Laporan Guardian pada (22/9) menyebut sekitar 10,9 juta orang dewasa Inggris menunggak satu atau lebih tagihan. Sedangkan laporan badan amal Opinium mengungkapkan 5,6 juta orang kehilangan makanan dalam tiga bulan terakhir.
Makin hari banyak penduduk Inggris kehilangan pekerjan, tapi hidup harus terus berjalan dan perlu setumpuk uang untuk menjamin ketersediaanya. Sekitar 8 juta orang telah menjual barang pribadi atau rumah tangga untuk bertahan.
Nikki McNeill dari badan amal Beyond the Streets menggambarkan kesensaraan di sana. Seorang wanita tak bersuami dengan rumah tinggal pribadi, harus menaruh kantong berisi makanan di jendela rumah agar tetap dingin karena tak memiliki kulkas.
Laporan badan amal Opinium memperkirakan lebih dari 15 juta orang menggunakan kartu kredit untuk membeli bahan kebutuhan pokok. Sementara 1 dari 10 orang di sana mengambil langkah lain dengan meminjam uang dari keluarga atau teman.
Warga yang berada di kelas ekonomi bawah lebih parah lagi, perempuan di sana rela menjual harga dirinya kepada kelas menengah atas dengan menjajakan kehangatan melalui tubuhnya ditengah cuaca dingin. Langsung, online, atau di tempat penginapan.
Data dari English Collective of Prostitution menyebut kalau pekerja seks komersial meningkat 1/3 dari angka biasanya. Semua ini disebkan oleh kenaikan biaya hidup terutama akibat krisis energi yang terjadi.
Tindakan ini dilakukan demi bertahan hidup. Momen ini dimanfaatkan dengan baik oleh para penikmat. Mereka tak mau menggunakan kondom ketika berhubungan, sebuah tawaran yang sulit ditolak saat keadaan mendesak.
Anak kecil juga terdampak kengerian ekonomi yang terjadi di Inggris. Mereka kesulitan mendapat makanan. Padahal pemerintah menggratiskan makanan kepada anak sekolah selama dua tahun, setelahnya hanya mereka dari keluarga berpenghasilan kurang dari  7.400 paund atau sekitar Rp 125 juta setahun yang berhak mendapatkannya.
Naasnya sekurangnya  800.000 anak di garis kemiskinan tak mendapatkannya. Subsidi makanan dari pemerintah tak tersalurkan dengan baik. Beberapa anak terpaksa mengunyah permen karet untuk menahan rasa lapar.
Krisis ekonomi yang menimpa Inggris saat ini merekam itu semua. Salah satu negara maju ini mencapai puncak kejenuhan ekonomi terbesar setelah 40 tahun. Inflasi yang terjadi, meski bukan yang tertinggi, tapi memiliki dampak besar bagi warga terutama di kelas ekonomi terendah.
Semua dimulai ketika covid melanda, Inggris mengambil langkah untuk memberi subsidi berupa uang tunai kepada warga, pajak diturunkan supaya perputaran uang terjadi. Naas, langkah ini kurang tepat, pasar tak merespon kebijakan tersebut.
Masalah pandemi belum usai, perang Ukraina dengan Rusia terjadi. Keisis energi jadi masalah baru untuk Inggris yang bertepatan dengan musim dingin. Ketergantungan pasokan energi gas untuk menghangatkan tubuh dari Rusia membuat perekonomian Inggris melemah.
Sisi lainnya, pemilik dan jajaran klub di Premier League bermandikan uang disela suara desahan wanita yang bekerja sambil mengurai air mata, berbarengan bunyi perut keroncong anak-anak. Setumpuk uang konyol dikeluarkan klub untuk membeli seorang pemain pada musim panas 2022/2023.
Kepergian Antony dari Ajax dengan setumpuk uang menggiurkan sebesar 100 juta Paund atau sekitar Rp 1,4 trilun jadi kejutan. Geliat transfer MU sangat masif pada bursa kali ini, alasannya hanya untuk mendapat pengakuan sebagai klub yang ditakuti kembali.
Momen kepergian Antony dipastikan setelah mereka mengeluarkan uang sebesar 60 juta Euro atau sekitar Rp 895 miliar untuk mendatangkan pemain berkepala 3 yang masa emasnya hampir habis dalam sepakbola bernama Casemiro dari Real Madrid.
Kesepakatan ini hanya gambaran kecil dari kesepakatan tak masuk akal yang dilakukan oleh klub Premier League. Sebuah potret yang menjauhkan sepakbola dari semangatnya sebagai olahraga yang menjunjung kerja sama antar individu sebagai sebuah kelompok.
Nottingham Forest, klub yang baru naik kasta ke Premier League, membelanjakan uangnya melebihi seluruh klub di Eredivisie. Klub papan bawah Inggris lainnya bahkan cukup sehat untuk memiliki beban gaji diatas raksasa Italia, AC Milan.
Jika ditotal, pengeluaran klub Premier League pada bursa transfer kemarin sebesar 1,13 miliar Paund, angka yang tak masuk akal bahkan converter rupiah di Google kesulitan menafsirkannya. Sedangkan Laliga menguntit dibelakangnya dengan nominal 47 miliar Paund.
Pemangku kebijakan klub kasta tertinggi Inggris bukanlah tokoh yang buta. Mereka melakukan kesepakatan ini diatas meja dengan setumpuk laporan tentang realitas sosial Inggris soal kelaparan dan krisis energi.
Klub kasta tertinggi Inggris memiliki gelembungnya sendiri melalui industrialisasi sepakbola. Ketimpangan ekonomi yang disebabkan dari sistem kapitalistik hingga merangsang pembangunan infrastruktur secara masif, berhasil mengairi tim dengan uang.
Kesenjangan ekonomi, kini begitu kontras, angkanya telah menginjak moral orang-orang yang harusnya pertama kali terhibur dengan olahraga ini. Namun secara instan permainan sepakbola tak akan runtuh walau dasarnya telah terkikis dan hancur.
Semangat sepakbola jadi bergeser dan condong membuat ceruk sendiri dalam mengeruk uang. Buktinya klub Inggris selalu mencapai babak final Liga Champions dalam kurun lima tahun kebelakang, secara tak langsung membuat kita, penikmatnya menanti segala perkembangan terbarunya.
Liga Premier era 90an hingga 2000an hanya anak bawang di kompetisi Eropa. Capaian lima musim tadi menunjukkan kalau liga ini telah berhasil membentuk ekosistemnya sendiri dan membangun prestasinya.
Sekarang terlalu bias untuk mengatakan lima liga top Eropa terutama dari capaian menuju final kompetisi dan pendapatannya. Premier League layaknya liga super klub-klub besar, mungkin hanya Real Madrid, Barcelona, dan PSG yang mampu menyaingi beberapa klub didalamnya.
Sekalipun perekonomian Premier League terganggu akibat kiamat perekonomian negara, kita sebagai penikmatnya di luar negeri, akan membuat mereka bertahan melalui hak siar. Tiap tahunnya Liga Inggris meraup laba sebesar 5 miliar Euro.
Ditambah suntikan dana dari dua negara penghasil energi terbesar dunia seperti Arab Saudi dan Abu Dhabi yang menjalankan perputaran uang di sana. Situasi ini menggambarkan dengan jelas bagaimana gelembung ekonomi Premier League tercipta.
Hukum alam lainya mengikuti kesuksesan industri sepakbola ini. Para agen akan meminta para pemainnya tak terburu pindah ke Liga Inggris. Mereka akan menyarankan para pemainnya mengembangkan diri di klub saat ini.
Jika terlalu klise, pernyataan paling terang adalah para agen ingin pemainnya pindah di momen yang tepat dengan harga tertinggi. Sebab dimanapun kita berada, gula selalu dikerubuti semut yang bergantian datang, tak perlu takut tawaran itu berhenti sampai performanya benar-benar habis.
Klub yang memiliki pemain incara tim-tim Inggris memanfaatkan momen tersebut dengan menaikan harga. Mereka tinggal menyebut nominal, setelahnya proses berjalan dengan lancar, paling tidak seperti strategi Ajax. Menolak beberapa tawaran sampai datang setumpuk uang yang sulit dilewatkan.
Sumber daya ekonomi yang dimiliki oleh Premier League mencapai bencana yang paling fundamental. Uang yang mereka dapatkan menyebabkan sebuah rasa puas diri dan kesalahan besar. Liga yang berkembang pesat, melengserkan talenta lokal.
Panggung yang harusnya diberikan bagi pemain asli harus tergusur dengan kedatangan bintang dari negara lain. Sampai sekarang Tim Nasional Inggris tak memiliki prestasi, bandingkan dengan Prancis, Spanyol, Jerman, dan Portugal sebagai negara pengekspor talenta berbakat ke sana.
Cita-cita dan moral liga yang harusnya dikembangkan untuk timnas jadi bergeser demi uang yang nampaknya sejajar dengan harga diri bangsa beserta masyarakatnya. Sistem ekonomi kapitalis yang mendewakan angka sukses diaplikasikan di liga.
Sepakbola yang dulu dicetuskan untuk hiburan dan melepas rasa penat, kini semata untuk mendulang angka. Kehadiran pemain bertalenta dari negara lain merangsangnya. Sedangkan kedatangannya dan kebijakan sebagian besar klub Premier League kini telah menginjak kemanusiaan dan moralitas.
Jika benar sepakbola tak lepas dari kondisi sosial masyarakat didalamnya, akankah ini cermin dari masyarakat modern yang individualistik. Jika iya, kondisi Inggris sekarang menjadi kematian bagi kemanusiaan, setidaknya di sana, negara penganut sistem kapitalis.
Mungkin Premier League akan bertahan untuk beberapa tahun mendatang, sampai bermunculan talenta-talenta yang menolak tawaran. Pemain-pemain yang mengerti arti moral dan kebanggan tak bisa dibeli dengan segunung uang.
Para pemain yang menghormati desah kesedihan wanita demi memperjuangkan hidup dengan pengamanan minim. Serta bunyi keroncongan yang terdengar nyaring dari perut anak-anak kecil Inggris.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H