Sejarah juga mencatat tragedi lain cerita yang sama mengenai amarah suporter dan gas air mata ketika Hearts of Oak menghadapi Assante Kotoko pada 9 Mei 2001 di Stadion Ohene Djan. Tradgedi ini menelan 126 jiwa. Dua risalah tadi dapat dipelajari jika budaya membaca ditingkatkan untuk menambah pemahaman mengenai sepakbola bagi pemangku kebijakan.
Setelah kejadian ini ramai dibicarakan, terkuak fakta baru jika PSSI dan Liga Indonesia Baru sebagai operator, menolak memajukan jadwal pertandingan. Padahal pertandingan besar di malam hari sangat riskan karena pengamanan dalam kondisi gelap membutuhkan lebih banyak perhatian.
Pertandingan Persib melawan Persebaya pada gelaran Piala Presiden, Jumat (17/6/2022) bisa jadi acuan. Penonton yang berdesakan tak mampu diselamatkan pihak keamanan, dua bobotoh tewas dalam peristiwa tersebut. Sejarah dilupakan dan kemanusiaan tak lebih berarti ketimbang hak siar.
Panpel yang inginkan uang membuat semuanya makin runyam. Kapasitas stadion yang mampu menampung 38 ribu penonton, dibebani dengan penjualan 42 ribu tiket, sebuah trik bisnis yang menginjak rivalitas sepakbola terlebih nurani.
Semua angka melayang ke udara tergantikan duka. Dampak psikologis bagi para penonton akan membekas. Orangtua sulit mengizinkan anaknya kembali ke tribun, seorang anak yang datang pada malam itu akan melihat stadion layaknya pemakaman, di masa mendatang mereka mungkin takut kembali ke sepakbola.
Setidaknya ucapan rasa takut telah terlontar dari Pernyataan Menteri Pemuda dan Olahraga RI, Zainudin Amali. Dia takut kan sanksi FIFA ditengah padatnya kompetisi yang akan digelar di dalam negeri, termasuk Piala Dunia U20.
Padahal dalam sejarahnya, lagi-lagi, tak ada sangsi FIFA yang turun karena buruknya kompetisi dalam negeri. Minimnya pengetahuan pemangku kebijakan dalam mengurusi sepakbola harus dibayar moralitas yang melemah di situasi duka.
Mental para pemain akan terdampak pada laga ini. Setidaknya bagi pemain asing yang baru merasakan kacaunya kompetisi dalam negeri seperti yang digambarkan Abel Camara kepada media Portugal Mais Futebol.
"Kami menampung orang-orang di dalam ruang ganti yang terkena gas air mata, dan meninggal tepat di depan kami. Kami memiliki sekitar tujuh atau delapan orang yang akhirnya meninggal dunia di ruang ganti."