Musim dingin bisa jadi lawan kadang berkawan. Suhu dibawah 0 derajat celcius mungkin bumerang buat mahluk hidup, tapi begitulah alam memainkan perannya berlakon sebagai penentu suhu bumi sekaligus mengatur tinggi rendahnya permukaan laut.
Tak hanya alam, sepak bola sebagai entitas turut merasakan dampak musim dingin. Jadwal mundur akibat cuaca buruk hingga menarik laba melalui penjualan tiket dan rating siaran layaknya boxing day di Liga Inggris merupakan gambaran menarik tentang berkah yang turun bersama salju.
Memanfaatkan momen libur musim dingin dengan menampilkan para jago lapangan hijau pasti menguntungkan dari segi finansial, tapi mengkerdilkan identitas para pemain sebagai manusia dengan keluarganya yang saban libur panjang harus ditengok.
Musim dingin di industri sepak bola modern turut menandai awal jendela transfer tengah musim. Tidak sedikit klub memanfaatkan waktu tersebut untuk menjual maupun menambal beberapa lini yang masih lemah atau sekadar mempertebal kedalaman skuad demi gelar di akhir musim.
Alasan-alasan itu berlaku buat Manchester United, bahkan mereka membutuhkan tiap jendela transfer untuk memastikan kejayaan yang pernah dirasakan. Kelemahan pemain di banyak posisi, hingga rekonstruksi tatanan setelah ditinggal pergi manager legendarisnya, Sir Alex Ferguson menjadi segunung masalah.
Posisi United yang masih berkutat pada papan tengah klasemen Liga Inggris sepeninggal sang legenda dan kenyataan bahwa mereka bermain di kompetisi kedua Benua Biru, jadi saksi betapa carut marutnya wajah klub asal Kota Manchester ini.
Serangkaian kegagalan tadi membuat kenangan indah masa lalu terasa pahit. Sepeninggal Opa Fergie tahun 2013, MU belum memiliki suksesor hebat di kursi pelatih. Manager anyar seperti David Moyes, Van Gaal, hingga Jose Mourinho didatangkan, tapi tak ada sedikitpun yang berhasil menorehkan tinta emas.
Asa untuk bangkit kembali bergelora berkat kecemerlangan Ole Gunnar Solskjaer mengangkat performa Paul Pogba Cs. Permainan MU terlihat bergirah kala ia menjadi pelatih intern setelah menggantikan Mourinho pada pertengahan musim kompetisi 2018/2019.
Akhirnya direksi United melakukan perjudian besar dengan mengangkatnya sebagai pelatih pada musim 2019/2020. Sederet talenta muda didatangkan dan pemain akademi mendapat promosi untuk membangun pondasi baru yang dijadikan cetak biru, sebuah fondasi baru MU di masa mendatang.
Kebijakan transfer tersebut memabukan fan akan mimpinya bercerita soal trofi di penghujung musim perdana Ole. Apalagi pria asal Norwegia ini merupakan legenda klub dan cetak biru kesuksesan Fergie di medio 2000an.
Dana transfer sebesar 150 juta pounds (Rp 2,66 triliun) telah digelontorkan manajemen untuk membeli pemain muda berkualitas dan pemain jadi seperti Aaron Wan-Bisakka dari Crystal Palace, Daniel James (Swansea City), dan Harry Maguire (Leicester City).
Tatanan lama soal pembelian pemain muda bertalenta dan mengangkat pemuda didikan asli akademi telah dilupakan oleh direksi ketika mereka bekerja sama dengan pelatih sebelum Ole.Â
Terbukti, pembelian pemain jadi dan berbandrol tinggi justru tak mampu mengangkat performa Red Devil. Jangankan menembus papan atas liga, mendapat label ditakuti lawan pun tidak.
Masuknya lini bisnis yang begitu deras membuat sepak bola adalah pialang itu sendiri. Kejayaan yang dibuat secara instan membutakan managemen di industri lapangan hijau tentang esensi humanisme dari kedekatan fan, klub, serta kejayaan.
Falsafah permainan sepak bola yang menyuguhkan intrik, terkadang kotor, emosional, dan permainan yang menegangkan bagi tiap pasang mata penonton juga hilang. Permainan itu digantikan hasil akhir, menang tanpa memandang cara mendapatkannya.
Mengembalikan tatanan lama soal kejayaan dan jalan teguh mengarungi kehidupan serta menggabungkannya dengan sesuatu yang baru sesuai keadaan zaman bukan hal tabu. Namun dibutuhkan pengorbanan, termasuk nama baik hingga nyawa karena tugas berat mengembalikan warisan luhur tidaklah mudah.
Perang Jawa menjadi contoh nyata betapa sulitnya mengembalikan tatanan lama yang tergerus akibat penjajahan. Kebiasaan mabuk orang Eropa, seks bebas, hura-hura, berjudi, dan korupsi menjangkiti keraton Yogyakarta pada saat itu.
Nilai-nilai Agama Islam yang telah masuk pada saat itu mulai ditinggalkan, kraton tak ubahnya kasino dengan para pemabuk dan perempuan malam di dalamnya.Â
Mereka lupa dengan penderitaan rakyat yang harusnya diayomi, malah diperah sedemikian rupa hingga jatuh pada kesulitan baik sosial maupun ekonomi karena lintah darat dan kebijakan kerja rodi.
Pangeran Dipenogoro dianggap Ratu Adil, sebuah ramalan Pangeran Jayabaya yang dianggap sebagai juru selamat masyarakat ketika mara bahaya terjadi di Indonesia. Seperti peristiwa Perang Jawa pada 1825-1830 yang dipantik oleh rasa benci kepada bangsa Belanda dan etnis Tionghoa yang bermukim di Nusantara.
Mengusung panji-panji kebesaran Islam, gambaran soal Ratu Adil, serta tatanan lama Jawa yang banyak dihilangkan akibat penjajahan, membuat perang ini sukses didukung rakyat. Kedekatan Pangeran dengan berbagai kelanagan mulai dari petani, bandit, pihak kraton, hingga pemuka Agama Islam membuatnya mendapat dukungan luas.
Walau berlangsung selama 5 tahu, tapi Perang Jawa yang dipimpin Dipenogoro memiliki skala terbesar dalam sejarah pertempuran Nusantara. Sepertiga dari penduduk Jawa terdampak perang tersebut, seperempat lahan pertanian rusak, 200.000 penduduk dikabarkan tewas karenanya.
Demi memastikan kemenangan, pihak Belanda harus kehilangan 7.000 serdadu pribumi serta 8.000 tentaranya sendiri. Biaya perang yang harus ditebus untuk mengamankan Jawa dari imperium lain mencapai sekitar 25 juta gulden atau setara dengan 2,2 miliar dollar AS.
Julukan sebagai Ratu Adil tak serta merta tersemat pada diri Pangeran Dipenogoro, sebab ramalan buyutnya yang juga pendiri Kesultanan Yogyakarta, Sultan Mangkubumi mengungkapkan bila Dipenogoro bakal memberi pukulan hebat bagi Belanda, mengalahkan kerusakan buatannya selama Perang Giyanti antara tahun 1746 hingga 1755, tapi hanya Tuhan yang tahu hasilnya.
Ramalan itu bisa dihubungkan dengan pandangan spiritual penguasa Mataram abad 17, Sultan Agung. Ia meramalkan bila setelah dirinya wafat, Belanda akan berkuasa selama 300 tahun. Walaupun ada seorang keturunan Mataram yang bangkit melawan, dia hampir pasti kalah ---mengingat Pangeran merupakan anak sulung dari Sultan Hamengku Buwono III sekaligus cicit Sultan Mangkubumi, yang memiliki darah Mataram.
Ramalan ini diperkuat oleh suara gaib yang didengar Diponegoro ketika tidur di Parangkusumo selama ziarahnya ke Pantai Selatan, sekitar tahun1805 "Engkau sendirilah sarana itu, tetapi tidak akan lama, hanya agar terbilang di antara para leluhur".
Jadilah julukan Ratu Adil tersemat dalam dirinya dan usaha Pangeran tidak seluruhnya salah sebab dia mampu memberikan perlawanan hebat buat kekuasaan Belanda dengan bekal kemajuan teknologi serta serdadu asal Afrika yang terlihat menakutkan serta kombinasi daya tahan tubuhnya.
Konsep perang sabil yang dibawa, penggabungan kisah-kisah wayang, dan sentimen pribumi Jawa, memoles kerinduan soal restorasi tatanan tradisional Jawa, hingga menempa identitas bersama di antara para pengikut Pangeran. Perang pertama dalam sejarah modern Jawa yang didasari masalah penderitaan sosial serta ekonomi bahkan dirasakan dampaknya pada kehidupan Muslim Jawa dan Indonesia pada umumnya yakni integrasi nilai-nilai Islam ke dalam identitas Indonesia masa kini.
