Dengan langkah tegap berjalan
Seorang pria gendut ubanan
Kau menyusuri lorong pasar
Dikawal ratusan kamera para wartawan
Untuk bahan obrolan buat isi koran
Gemetar para pedagang
Waktu melihat Semar datang
Mengoreksi harga makanan
Begitulah nukilan lagu berjudul Semar Mendem karya Iwan Fals. Lagu ini merupakan satu diantara sederet karya Om Iwan yang tidak laku dijual kepada label rekaman dan akhirnya tak beredar di pasaran.
Iwan Fals merupakan lambang perlawanan masyarakat kelas bawah untuk menghukum penguasa Orde Baru lewat jalur musik. Lewat karyanya, bapak tiga anak ini tidak asing dengan dinginnya jeruji besi dan tak jarang konsernya harus dibatalkan di beberapa daerah akibat tidak direstui oleh semar.
Lagu semar di rekam ketika pria asal hdjdjd ini bergabung dalam grup bernama "Amburadul". Lagu Semar Mendem ini lahir tahun 1978 dan sangat jelas dibuat untuk menyindir penguasa saat itu yakni Soeharto.
Semar tidak asing dalam cerita wayang, ada beberapa versi tentang silsilah tokoh ini tetapi semar merupakan keturunan dewa. Sehingga tak heran jika Soeharto disandingkan dengan dewa karena kekuatannya mampu mengontrol negara tanpa ada yang mampu menjegal keinginannya.
Harga kebutuhan bahan pokok waktu itu melambung tinggi dan kedatangan Jenderal Bintang Lima ini mampu menurunkannya dengan sekejab. Tetapi dalam lirik lanjutan lagu ini, harga kembali naik sesaat setelah semar tidak terlihat lagi oleh pedagang.
Iwan lantas kecewa karena mendapati harga tidak sesuai dengan yang dibuat oleh para pewarta sehingga ia bertanya kepada para penjual di pasar. Mereka hanya meminta kepadanya untuk kembali bertanya pada "semar ubanan".
Pria bernama asli Virgiawan Listanto ini kini mendapat kecaman luas dari masyarakat dan para fansnya sendiri. Para pembencinya menilai bahwa dia berpihak pada penguasa sekarang sehingga tidak berani menghasilkan kritik-kritik pedas pada pemerintah. Bahkan menurut kabar yang berdedar, ada salah satu fansnya yang membuat seluruh koleksi kaset Iwan Fals yang dimiliki akbiat kesal dengan kelakuan idolanya ini.
Sebenarnya sebagai seorang manusia yang berprofesi sebagai seniman, ia tak bisa melulu mengkritik sebuah rezim. Satu sisi ia akan memainkan peranannya sebagai warga negara untuk bersikap dan memandang segala persoalan tanpa adanya tekanan dari berbagai pihak, begitupun dengan Iwan Fals yang selalu menjunjung tinggi hati nuraninya.
Bagi seorang fans berat Iwan Fals, pasti kita mengingat peristiwa dimana Om Iwan tidak dipilih oleh para fansnya dalam Munas Ormas OI. Ia kalah dalam pemilihan sekjen saat itu, padahal Ormas OI merupakan basis fans Iwan Fals. Kedewasaan berpolitik yang ada di tubuh OI dan Iwan nampaknya tidak dimengerti oleh banyak pecintanya dewasa ini.
Penurunan kualitas karya menjadi satu hal yang juga di hembuskan oleh para pembencinya. Sebenarnya apa yang dilakukan Iwan bukanlah buah dari penurunan kualitas, ia hanya mencoba menyesuaikan tren pasar Indonesia yang didominasi oleh musik band beraliran pop dengan lirik mendayu. Keduanya bukanlah kebiasaan pria kelahiran Jakarta, 3 September 1961.
Iwan adalah musisi yang multi talenta, awalnya ia muncul dengan gendre balada, kemudian berganti country, rock, dan kini pop. Perubahan ini tak lepas dari pergeseran bentuk suaranya. Sebagai seorang seniman jalanan, ia memiliki warna suara melengking dan lama kelamaan menjadi “bulat” akibat dipoles pengalaman manggung dan kini berubah lagi mengikuti umur yang tidak muda lagi sehingga cocok untuk memainkan lagu-lagu bergendre pop. Semua ini tercermin dalam album barunya bertajuk “Satu” dengan empat band terkemuka tanah air.
Seharusnya sebagai pecinta, kita harus sadar bahwa Iwan juga manusia dengan hati nurani serta pikiran untuk bersikap. Percayalah, manusia segarang Fidel Castro maupun Soeharto tak akan berdaya ditelan usia termasuk Iwan Fals.
(D.A)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI