Korban dari gocekan PSSI paling kentara dirasakan oleh klub asal Pulau Dewata, Bali United. Luka itu hadir ketika liga akan berakhir. Mereka yang dipenghujung liga telah mengantongi point sama dengan Bhayangkara FC, yakni 68 poin, harus puas menempati posisi ke dua, padahal mengantungi rataan gol lebih baik yakni 78 kali memasukan dan 38 kali kemasukan bola, sedang Bhayangkara 61 memasukan dan 40 kali kejebolan. Namun sial, Bali United kalah Head to Head.
Namun Bhayangkara berdalih bahwa seharusnya Sissoko tak boleh bertanding pada saat kedua klub bertemu pada Jumat (3/11/2017). Untuk itu mereka mengajukan banding dan disetujui, akhirnya mereka mendapat dua point. Padahal hukuman tersebut lebih fair jika dilakukan dengan pengurangan poin untuk Mitra Kukar mengingat kompetisi segera usai.
Bahkan Dierktur Operasional Mitra Kukar, Suwanto tak mendapat surat rekomendasi dari PSSI serta Nota Larangan Bermain (NLB) yang diterbitkan PT LIB jelang laga Mitra Kukar Vs Bhayangkara FC.
"Sampai saat kemarin jelang pertandingan belum dapat keputusan itu. Itu bisa saja terlambat dari PSSI-nya," katanya.
Akhirnya, kaus dengan tulisan champions yang telah kesebelasan Bali United buat, tidak terlalu berarti. Bali United tak ubahnya sebagai juara tanpa Trofi dan "piring" yang diangkat Bhayangkara United merupakan bukti nyata profesionalitas PSSI dalam mengelola Liga Gocek Traveluka.
Sebelum dagelan itu muncul, mantan pemain Madura United asal Pantai Gading, Boubacar Sanogo pernah berkomentar tentang buruknya fasilitas yang ada di Liga Indonesia kepada salah satu situs olahraga asal Jerman.
"Saya tidak suka di sana (Indonesia), strukturnya sangat memprihatinkan. Kami tidak punya ruang ganti dan shower di tempat latihan, jadi kami harus (membersihkan diri) di rumah" papar Sanogo.
Sialnya publik sepak bola masih menyalahkan sistem tata kelola si kulit bundar ketimbang tata kelola SDM di tubuh PSSI. Sudah menjadi rahasia umum jika Ketum PSSI saat ini, Edy Rahmayadi ialah seorang petinggi militer dengan sistem kepemimpinan otoriternya.
Seorang ilmuan politik asal Amerika, Samuel P. Huntington, berpendapat bahwa hubungan antara negara dan tentara sebaiknya didasari dengan kendali sipil secara obyektif, artinya tentara tidak diperbolehkan mencampuri urusan diluar perang dan mempertahankan kedaulatan serta dibutuhkan jeda waktu beberapa tahun jika seorang dari kalangan militer hendak menempati posisi sebagai Mentri Pertahanan.