Bau amis tercium saat motor yang saya tumpangi memasuki sebuah kawasan padat penduduk di sebelah utara Jakarta. Cuaca cerah pada Sabtu (14/7/2018), membuat saya mudah bertaya pada orang-orang sekitar mengenai lokasi lapangan bulutangkis RT12, tepatnya di Jalan Kalibaru timur, Cilincing, Jakarta Utara.
"Mas ikuti jalan lurus, lalu belok kiri, langsung belok kanan," kata pemuda yang mengenakan hem biru hitam khas organisasi kepemudaan, Karang Taruna.Â
Semakin dalam menelusuri jalan tersebut, makin banyak rumah yang didepannya dijadikan tempat membuka cangkang kerang hijau. Tak pelak, gang yang hanya bisa dilewati dua motor ini makin sulit dilalui.
Akhirnya lapangan tersebut terlihat. Bau amis makin menyengat karena di sebelahnya berjejer lapak pembuka cangkang kerang hijau.Â
Pria tersebut adalah Syamsudin Ilyas, pria yang saya temui sekitar tiga tahun silam. Di sana ia dibantu rekan Karang Taruna membuka kelas jurnalistik bagi anak-anak di sekitaran kampung nelayan.
Sekitar 20 anak mengikuti kelas ke-2 di bulan Juni ini. Mereka semua membawa alat tulis seperti buku dan pulpen untuk mencatat materi yang akan diberikan.Â
Bang Ilyas, begitu saya biasa menyapanya, mengatakan bahwa pada pertemuan pertama sebanyak 90 anak mengikuti kelas jurnalis cilik. Namun karena hampir semuanya membantu orang tua sebagai pembuka cangkang kerang, banyak yang tak mengikuti kelas kali kali ini.
Saat pertama kali menginjakan kaki di dalam lapangan, terlihat banyak sekali lalat di sana. Mereka terbang berhamburan layaknya kawanan lebah yang sarangnya diganggu oleh mahluk lain.
Buku yang dibawa oleh anak-anak tadi, sesekali digunakan sebagai kipas untuk menghalau lalat yang mendekati mereka. Maklum, bau amis amat tercium di sini.
Air yang digunakan pekerja pengupas kerang untuk mencuci hewan bercangkang tersebut juga di buang di depan lapaknya, tepatnya berada di sebelah pembatas lapangan. Hal ini makin mengundang lalat untuk datang.
Bukannya tak ada uluran tangan dari pemangku kebijakan di sana untuk memindahkan lokasi, tapi Bang Ilyas tak mau memindahkan tempat berbagi pengalamannya. Ia berdalih bahwa tempat seperti inilah yang akan adik-adik temui di belantara jurnalisme, kelak.Â
Memang benar, jurnalis harus siap mental menghadapi segala keadaan di lapangan apalagi mereka ditugaskan di desk megapolitan. Mayat, sungai, sampah, darah, anarkisme, polisi, dan rutan merupakan lokasi serta pemandangan tiap hari.Â
Bukan miris melihat keadaan tersebut, tapi adrenalin makin tertantang berbagi pengalaman kepada adik-adik ini. Ide menulis dimulai dari banyaknya lalat menjadi pembuka artikel kali ini, karena menurut saya hal ini menarik.Â
Bagi saya tempat kumuh adalah tempat bermain paling mengasikan bagi pewarta. Insting mencari berita sambil mengasah kepekaan seorang jurnalis dalam membingkai sudat pandang dalam tulisannya akan teruji di tempat seperti ini.Â
Banyak yang bisa saya gali dari kedatangan kali ini. Mulai dari keceriaan adik-adik, interaksi dengan kawan-kawan, realita kehidupan di kampung nelayan Cilincing, serta proses pengambilan kerang sampai dapat dihidangkan bagi perut Anda bisa dijadikan objek tulisan.Â
Belajar di tengah lapangan terbuka dikelilingi bangunan merupakan sebuah tantangan tersendiri. Akan banyak adik-adik balita serta para orang tua yang melihat bahkan mengobrol disekitarnya.Â
Suara bising yang mereka hasilkan serta kelakuan balita yang suka berlarian kesana kemari akan memecah konsentrasi dan daya tangkap telinga peserta. Namun lagi-lagi, keduanya harus mereka hadapi di kemudian hari sebagai seorang wartawan.Â
Adik-adik yang mengikuti kelas kali ini terlihat menikmati suasana yang ada. Mereka mencatat materi yang diberikan Bang Ilyas, seperti yang dulu sering dilakukannya saat mencatat fragmen kecil dari pengindraannya ketika meliput.Â
Bukan untuk dijadikan bahan berita, tapi digunakan sebagai bekal buku yang telah di rencanakan sebelum kami bertemu. Katanya akan diluncurkan pada agustus nanti.Â
Buku itu berjudul kitab kuning, berisi kedangkalan etika dan moral para pewarta yang ia temui. Saya juga ingat dulu ia sering membuat sketsa, apakah gambar itu akan digunakan dalam bukunya? Entahlah saya lupa menanyakannya.Â
Di sela-sela proses berbagi pengalaman, saya duduk di pinggir lapangan, persis di depan lapak pembuka kerang. Saya dihampiri oleh seorang fotografer bernama Bang Noel. Tiba-tiba ia berujar "kita butuh orang sakit kaya dia buat bangun negara. Orang pinter udah banyak tapi yang gila sedikit," begitu kira-kira pembuka percakapan kami.
Bang Noel baru kali itu saya temui, dan perkataan tersebut hampir mirip dengan pernyataan Bang Ilyas ketika kami bertemu di lokasi pembantaian satu keluarga di daerah Cakung. Benar bahwa Indonesia butuh orang yang berani berbuat sesuatu, tak cuma melakukan demonstrasi, menuntut, menghardik, dan berbicara panjang lebar di sosial media. Indonesia butuh orang-orang yang keluar dari zona nyaman dan berbuat sesuatu untuk negara.Â
Ternyata Bang Noel juga melakukannya. Di daerah Condet, ia membuka kelas fotografi bagi kaum difabel. Namun karena kesibukan dan tak ada penerus untuk mengajar kelas tiap minggu, semuanya usai di tengah jalan. Bang Noel pun meminta saya untuk berkumpul di sebuah tempat makan bersama kawan-kawan lain di bilangan Condet suatu saat nanti untuk berdiskusi.Â
Di akhir kelas kali ini, Bang Ilyas meminta adik-adik untuk menulis pandangan mata mereka, salah satu metode dalam dunia jurnalistik untuk membuat berita dan itu juga yang saya lakukan dalam tulisan ini. Adik-adik yang telah selesai merangkai kata diminta maju membacakan tulisan mereka.
Adik-adik yang mengenyam bangku pendidikan dari SMP ke bawah ini terlihat malu untuk maju membaca karyanya. Namun Bang Ilyas menekankan bahwa jurnalis tak boleh malu, karena informasi akan sulit didapat jika mereka segan bertanya pada narasumber.Â
Akhirnya satu persatu maju ke depan. Ada satu pernyataan yang saya ingat saat itu dari karya seorang adik laki-laki berkepala botak. Intinya ia bilang bahwa dia suka kelas ini karena ingin menjadi wartawan dan tak ingin membuat berita hoaks yang marak dibuat belakangan ini.Â
Ternyata adik-adik ini telah sadar akan bahaya laten dari berita hoaks tersebut. Ini harusnya jadi tamparan orang-orang dewasa yang membuat maupun menyebarkan konten bohong di media sosial.
Hari makin sore, kelas jurnalis cilik dibubarkan pukul 17.00 WIB. Senyum sumringah mereka terpancar di akhir kelas, semoga ilmu yang diberikan kawan-kawan bermanfaat dan menjadikan mereka jurnalis tangguh di masa depan dengan membuat konten berkualitas tanpa kungkungn pihak lain.Â
Sebelum mentari pergi ke peraduannya kami bersama rekan Karang Taruna menuju tanggul di belakang lapak pengupasan ikan. Kami harus meniti tangga reot dari bambu untuk sampai di atas tanggul karena jarak dari tanggul menuju tanah berkisar 5 meter.Â
"Tempat pembuangan itu sudah lama gak diambil sampahnya, jadi langsung buang ke laut," kata pria berkulit coklat tanpa mengenakan baju ini.Â
Sebenarnya ada pembuangan sampah yang tiap hari diangkut oleh dinas kebersihan DKI tapi letaknya cukup jauh dari lokasi pengupasan. Karung-karung berisi cangkang terus berdatangan untuk dibuang ke laut, kira-kira sudah ada belasan karung yang isinya kosong ketika kami mengobrol.
Setelah puas berbincang dengan orang tadi, saya bergabung dengan kawan-kawan yang asyik menikmati kerang rebus. Pelabuhan Koja terlihat terus melakukan aktivitasnya di seblah kiri kami, tanpa perduli dengan proyek reklamasi mangkrak di sampingnya.Â
Proyek tersebut membuat nelayan harus memutar untuk mencari ikan. Hal ini membuat mereka sulit melaut apalagi jika dilihat dari air laut yang cukup tercemar dan ada satu ikan mati mengambang diatasnya. Saya tidak tahu apakah perairan itu tercemar sehingga ikan di sana mati atau itu salah satu ikan yang jatuh dari kapal nelayan.
Namun jika ikan itu mati akibat racun di laut, kita perlu waspada bahwa laut kita sudah tidak sehat dan ikan yang kita konsumsi mungkin juga berbahaya buat tubuh.Â
Dari atas tanggul saya dapat melihat perkampungan nelayan yang berjejer berhimpitan. Rumah sederhana ini membuat ingatan tentang kejayaan pesisir di masala lalu dan kini hanya sebuah cerita belaka.Â
Kita lupa dengan keadaan pesisir karena tersihir oleh beton-beton tinggi yang menawarkan surga dunia, padahal deritalah yang saban hari kita hadapi. Dan masih ada mimpi di pesisir yang musti kita perjuangkan.
D.A
Pasar Minggu, 18 Juli 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H