Mohon tunggu...
Diaz Abraham
Diaz Abraham Mohon Tunggu... Jurnalis - Penyesap kopi, pengrajin kata-kata, dan penikmat senja

Peraih Best Feature Citizen Jurnalis 2017 dari PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) | Sisi melankolianya nampak di Tiktok @hncrka | Narahubung: diazabraham29@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

"Sport Minded" Ala Bung Karno Dilecehkan Lelucon dari Liga "Gocek Traveluka"

20 November 2017   14:58 Diperbarui: 21 November 2017   03:40 3306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pertandingan sepak bola (Foto: Pixabay/Pexels)

Indonesia ibarat anak bawang. Ia tidak terlalu diperhitungkan dalam percaturan kekuatan dunia, tapi punya kekayaan yang nantinya dapat digunakan untuk menguasai atau setidaknya menggeser kekuatan-kekuatan negara adikuasa terdahulu, percayalah.

Negara dunia ketiga, begitulah sebutan untuk negara berkembang dan sialnya kita berada di sana hingga hari ini. Walau berada di jalur tepat menuju sebutan negara maju, nampaknya geliatnya hanya ada di ranah politik dan ekonomi, tanpa olahraga. Terutama sepak bola.

Berkat label sebagai negara dunia ke tiga, sejarah kita di rampas, kekayaan di bumi Nusantara waktu itu dilahap untuk kepentingan perang dunia, kultur serta nilai budaya juga diacak-acak dengan masuknya sistem kolonial seperti pembagian wilayah dari bentang alam macam gunung atau sungai, pembangunan kraton baru, serta perjanjian-perjanjian dengan "pemilik wilayah" di Nusantara.

Jadilah mereka, para imperialis, dengan ponggahnya mengklaim bahwa merekalah pemilik peradaban dunia. Hingga akhirnya Nusantara yang khas akan nuansa dalam negeri mendeklarasikan diri sebagai wilayah dengan penduduknya yang merdeka dan mengganti nama menjadi Indonesia, sebuah nama dengan nuansa barat serta identik sebagai wilayah "bekas" jajahan.

superball.bolasport.com
superball.bolasport.com
Setelah merdeka, salah satu tokoh paling menonjol saat itu yakni Soekarno diangkat sebagai Presiden Pertama Indonesia. Dengan semangat nasionalisme dan anti imperialisme, ia menjadi salah satu inisiator pembentukan negara non blok, Serta paling fenomenal, membuat "Games of the New Emerging Forces" (Ganefo), ajang olahraga tertinggi saat itu bagi negara "terluka" dan negara penganut sistem sosialis.

Indonesia sebagai tuan rumah bersolek diri, menghias Jakarta dengan patung megah serta membangun Gelanggang Olahraga (Gelora) Bung Karno pada 8 Februari 1960 dan di buka pada 24 Agustus 1962 untuk menunjukan bahwa Indonesia merupakan negara berdaulat dan mampu bersaing dengan negara maju lainnya terutama dalam hal olahraga.

Selain ajang unjuk gigi, semangat olahraga adalah perhatian serius bagi Bung Karno. Sejak tanggal 10-22 November 1963, Ganefo dihelat. Selama itu pula semangat "sport minded" menjadi ujung cita-cita Bung pada rakyatnya.

Olahraga menurut Bung Karno tak hanya berkutat pada kekuatan fisik, tapi lebih dari itu yakni pengembangan raga untuk menunjukan kekuatan negara. Sukarno yakin di negara dengan olahraganya yang kuat biasanya soliditas bangsanya juga kuat.

www.sumber.com
www.sumber.com
Di masa Bung Karno, semua ras bersatu. Sebanyak 400 atlet dan official dalam ajang Ganefo terdiri dari semua suku bangsa di Indonesia. "Sport minded" artinya tak hanya memperkuat negara tapi juga tentang penghormatan pada keragaman negeri ini.

Untuk itu ia amat bersemangat membuat olimpiade tandingan bernama Ganefo serta mempercayakan Mentri Olahraga saat itu, Maladi untuk mempersiapkan semuanya selama 200 hari. Bung Karno berpesan pada Maladi " Maladi, engkau aku jadikan Menteri Olahraga dan perintahku kepadamu ialah buatlah seluruh bangsa Indonesia ini sport minded. 

Dari orang Indonesia yang sudah kakek-kakek, Nenek-nenek sampai kepada anak-anak yang masih kecil, jadikan seluruh Rakyat Indonesia sport minded. Kuperintahkan: gerakkan, gerakkan, gerakkan seluruh bangsa Indonesia dan seluruh bangsa New Emerging Forces ini, dengan cara yang sehebat-hebatnya,".

Indonesia saat itu menempati peringkat ke 3 dan sepak bola berhasil menembus babak perempat final setelah sebelumnya menahan imbang RRT dengan skor 1-1 sehingga mendapat tiket ke perempat final mewakili grup B sebagai "runner up". Sayang, langkah tim besutan Mangindaan dan Witarsa terhenti karena kemasukan lima dan memasukan sebiji gol ke gawang Korea pada 18 November 1963.

Hingga hari ini, olahraga terutama sepak bola dalam negeri dengan segala kekurangannya tetap menjadi kegiatan paling diminati oleh masyarakat Indonesia. Dan sampai detik ini pula, indikasi keberpihakan penggede PSSI dengan segelintir kepentingan petinggi klub dalam negeri tetap lestari.

Terakhir dan paling fenomenal adalah penambahan poin untuk tim sim salabim, Bhayangkara FC. Tim yang identik dengan kepolisian ini tiba-tiba mengikuti kompetisi tertinggi dalam negeri. Embrio kesebelasan ini tercipta saat dualisme sepak bola Indonesia terjadi tahun 2010, Persebaya saat itu terpecah menjadi Persebaya 1927 di Liga Premier Indonesia (IPL) dan Persebaya akal-akalan bermain di Indonesia Super League (ISL).

Sebelum memutuskan hijrah ke IPL, Persebaya tak terima dengan keputusan PSSI tahun 2009 tentang keengganannya meneguhkan Persebaya sebagai pemenang ketika memperebutkan tiket play off degradasi. Alasannya jelas, karena Persik Kediri tidak punya dana untuk menggelar pertandingan di luar kota, otomatis Persebaya mendapat tiga poin dalam pertarungan memperebutkan tiket bertahan di kasta tertinggi liga, karena saat itu Persik bertugas sebagai tuan rumah dan Persebaya telah menyanggupi dana oprasional untuk laga ini.

http://mediasepakbola.co
http://mediasepakbola.co
Kekecewaan mendalam Persebaya membuat mereka bergabung ke IPL ketimbang ISL. Untuk mengakali tidak adanya keterwakilan Surabaya di liga ISL, PSSI dan La Nyalla menyulap Persikubar Kutai Barat dan memboyong sebagian besar pemainnya ke Surabaya guna mengibarkan panji Persebaya. Jadilah Persebaya DU berlaga di Divisi Utama dan menjadi cikal bakal tim Bhayangkara FC.

La Nyalla Mattallitti merupakan satu tokoh yang "membangkang" dari kepengurusan resmi PSSI dan membuat Liga Super Indonesia sebagai tendingan liga resmi PSSI, IPL. Walau Persebaya tandingan ini naik ke Liga Super Indonesia, suporter Persebaya, Bonek, tak menghiraukan keberadaannya.

Bahkan tahun 2014, klub sim salabim ini dijatuhi kenyataan pahit oleh Direktorat Jendral Kekayaan Intelektual (Ditjen HAKI). Mereka dianggap menyalahi hak kepemilikan logo dan nama klub sehingga memberi keabsahan kepemilikannya pada Persebaya 1927.

Berkat hasil ini, Persebaya bikinan La Nyalla tak dapat legalitas. Demi mengikuti turnamen Piala Presiden 2015, mereka menambahkan kata "United" untuk mengakali peraturan legalitas turnamen. Pada 30 Juni 2015, mereka menggugat Persebaya 1927 ke Pengadilan Niaga untuk memperjuangkan legalitas, tapi mereka kalah dalam pertarungannya sendiri.

Selanjutnya pada Piala Jendral Sudirman 2015, Persebaya gadungan membentuk barand baru dengan sebutan Bonek FC, lagi-lagi tindakan ini membuat Bonek marah dan memaksa manajeman klub mengubah nama menjadi Surabaya FC. Akhirnya ketika kepastian Liga teratas Indonesia berlangsung tahun 2016, mereka melakukan marger dengan PS Polri sehingga lahirlah buah cinta bernama Bhayangkara FC, sang pemegang "piring" Liga 1, kompetisi yang penuh dagelan.

Kini kita, pecinta sepak bola, dihadapkan pada sebuah liga yang penuh permainan dan keberpihakan. Sebuah kompetisi "sakit" yang awalnya mengembuskan nafas segar dengan janji-janji manis. Inilah liga yang sama-sama kita nanti kedatangannnya selama masa "idah" pembekuan organisasi PSSI, dan saya lebih suka menyebutnya dengan Liga Gocek Traveluka.

Lionel Messi dan Neymar merupakan dua pemain yang dianuegrahi Tuhan dengan kaki yang lincah, keduanya bisa menari layaknya penari balet. Dan jangan lupakan Cristiano Ronaldo, pemain yang kini merumput di Real Madrid ini memiliki kaki yang kuat, permainannya eksposif, badannya pun kuat, gerakannya yang terlihat amat pasti dan mengagetkan lawan mirip dengan pinggul para penyanyi dangdut koplo saat mengikuti pukulan pemain gendang. Gocekan ketiganya membuat bek lawan tak berkutik.

Induk Sepak Bola Indonesia, PSSI, juga memiliki gocekannya sendiri. Ia mahir memainkan regulasi buatannya. Gerakannya seperti Setya Novanto yang hari ini terbaring di rumah sakit untuk kedua kalinya dalam peristiwa yang bersamaan, yakni saat Komisi Anti Rasuah, KPK, menetapkannya sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP. Keduanya punya sifat seperti belut, bergerak lamban tapi sulit ditangkap dan memiliki seribu satu cara menghindar atau mendapatkan keinginannya.

Korban dari gocekan PSSI paling kentara dirasakan oleh klub asal Pulau Dewata, Bali United. Luka itu hadir ketika liga akan berakhir. Mereka yang dipenghujung liga telah mengantongi point sama dengan Bhayangkara FC, yakni 68 poin, harus puas menempati posisi ke dua, padahal mengantungi rataan gol lebih baik yakni 78 kali memasukan dan 38 kali kemasukan bola, sedang Bhayangkara 61 memasukan dan 40 kali kejebolan. Namun sial, Bali United kalah Head to Head.

Bola.net
Bola.net
Dua poin penentu kemenangan Bhayangkara FC di Liga Gocek didapat dengan sedikit bantuan regulasi yang menyatakan bahwa Mitra Kukar abai terhadap salah satu pemainnya, Mohamed Sissoko. Awalnya, mantan pemain Juventus tersebut terkena larangan bermain satu kali dan telah dijalaninya saat klub asal Kalimantan tersebut bertanding melawan Persib Bandung di Stadion Si Jalak Harupat, Jumat (27/10/2017).

Namun Bhayangkara berdalih bahwa seharusnya Sissoko tak boleh bertanding pada saat kedua klub bertemu pada Jumat (3/11/2017). Untuk itu mereka mengajukan banding dan disetujui, akhirnya mereka mendapat dua point. Padahal hukuman tersebut lebih fair jika dilakukan dengan pengurangan poin untuk Mitra Kukar mengingat kompetisi segera usai.

Bahkan Dierktur Operasional Mitra Kukar, Suwanto tak mendapat surat rekomendasi dari PSSI serta Nota Larangan Bermain (NLB) yang diterbitkan PT LIB jelang laga Mitra Kukar Vs Bhayangkara FC.

"Sampai saat kemarin jelang pertandingan belum dapat keputusan itu. Itu bisa saja terlambat dari PSSI-nya," katanya.

