Indonesia saat itu menempati peringkat ke 3 dan sepak bola berhasil menembus babak perempat final setelah sebelumnya menahan imbang RRT dengan skor 1-1 sehingga mendapat tiket ke perempat final mewakili grup B sebagai "runner up". Sayang, langkah tim besutan Mangindaan dan Witarsa terhenti karena kemasukan lima dan memasukan sebiji gol ke gawang Korea pada 18 November 1963.
Hingga hari ini, olahraga terutama sepak bola dalam negeri dengan segala kekurangannya tetap menjadi kegiatan paling diminati oleh masyarakat Indonesia. Dan sampai detik ini pula, indikasi keberpihakan penggede PSSI dengan segelintir kepentingan petinggi klub dalam negeri tetap lestari.
Terakhir dan paling fenomenal adalah penambahan poin untuk tim sim salabim, Bhayangkara FC. Tim yang identik dengan kepolisian ini tiba-tiba mengikuti kompetisi tertinggi dalam negeri. Embrio kesebelasan ini tercipta saat dualisme sepak bola Indonesia terjadi tahun 2010, Persebaya saat itu terpecah menjadi Persebaya 1927 di Liga Premier Indonesia (IPL) dan Persebaya akal-akalan bermain di Indonesia Super League (ISL).
Sebelum memutuskan hijrah ke IPL, Persebaya tak terima dengan keputusan PSSI tahun 2009 tentang keengganannya meneguhkan Persebaya sebagai pemenang ketika memperebutkan tiket play off degradasi. Alasannya jelas, karena Persik Kediri tidak punya dana untuk menggelar pertandingan di luar kota, otomatis Persebaya mendapat tiga poin dalam pertarungan memperebutkan tiket bertahan di kasta tertinggi liga, karena saat itu Persik bertugas sebagai tuan rumah dan Persebaya telah menyanggupi dana oprasional untuk laga ini.
La Nyalla Mattallitti merupakan satu tokoh yang "membangkang" dari kepengurusan resmi PSSI dan membuat Liga Super Indonesia sebagai tendingan liga resmi PSSI, IPL. Walau Persebaya tandingan ini naik ke Liga Super Indonesia, suporter Persebaya, Bonek, tak menghiraukan keberadaannya.
Bahkan tahun 2014, klub sim salabim ini dijatuhi kenyataan pahit oleh Direktorat Jendral Kekayaan Intelektual (Ditjen HAKI). Mereka dianggap menyalahi hak kepemilikan logo dan nama klub sehingga memberi keabsahan kepemilikannya pada Persebaya 1927.
Berkat hasil ini, Persebaya bikinan La Nyalla tak dapat legalitas. Demi mengikuti turnamen Piala Presiden 2015, mereka menambahkan kata "United" untuk mengakali peraturan legalitas turnamen. Pada 30 Juni 2015, mereka menggugat Persebaya 1927 ke Pengadilan Niaga untuk memperjuangkan legalitas, tapi mereka kalah dalam pertarungannya sendiri.
Selanjutnya pada Piala Jendral Sudirman 2015, Persebaya gadungan membentuk barand baru dengan sebutan Bonek FC, lagi-lagi tindakan ini membuat Bonek marah dan memaksa manajeman klub mengubah nama menjadi Surabaya FC. Akhirnya ketika kepastian Liga teratas Indonesia berlangsung tahun 2016, mereka melakukan marger dengan PS Polri sehingga lahirlah buah cinta bernama Bhayangkara FC, sang pemegang "piring" Liga 1, kompetisi yang penuh dagelan.
Kini kita, pecinta sepak bola, dihadapkan pada sebuah liga yang penuh permainan dan keberpihakan. Sebuah kompetisi "sakit" yang awalnya mengembuskan nafas segar dengan janji-janji manis. Inilah liga yang sama-sama kita nanti kedatangannnya selama masa "idah" pembekuan organisasi PSSI, dan saya lebih suka menyebutnya dengan Liga Gocek Traveluka.
Lionel Messi dan Neymar merupakan dua pemain yang dianuegrahi Tuhan dengan kaki yang lincah, keduanya bisa menari layaknya penari balet. Dan jangan lupakan Cristiano Ronaldo, pemain yang kini merumput di Real Madrid ini memiliki kaki yang kuat, permainannya eksposif, badannya pun kuat, gerakannya yang terlihat amat pasti dan mengagetkan lawan mirip dengan pinggul para penyanyi dangdut koplo saat mengikuti pukulan pemain gendang. Gocekan ketiganya membuat bek lawan tak berkutik.
Induk Sepak Bola Indonesia, PSSI, juga memiliki gocekannya sendiri. Ia mahir memainkan regulasi buatannya. Gerakannya seperti Setya Novanto yang hari ini terbaring di rumah sakit untuk kedua kalinya dalam peristiwa yang bersamaan, yakni saat Komisi Anti Rasuah, KPK, menetapkannya sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP. Keduanya punya sifat seperti belut, bergerak lamban tapi sulit ditangkap dan memiliki seribu satu cara menghindar atau mendapatkan keinginannya.