Mohon tunggu...
Diaz Abraham
Diaz Abraham Mohon Tunggu... Jurnalis - Penyesap kopi, pengrajin kata-kata, dan penikmat senja

Peraih Best Feature Citizen Jurnalis 2017 dari PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) | Sisi melankolianya nampak di Tiktok @hncrka | Narahubung: diazabraham29@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Fragmen Kecil dari Balik Tanggul Utara Jakarta

18 Juli 2018   15:45 Diperbarui: 18 Juli 2018   19:45 2606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di sela-sela proses berbagi pengalaman, saya duduk di pinggir lapangan, persis di depan lapak pembuka kerang. Saya dihampiri oleh seorang fotografer bernama Bang Noel. Tiba-tiba ia berujar "kita butuh orang sakit kaya dia buat bangun negara. Orang pinter udah banyak tapi yang gila sedikit," begitu kira-kira pembuka percakapan kami.

Bang Noel baru kali itu saya temui, dan perkataan tersebut hampir mirip dengan pernyataan Bang Ilyas ketika kami bertemu di lokasi pembantaian satu keluarga di daerah Cakung. Benar bahwa Indonesia butuh orang yang berani berbuat sesuatu, tak cuma melakukan demonstrasi, menuntut, menghardik, dan berbicara panjang lebar di sosial media. Indonesia butuh orang-orang yang keluar dari zona nyaman dan berbuat sesuatu untuk negara. 

Ternyata Bang Noel juga melakukannya. Di daerah Condet, ia membuka kelas fotografi bagi kaum difabel. Namun karena kesibukan dan tak ada penerus untuk mengajar kelas tiap minggu, semuanya usai di tengah jalan. Bang Noel pun meminta saya untuk berkumpul di sebuah tempat makan bersama kawan-kawan lain di bilangan Condet suatu saat nanti untuk berdiskusi. 

Di akhir kelas kali ini, Bang Ilyas meminta adik-adik untuk menulis pandangan mata mereka, salah satu metode dalam dunia jurnalistik untuk membuat berita dan itu juga yang saya lakukan dalam tulisan ini. Adik-adik yang telah selesai merangkai kata diminta maju membacakan tulisan mereka.

Adik-adik yang mengenyam bangku pendidikan dari SMP ke bawah ini terlihat malu untuk maju membaca karyanya. Namun Bang Ilyas menekankan bahwa jurnalis tak boleh malu, karena informasi akan sulit didapat jika mereka segan bertanya pada narasumber. 

Akhirnya satu persatu maju ke depan. Ada satu pernyataan yang saya ingat saat itu dari karya seorang adik laki-laki berkepala botak. Intinya ia bilang bahwa dia suka kelas ini karena ingin menjadi wartawan dan tak ingin membuat berita hoaks yang marak dibuat belakangan ini. 

Ternyata adik-adik ini telah sadar akan bahaya laten dari berita hoaks tersebut. Ini harusnya jadi tamparan orang-orang dewasa yang membuat maupun menyebarkan konten bohong di media sosial.

Hari makin sore, kelas jurnalis cilik dibubarkan pukul 17.00 WIB. Senyum sumringah mereka terpancar di akhir kelas, semoga ilmu yang diberikan kawan-kawan bermanfaat dan menjadikan mereka jurnalis tangguh di masa depan dengan membuat konten berkualitas tanpa kungkungn pihak lain. 

Sebelum mentari pergi ke peraduannya kami bersama rekan Karang Taruna menuju tanggul di belakang lapak pengupasan ikan. Kami harus meniti tangga reot dari bambu untuk sampai di atas tanggul karena jarak dari tanggul menuju tanah berkisar 5 meter. 

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Di atas, ada seorang kuli pengupas kerang yang sedang membuang cangkang ke sungai dibalik tanggul tersebut. Sekitar 5 karung telah dikeluarkan isinya dan ditumpuk di bibir tanggul. 

"Tempat pembuangan itu sudah lama gak diambil sampahnya, jadi langsung buang ke laut," kata pria berkulit coklat tanpa mengenakan baju ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun