Begitu juga dengan tokoh dari masyarakat sipil, mereka tak bisa seenaknya mengangkat atase pertahanan begitu saja. Sehingga ada batasan jelas antara keduanya untuk menghindari gesekan kepentingan dan ideologi seperti yang telah saya katakan sebelumnya, hingga tercipta satu simbiosis komensalisme diantara keduanya.
Padahal bangsa ini punya sejarah panjang mengenai andil militer sebagai pemegang kendali negara. Pada era Soeharto, selama 32 tahun ia berkuasa, keritik di bungkam dan kebebasan di kebiri. Kendali kekuasaan hanya bergantung pada satu institusi yakni Presiden. Media dijadikan alat kepanjangan politik penguasa dan kekayaan hanya dirasakan oleh segelintir golongan.
Bahkan jauh sebelum itu, ketika Indonesia baru seumur jagung dan bisa sedikit memegang kendali pemerintahan atas Belanda, terjadi perang urat syaraf antara dua ideologi besar. Ideologi liberal digawangi oleh cendikiawan hasil didikan Belanda serta militer melawan sosialis kiri dengan tokoh utamannya, Soekarno.
Sejak 1948, saat Indonesia masih berkutak dengan pertanyaan tujuan negara ini, dua pemikiran tadi bertarung. Hingga akhirnya tahun 1965 Soekarno beserta kroni dan mereka yang dianggap golongan kiri dihabisi lewat peristiwa G30S. Pembunuhan masyarakat yang disinyalir sebagai anggota PKI terus terjadi.
Kala itu militer menang, Soeharto diangkat menjadi orang nomor satu Indonesia. Akhirnya militer benar-benar berpolitik setelah sebelumnya membuat satu wadah bernama Golkar sebagai cangkang mereka untuk mengikuti konstelasi politik dalam negeri dan Soeharto lah pucuk pimpinan partai berlambang beringin. Sejak 1965 pula, cita-cita "sport minded" Bung Karno mati, digantikan rasa takut dan angin sorga tentang "kesejahteraan", disitulah zona nyaman sepak bola kita walau telah terbentang jarak waktu selama 52 tahun.
D.A
Jakarta, 20 November 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H