Kesenjangan ekonomi, kini begitu kontras, angkanya telah menginjak moral orang-orang yang harusnya pertama kali terhibur dengan olahraga ini. Namun secara instan permainan sepakbola tak akan runtuh walau dasarnya telah terkikis dan hancur.
Semangat sepakbola jadi bergeser dan condong membuat ceruk sendiri dalam mengeruk uang. Buktinya klub Inggris selalu mencapai babak final Liga Champions dalam kurun lima tahun kebelakang, secara tak langsung membuat kita, penikmatnya menanti segala perkembangan terbarunya.
Liga Premier era 90an hingga 2000an hanya anak bawang di kompetisi Eropa. Capaian lima musim tadi menunjukkan kalau liga ini telah berhasil membentuk ekosistemnya sendiri dan membangun prestasinya.
Sekarang terlalu bias untuk mengatakan lima liga top Eropa terutama dari capaian menuju final kompetisi dan pendapatannya. Premier League layaknya liga super klub-klub besar, mungkin hanya Real Madrid, Barcelona, dan PSG yang mampu menyaingi beberapa klub didalamnya.
Sekalipun perekonomian Premier League terganggu akibat kiamat perekonomian negara, kita sebagai penikmatnya di luar negeri, akan membuat mereka bertahan melalui hak siar. Tiap tahunnya Liga Inggris meraup laba sebesar 5 miliar Euro.
Ditambah suntikan dana dari dua negara penghasil energi terbesar dunia seperti Arab Saudi dan Abu Dhabi yang menjalankan perputaran uang di sana. Situasi ini menggambarkan dengan jelas bagaimana gelembung ekonomi Premier League tercipta.
Hukum alam lainya mengikuti kesuksesan industri sepakbola ini. Para agen akan meminta para pemainnya tak terburu pindah ke Liga Inggris. Mereka akan menyarankan para pemainnya mengembangkan diri di klub saat ini.
Jika terlalu klise, pernyataan paling terang adalah para agen ingin pemainnya pindah di momen yang tepat dengan harga tertinggi. Sebab dimanapun kita berada, gula selalu dikerubuti semut yang bergantian datang, tak perlu takut tawaran itu berhenti sampai performanya benar-benar habis.
Klub yang memiliki pemain incara tim-tim Inggris memanfaatkan momen tersebut dengan menaikan harga. Mereka tinggal menyebut nominal, setelahnya proses berjalan dengan lancar, paling tidak seperti strategi Ajax. Menolak beberapa tawaran sampai datang setumpuk uang yang sulit dilewatkan.
Sumber daya ekonomi yang dimiliki oleh Premier League mencapai bencana yang paling fundamental. Uang yang mereka dapatkan menyebabkan sebuah rasa puas diri dan kesalahan besar. Liga yang berkembang pesat, melengserkan talenta lokal.