Pemisahan antara wong islam, Eropa kapir murtad (kafir yang dikutik Allah), dan kapir murtad (orang Jawa yang memihak Belanda) kerap kali diseret dalam kehidupan Indonesia modern. Namun banyak yang khilaf sebab mereka lupa bila pangeran tetap menjaga nilai-nilai khas Jawa sebagaimana tercermin dalam bahasa, pakaian, dan tata aturan budaya.
Kini Ole mencoba mengembalikan tatanan lama MU yang diwarisi dari Ferguson melalui pembelian pemain muda bertalenta dan membawa pemuda didikan klub ke tim utama. Membawa tradisi juara dan bermain mendominasi permainan dengan permainan menyerang nan berisiko tinggi, coba dilakukan.
Namun kondisi Setan Merah sekarang beda ketimbang masa keemasan mereka dibawah pria asal Scotlandia tersebut. MU tengah dijangkiti rasa sakit akibat tidak memiliki sosok pemimpin di ruang ganti. Permainan mereka yang tidak stabil dan kualitas tiap pemain turut mempengaruhi performa mengarungi musim 2019/2020. Pekerjaan Ole amat berat dan kerap diseret dalam pembicaraan panas soal pemecatan.
Namun Ole serasa menutup kuping dan matam dia tetap jalan dengan keyakinannya akan cara bermain United yang diadaptasi dari masa kejayaannya beberapa waktu lalu dan ditransformasi melalui falsafah permainannya dengan operan satu dua di depan kotak pinalti atau memanfaatkan serangan sporadis memanfaatkan celah yang ditinggal pemain lawan ketika menyerang.
Banyak yang mencibir gaya permainan ini, tapi kemenangan adalah nilai mutlak buat klub sekelas MU. Kemenangan bisa mengangkat motivasi para pemain muda di timnya sekarang sehingga beban yang dipikul para anak muda ini tidak begitu berat sehingga mereka bisa lepas mengekspresikan kemampuannya didepan jutaan fan dari berbagai belahan dunia.
Cerita soal Ole sebagai pelatih MU belum berakhir, setidaknya hingga tulisan ini dibuat. Managemen masih percaya dengan cara sang pelatih mengomandoi anak muda The Red Devils. Selain kepercayaan, ia juga butuh dana ditiap jendela transfer, termasuk pada musim dingin ini untuk membentuk tim hebat dengan gabungan pemain muda, bahkan bila perlu pemain jadi dengan kharisma yang dapat dijadikan panutan.
Soal masa jabatan Ole, biar waktu yang menentukan, tapi Perang Jawa yang didukung masyarakat secara luas, di waktu awalnya tidak memberi dampak maksimal bahkan sang Pangeran harus diasingkan pada akhir laga, masa perang berakhir cukup cepat serta diakhiri dengan kekalahan. Bagaimana dengan pelatih yang masih minim jam terbang dan tidak mendapat dukungan luas publik Old Trafold, tapi menanggung beban tinggi mengembalikan kejayaan klub.
Satu yang pasti, membeli pemain hebat di tengah musim bakal menambah daya gedor MU, hingga ruang ganti yang membeku menjadi lumer karena kehangatan melalui tiap kemenangan hingga akhir musim. Walau sulit rasanya membawa posisi MU ke puncak kelasemen dan menyabet gelar liga, tapi setidaknya sosok Ole yang diharapkan jadi Ratu Adil bagi Manchester Merah mampu membawa warna dan gairah bagi fan di pinggir lapangan.
Sama seperti perang yang berakhir lima tahun, tidak ada yang tahu kapan Ole akan ditepikan dari kursi kepelatihan Setan Merah. Sekarang, Dia harus bisa membekap keraguan banyak pihak soal kualitasnya memimpin tim muda MU.
Membeli pemain penting di beberapa posisi seperti gelandang, penyerang, hingga mungkin bek baru yang dirasa bisa mengangkat performa MU di musim dingin dan berusaha keras memenangkan tiap laga hingga titik darah penghabisan, layaknya sang Ratu Adil di Perang Jawa yang akhirnya takluk dengan muslihat walau telah menggetarkan pasukan penjajah begitu hebatnya.
Hingga akhirnya fan sadar betapa pekerjaan Ole cukup berat dan berjasa besar mengembalikan tatanan lama MU. Walau bukan dia yang memetik buah emasnya karena fondasi itu tak bisa dibilang indah tanpa ada bentuk bangunan mewah diatasnya bersama ornamen berbentuk La Coupe aux Grandes Oreilles.
D.A
Gondangdia, 12 Desember 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H