Semua dimulai ketika covid melanda, Inggris mengambil langkah untuk memberi subsidi berupa uang tunai kepada warga, pajak diturunkan supaya perputaran uang terjadi. Naas, langkah ini kurang tepat, pasar tak merespon kebijakan tersebut.
Masalah pandemi belum usai, perang Ukraina dengan Rusia terjadi. Keisis energi jadi masalah baru untuk Inggris yang bertepatan dengan musim dingin. Ketergantungan pasokan energi gas untuk menghangatkan tubuh dari Rusia membuat perekonomian Inggris melemah.
Sisi lainnya, pemilik dan jajaran klub di Premier League bermandikan uang disela suara desahan wanita yang bekerja sambil mengurai air mata, berbarengan bunyi perut keroncong anak-anak. Setumpuk uang konyol dikeluarkan klub untuk membeli seorang pemain pada musim panas 2022/2023.
Kepergian Antony dari Ajax dengan setumpuk uang menggiurkan sebesar 100 juta Paund atau sekitar Rp 1,4 trilun jadi kejutan. Geliat transfer MU sangat masif pada bursa kali ini, alasannya hanya untuk mendapat pengakuan sebagai klub yang ditakuti kembali.
Momen kepergian Antony dipastikan setelah mereka mengeluarkan uang sebesar 60 juta Euro atau sekitar Rp 895 miliar untuk mendatangkan pemain berkepala 3 yang masa emasnya hampir habis dalam sepakbola bernama Casemiro dari Real Madrid.
Kesepakatan ini hanya gambaran kecil dari kesepakatan tak masuk akal yang dilakukan oleh klub Premier League. Sebuah potret yang menjauhkan sepakbola dari semangatnya sebagai olahraga yang menjunjung kerja sama antar individu sebagai sebuah kelompok.
Nottingham Forest, klub yang baru naik kasta ke Premier League, membelanjakan uangnya melebihi seluruh klub di Eredivisie. Klub papan bawah Inggris lainnya bahkan cukup sehat untuk memiliki beban gaji diatas raksasa Italia, AC Milan.
Jika ditotal, pengeluaran klub Premier League pada bursa transfer kemarin sebesar 1,13 miliar Paund, angka yang tak masuk akal bahkan converter rupiah di Google kesulitan menafsirkannya. Sedangkan Laliga menguntit dibelakangnya dengan nominal 47 miliar Paund.
Pemangku kebijakan klub kasta tertinggi Inggris bukanlah tokoh yang buta. Mereka melakukan kesepakatan ini diatas meja dengan setumpuk laporan tentang realitas sosial Inggris soal kelaparan dan krisis energi.
Klub kasta tertinggi Inggris memiliki gelembungnya sendiri melalui industrialisasi sepakbola. Ketimpangan ekonomi yang disebabkan dari sistem kapitalistik hingga merangsang pembangunan infrastruktur secara masif, berhasil mengairi tim dengan uang.