Bukannya tak ada uluran tangan dari pemangku kebijakan di sana untuk memindahkan lokasi, tapi Bang Ilyas tak mau memindahkan tempat berbagi pengalamannya. Ia berdalih bahwa tempat seperti inilah yang akan adik-adik temui di belantara jurnalisme, kelak.Â
Memang benar, jurnalis harus siap mental menghadapi segala keadaan di lapangan apalagi mereka ditugaskan di desk megapolitan. Mayat, sungai, sampah, darah, anarkisme, polisi, dan rutan merupakan lokasi serta pemandangan tiap hari.Â
Bukan miris melihat keadaan tersebut, tapi adrenalin makin tertantang berbagi pengalaman kepada adik-adik ini. Ide menulis dimulai dari banyaknya lalat menjadi pembuka artikel kali ini, karena menurut saya hal ini menarik.Â
Bagi saya tempat kumuh adalah tempat bermain paling mengasikan bagi pewarta. Insting mencari berita sambil mengasah kepekaan seorang jurnalis dalam membingkai sudat pandang dalam tulisannya akan teruji di tempat seperti ini.Â
Banyak yang bisa saya gali dari kedatangan kali ini. Mulai dari keceriaan adik-adik, interaksi dengan kawan-kawan, realita kehidupan di kampung nelayan Cilincing, serta proses pengambilan kerang sampai dapat dihidangkan bagi perut Anda bisa dijadikan objek tulisan.Â
Belajar di tengah lapangan terbuka dikelilingi bangunan merupakan sebuah tantangan tersendiri. Akan banyak adik-adik balita serta para orang tua yang melihat bahkan mengobrol disekitarnya.Â
Suara bising yang mereka hasilkan serta kelakuan balita yang suka berlarian kesana kemari akan memecah konsentrasi dan daya tangkap telinga peserta. Namun lagi-lagi, keduanya harus mereka hadapi di kemudian hari sebagai seorang wartawan.Â
Adik-adik yang mengikuti kelas kali ini terlihat menikmati suasana yang ada. Mereka mencatat materi yang diberikan Bang Ilyas, seperti yang dulu sering dilakukannya saat mencatat fragmen kecil dari pengindraannya ketika meliput.Â
Bukan untuk dijadikan bahan berita, tapi digunakan sebagai bekal buku yang telah di rencanakan sebelum kami bertemu. Katanya akan diluncurkan pada agustus nanti.Â
Buku itu berjudul kitab kuning, berisi kedangkalan etika dan moral para pewarta yang ia temui. Saya juga ingat dulu ia sering membuat sketsa, apakah gambar itu akan digunakan dalam bukunya? Entahlah saya lupa menanyakannya.Â