Waktu menunjukan pukul 14.00 WIB, kala itu Jakarta diguyur hujan deras. Untungnya saya sedang ditemani dengan segelas kopi dan beberapa gorengan di warkop dadang, tepatnya dibelakang Mall Pejaten Village.
Kebiasaan meminum kopi itu sudah ada sejak kecil, ketika simbahku selalu nyeruput kopi sehabis Sembahyang Subuh bersama. Walau kopi racikannya tak ciamik layaknya bikinan barista, namun dengan cinta semuanya terasa berbeda.
Kala hujan deras mengguyur tanah Jakarta, banyak pengendara motor terlihat panik untuk mencari tempat berteduh atau sekedar mendapatkan lapak mengenakan jas hujan. Seorang perempuan yang saya taksir berumur 35 hingga 40-an tahun dengan kerudung hijau bersama seorang lelaki muda berteduh disamping warkop tempat saya bersama seorang rekan menikmati libur akhir pekan.
Ditengah air hujan yang tampias mengenai bahunya disertai rintik air yang jatuh dari genting akibat bocor, perempuan itu asyik memainkan gawai pintarnya menampikan bahaya air jika mengenai alat telekomunikasinya. Setelah diperhatikan secara seksama ia malah asik selfieditengah hujan.
Kebiasaan berselfie ria ibarat kehidupan anak kuda yang tak menghiraukan kondisi tubuhnya yang kerdil dan bulat namun tetap ngotot mengikuti lomba pacuan dalam film anak berjudul Makibao. Manusia yang gandrung terhadap selfie ini sering tak tahu malu dan melakukan segala macam cara agar mendapatkan hasil bagus.
Beberapa waktu lalu salah satu pendaki tewas akibat aksi ‘heroiknya’ mendaki Puncak Garuda di Gunung Merapi. Lelaki tersebut akhirnya meninggal dunia akibat terjatuh dan tenggelam di kawah merapi. Puncak Garuda adalah spot paling indah menurut saya untuk mengambil gambar, tetapi strukturnya yang terdiri dari bebatuan membuat tempat ini dilarang untuk di panjat akibat rawan longsor.
Seperti halnya komunis, banyak orang yang menggunakan kata selfie atau dialih bahasakan menjadi swafoto ini tanpa paham maksudnya. Selfie adalah salah satu cara pengambilan gambar, murni dilakukan oleh satu orang menggunakan tangannya sendri dengan kamera maupun menggunakan bantuan cermin untuk memantulkan objek (manusia). Para pecinta selfie sering dikatakan sebagai kelompok narsis. Mereka seakan ingin menonjolkan keberadaannya. Kebiasaan swafoto ini sebenarnya sudah ada sejak abad 19-an. Kala itu putri keempat Tsar Nicholas II dari Rusia dengan kamera boks kodak browie melakukan selfie di depan cermin.
Sedangkan narsis yang sering disebutkan banyak orang untuk menggambarkan perilaku pecinta selfie dicetuskan pertama kali oleh Sigmud Freud. Narsisme menurut Freud digunakan untuk menggambarkan individu yang cinta terhadap diri sendiri secara berlebihan dan individu tersebut disebut narsistik.
Kata narsis ini diambil dari seorang tokoh pada mitologi Yunani bernama Narsisus. Pemuda satu ini digambarkan sebagai orang yang tampan, karena ketampanannya itu ia menyukai gambaran dirinya. Sampai satu ketika ia menemukan pantulan dirinya pada sebuah danau. Ia terus mengamati sampai akhirnya tenggelam karena mencoba menggapai pantulan dirinya sendiri.
Kegiatan berselfie ria ini sering dilakukan oleh kaum hawa yang lebih narsis dibanding kaum Adam. Sehingga kita sebagai pria harus mengamini umpatan bahwa “perempuan selalu benar dan laki-laki selalu salah” karena narsis dekat dengan ego jika merujuk pada makna narsisme menurut Freud.
Indonesia masih mengenal perbedaan kelas antara perempuan dan laki-laki jika merujuk pada kebiasaan wanita berpegangan tangan atau meminta ditemani ke kamar kecil kepada sesamanya maupun foto saling berpelukan antar perempuan. Bagaimana kebiasaan itu dilakukan oleh laki-laki? Menjijikan bukan? Sama halnya jika melihat laki-laki melakukan selfie pasti ada rasa tidak enak untuk melihatnya atau muncul stigma bahwa pria tersebut mengalami gangguan seksual.
Sebagai sebuah kesatuan, narsisme dan perwujutan dalam kegiatan selfie memiliki keuntungan sebagai identitas dan eksistensi diri. Lihatlah yang saya lakukan sekarang, ini adalah bentuk narsis karena saya bukanlah ahli psikologi namun menulis sebagai penguat identitas diri sebagai bloger layaknya selfie bagi pecintanya.
Namun apakah kegiatan selfie itu salah? Menurut saya tidak. Selfie adalah hak manusia walaupun berbeda warna kulit, mata, dan hidung jika tidak melanggar hukum. Namun manusia memiliki satu pedoman duniawi untuk menjalani hidup di luar hukum pidana dan perdata yaitu norma.
Lalu bagaimana wanita dengan kerutan yang tegas di wajahnya itu, apakah menyalahi norma? Yang jelas banyak spot berswafoto lebih indah dibanding samping warkop dengan pemandangan jalan raya. Membingkai diri melalui foto memiliki implikasi besar untuk mengunggahnya ke akun media sosial sebagai pengingat maupun peneguhan eksistensi tapi apakah layak kerutan itu ditampilkan, bagaimana dengan perasaan anaknya melihat kelakukannya ini mengingat di umur tersebut kebanyakan manusia telah berkeluarga dan memiliki keturunan.
Bisa jadi, para narsistik ini terilhami kata-kata filsuf asal Yunani, Socrates yang mengatakan bahwa kenali dirimu dalam mencari pencerahan dan kebijaksanaan. Untuk itu narsistik melakukan selfie sebagai bentuk pengenalan diri dan upaya pengenalan identitas diri kepada orang lain.
Sementara kita bicara soal narsisme dan selfie rekan ngopi saya terus ngedumel akibat malu melihat tingkah perempuan tersebut serta olok-olok saya karena yang kita bicarakan adalah Ibundanya. Selamat berakhir pekan, Kompasianer. Jangan lupain Silvi ya, eh selfie...
(D.A)
Palmerah, 24 Februari 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H