Akhirnya, kaus dengan tulisan champions yang telah kesebelasan Bali United buat, tidak terlalu berarti. Bali United tak ubahnya sebagai juara tanpa Trofi dan "piring" yang diangkat Bhayangkara United merupakan bukti nyata profesionalitas PSSI dalam mengelola Liga Gocek Traveluka.

Sebelum dagelan itu muncul, mantan pemain Madura United asal Pantai Gading, Boubacar Sanogo pernah berkomentar tentang buruknya fasilitas yang ada di Liga Indonesia kepada salah satu situs olahraga asal Jerman.

"Saya tidak suka di sana (Indonesia), strukturnya sangat memprihatinkan. Kami tidak punya ruang ganti dan shower di tempat latihan, jadi kami harus (membersihkan diri) di rumah" papar Sanogo.

Sialnya publik sepak bola masih menyalahkan sistem tata kelola si kulit bundar ketimbang tata kelola SDM di tubuh PSSI. Sudah menjadi rahasia umum jika Ketum PSSI saat ini, Edy Rahmayadi ialah seorang petinggi militer dengan sistem kepemimpinan otoriternya.

Nasional Kompas
Nasional Kompas
Sistem tersebut tidak bisa dimasukan ke dalam struktur masyarakat yang cenderung bebas menentukan hidupnya dan dibukakan keran demokrasi sejak tahun 1999. Bisa jadi, kebiasaan memimpin dengan sistem otoriter ini yang membuat banyak keputusan PSSI dibawah kepemimpinannya dirasa berat sebelah dan sering berubah tanpa kejelasan.

Seorang ilmuan politik asal Amerika, Samuel P. Huntington, berpendapat bahwa hubungan antara negara dan tentara sebaiknya didasari dengan kendali sipil secara obyektif, artinya tentara tidak diperbolehkan mencampuri urusan diluar perang dan mempertahankan kedaulatan serta dibutuhkan jeda waktu beberapa tahun jika seorang dari kalangan militer hendak menempati posisi sebagai Mentri Pertahanan.

Begitu juga dengan tokoh dari masyarakat sipil, mereka tak bisa seenaknya mengangkat atase pertahanan begitu saja. Sehingga ada batasan jelas antara keduanya untuk menghindari gesekan kepentingan dan ideologi seperti yang telah saya katakan sebelumnya, hingga tercipta satu simbiosis komensalisme diantara keduanya.

Padahal bangsa ini punya sejarah panjang mengenai andil militer sebagai pemegang kendali negara. Pada era Soeharto, selama 32 tahun ia berkuasa, keritik di bungkam dan kebebasan di kebiri. Kendali kekuasaan hanya bergantung pada satu institusi yakni Presiden. Media dijadikan alat kepanjangan politik penguasa dan kekayaan hanya dirasakan oleh segelintir golongan.

Bahkan jauh sebelum itu, ketika Indonesia baru seumur jagung dan bisa sedikit memegang kendali pemerintahan atas Belanda, terjadi perang urat syaraf antara dua ideologi besar. Ideologi liberal digawangi oleh cendikiawan hasil didikan Belanda serta militer melawan sosialis kiri dengan tokoh utamannya, Soekarno.

Sejak 1948, saat Indonesia masih berkutak dengan pertanyaan tujuan negara ini, dua pemikiran tadi bertarung. Hingga akhirnya tahun 1965 Soekarno beserta kroni dan mereka yang dianggap golongan kiri dihabisi lewat peristiwa G30S. Pembunuhan masyarakat yang disinyalir sebagai anggota PKI terus terjadi.

Kala itu militer menang, Soeharto diangkat menjadi orang nomor satu Indonesia. Akhirnya militer benar-benar berpolitik setelah sebelumnya membuat satu wadah bernama Golkar sebagai cangkang mereka untuk mengikuti konstelasi politik dalam negeri dan Soeharto lah pucuk pimpinan partai berlambang beringin. Sejak 1965 pula, cita-cita "sport minded" Bung Karno mati, digantikan rasa takut dan angin sorga tentang "kesejahteraan", disitulah zona nyaman sepak bola kita walau telah terbentang jarak waktu selama 52 tahun.

D.A

Jakarta, 20 November 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun