Demi memastikan kemenangan, pihak Belanda harus kehilangan 7.000 serdadu pribumi serta 8.000 tentaranya sendiri. Biaya perang yang harus ditebus untuk mengamankan Jawa dari imperium lain mencapai sekitar 25 juta gulden atau setara dengan 2,2 miliar dollar AS.
Julukan sebagai Ratu Adil tak serta merta tersemat pada diri Pangeran Dipenogoro, sebab ramalan buyutnya yang juga pendiri Kesultanan Yogyakarta, Sultan Mangkubumi mengungkapkan bila Dipenogoro bakal memberi pukulan hebat bagi Belanda, mengalahkan kerusakan buatannya selama Perang Giyanti antara tahun 1746 hingga 1755, tapi hanya Tuhan yang tahu hasilnya.
Ramalan itu bisa dihubungkan dengan pandangan spiritual penguasa Mataram abad 17, Sultan Agung. Ia meramalkan bila setelah dirinya wafat, Belanda akan berkuasa selama 300 tahun. Walaupun ada seorang keturunan Mataram yang bangkit melawan, dia hampir pasti kalah ---mengingat Pangeran merupakan anak sulung dari Sultan Hamengku Buwono III sekaligus cicit Sultan Mangkubumi, yang memiliki darah Mataram.
Ramalan ini diperkuat oleh suara gaib yang didengar Diponegoro ketika tidur di Parangkusumo selama ziarahnya ke Pantai Selatan, sekitar tahun1805 "Engkau sendirilah sarana itu, tetapi tidak akan lama, hanya agar terbilang di antara para leluhur".
Jadilah julukan Ratu Adil tersemat dalam dirinya dan usaha Pangeran tidak seluruhnya salah sebab dia mampu memberikan perlawanan hebat buat kekuasaan Belanda dengan bekal kemajuan teknologi serta serdadu asal Afrika yang terlihat menakutkan serta kombinasi daya tahan tubuhnya.
Konsep perang sabil yang dibawa, penggabungan kisah-kisah wayang, dan sentimen pribumi Jawa, memoles kerinduan soal restorasi tatanan tradisional Jawa, hingga menempa identitas bersama di antara para pengikut Pangeran. Perang pertama dalam sejarah modern Jawa yang didasari masalah penderitaan sosial serta ekonomi bahkan dirasakan dampaknya pada kehidupan Muslim Jawa dan Indonesia pada umumnya yakni integrasi nilai-nilai Islam ke dalam identitas Indonesia masa kini.
Pemisahan antara wong islam, Eropa kapir murtad (kafir yang dikutik Allah), dan kapir murtad (orang Jawa yang memihak Belanda) kerap kali diseret dalam kehidupan Indonesia modern. Namun banyak yang khilaf sebab mereka lupa bila pangeran tetap menjaga nilai-nilai khas Jawa sebagaimana tercermin dalam bahasa, pakaian, dan tata aturan budaya.
Kini Ole mencoba mengembalikan tatanan lama MU yang diwarisi dari Ferguson melalui pembelian pemain muda bertalenta dan membawa pemuda didikan klub ke tim utama. Membawa tradisi juara dan bermain mendominasi permainan dengan permainan menyerang nan berisiko tinggi, coba dilakukan.
Namun kondisi Setan Merah sekarang beda ketimbang masa keemasan mereka dibawah pria asal Scotlandia tersebut. MU tengah dijangkiti rasa sakit akibat tidak memiliki sosok pemimpin di ruang ganti. Permainan mereka yang tidak stabil dan kualitas tiap pemain turut mempengaruhi performa mengarungi musim 2019/2020. Pekerjaan Ole amat berat dan kerap diseret dalam pembicaraan panas soal pemecatan.
Namun Ole serasa menutup kuping dan matam dia tetap jalan dengan keyakinannya akan cara bermain United yang diadaptasi dari masa kejayaannya beberapa waktu lalu dan ditransformasi melalui falsafah permainannya dengan operan satu dua di depan kotak pinalti atau memanfaatkan serangan sporadis memanfaatkan celah yang ditinggal pemain lawan ketika menyerang.
Banyak yang mencibir gaya permainan ini, tapi kemenangan adalah nilai mutlak buat klub sekelas MU. Kemenangan bisa mengangkat motivasi para pemain muda di timnya sekarang sehingga beban yang dipikul para anak muda ini tidak begitu berat sehingga mereka bisa lepas mengekspresikan kemampuannya didepan jutaan fan dari berbagai belahan dunia.