Mulai dari yang primitif hingga modern, kehidupan manusia lekat dengan konflik. Awal mula hidup manusia dimulai dari konflik yang dicontohkan dengan seleksi pasangan dalam membangun mahligai rumah tangga.
Baik laki-laki maupun perempuan akan menyeleksi kepribadian orang-orang yang mendekati maupun didekatinya. Tujuannya agar mampu membina hubungan jangka panjang, menghasilkan keturunan berkualitas, meningkatkan taraf hidup, maupun ibadah.
Penyeleksian tersebut menimbulkan konflik. Menimbang yang terbaik merupakan konflik, membutuhkan keyakinan benar dan salah. Semuanya bercampur aduk, kadang sampai pada sebuah depresi yang menyebabkan orang lain akan gila. Sungguh, cinta mampu membuat orang menjadi gila, gila yang sesungguhnya.
Kehidupan berlanjut, keturunan terbaik dari proses seleksi telah dihasilkan. Manusia-manusia ini akan berkembang mencari jati dirinya.
Mereka berkembang dengan jutaan konflik, mulai dari seleksi zaman yang terus berkembang hingga tahap menggali esensi kehidupannya sebagai manusia. Karena itu manusia tak bisa hidup statis, ia tak bisa berdiam diri. Manusia harus selalu menyelesaikan masalahnya menuju nilai tertinggi dalam memaknai kemanusiaan.
Banyak faktor yang mempengaruhi seseorang dalam menggali esensi atau hakekat kemanusiaannya, salah satunya lingkungan. Beruntung, saya pernah mendapat tantangan mewawancarai seorang mantan teroris. Dalam pengakuannya, ia terdorong melakukan tindakan terorisme karena lingkungan sekitar, dalam pengakuannya, ia lahir di daerah konflik di Aceh.
Bicara soal teroris, banyak orang mengutuk tindakan tersebut dan menganggapnya sebagai lelaku tak bermoral, biadab, dan barbar. Intinya, kezaliman lekat dengan aksi teror dan jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.
Namun jika boleh menggali lebih dalam, tidak sepenuhnya manusia memelihara kemanusiaannya. Ada unsur binatang dalam diri tiap insan. Nafsu birahi dan makan adalah contoh sifat binatang dalam diri kita. Beruntunglah kita yang kini hidup berjarak dengan alam yang membuat kita menanggalkan sifat-sifat binatang.
Selain kita semua punya sifat binatang, menjadi seorang teroris adalah jati dirinya, hasil dari pencarianya menjawab esensi kemanusiaan miliknya. Sebagai kelompok yang menganggap dirinya paling beragama, ia akan melakukan apapun perintah agama.
Agama datang menjadi obat penawar manusia dalam menafsirkan alam semesta dan memahami hubungan antar sesama. Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher menempatkan esensi agama sebagai perasaan ketergantungan absolut tanpa mendefinisikan objek yang sebenarnya ia tuju.
Jihad, begitulah konsep dasar bagi para pelaku teror untuk mendapat keimanan paling tinggi kepada Tuhan. Jihad dimaksudkan sebagai berperang---menggunakan senjata melawan kaum musyrikin, dalam pandangan mereka--- di jalan Tuhan. Dan kini berkembang menjadi "Mencoba menghadirkan Tuhan" dalam kehidupan bernegara jika dilihat dari target teror mereka.