usang tanpa pembaharuan, terakhir adalah Barcelona dengan tiki takanya. Setelah merajai dunia, filosofi ini sudah terbaca kelemahannya, peta kekuatan sepak bola jadi tergeser.

Pep Guardiola yang kala itu percaya diri dengan filosofinya bahkan tahu celah tersebut. Imbasnya dia mulai mengembangkan tiki taka di beberapa aspek untuk membuatnya cocok dimainkan bersama klub yang dilatihnya.

Sekarang saat dia menjadi nahkoda Manchester City, tiki taka dimainkan lebih fleksibel, memanfaatkan kekuatan, serta kemampuan individuya untuk mengkreasikan angka. The Citizen yang dulunya dianggap klub biasa, kini menjelma sebagai raksasa Britania.

Sumber: www.sportingnews.com
Sumber: www.sportingnews.com

Sedangkan Luis Enrique yang kemarin menjadi nahkoda Spanyol di Piala Dunia 2022 dengan tiki taka "orisinil" gagal membawa Matador lolos ke babak perdelapan final. Spanyol bahkan menempati urutan ke dua dalam babak grup di bawah Jepang dan mendapat banyak cibiran karena permainannya yang membosankan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun