Perang suci ini terjadi berkat gesekan antara pribumi (orang Jawa) dengan para meneer serta warga Tionghoa maupun para peranakannya di Hindia Belanda. Orang Tionghoa yang kebanyakan bekerja sebagai penjaga gerbang tol semakin menjadi dalam mengambil pajak para pedagang. Semua ini merupakan buntut dari persaingan mereka mendapatkan lahan garapan gerbang tol untuk mengeruk keuntungan bagi modal hidup di tanah harapan. Pemerintah kolonial dan daerah juga menginginkan kenaikan pendapatan mereka.
Pekerjaan sebagai penjaga bandar Tol merupakan gawe paling nista untuk kaum ningrat, mereka harus memeras keringat pribumi demi menebalkan kas kerajaan maupun kesultanan dan pemerintah kolonial waktu itu. Dengan “efisiensi” ala Tiongkok, kas pemerintahan saat itu terus melambung, namun rasio gesekan dan penindasan pribumi semakin meningkat.
Lewat serangkaian penyerangan tersebut, ada beberapa cerita unik tentang perang suci versi Pangeran Diponegoro seperti yang terjadi pada komonitas Tionghoa di Bagelan. Mereka berhasil bertahan ditengah gencarnya serangan, namun pada tahun 1827 akhirnya mereka diungsikan ke daerah Wonosobo. Tetapi warga disana meminta komunitas ini untuk kembali karena keterampilan ekonomi yang dimiliki komunitas tersebut yang disokong lewat pembuatan kerajinan.
Para peranakan Tiongkok yang kini masih bertahan di Indonesia menghadapi situasi yang hampir sama. Gerakan anti Tingkok semakin berkobar, situasi Indonesia walau terlihat adem ayem namun rentan bagai telur diujung tanduk— salah langkah sedikit akan ambruk, perpecahan tak terindahkan— genosida mungkin saja terjadi lagi seperti tahun-tahun kebelakang.
Padahal Tiongkok merupakan satu diantara sederet negara yang sudi menggelontorkan dana investasi sedemikian besar kepada kas negara. Seperti yang dilansir dari Antaranews, Negara Tirai Bambu tersebut menjadi investor terbesar ketiga untuk Indonesia yakni 1,6 miliar dolar AS.
Apalagi jika ditengok ke zaman perang dingin mulai sedikit banyak mempengaruhi arah pembangunan Indoensia, saat itu para penganut paham komunis mulai pecah kongsi dengan komunis Rusia. Saat itu Indonesai dekat dengan Tiongkok dan berkat kemesraan itu kita dijanjikan menerima bantuan senjata untuk angkatan kelima, beranggotakan buruh dan petani yang dipersenjatai.
Zaman berubah namun nasib peranakaan Tionghoa tetap begitu-gitu aja menjadi sasaran empuk para demonstran seperti dalam tragedi 1998 dimana kelenteng dibakar, penjarahan di toko-toko (terlebih penjualnya bermata sipit), kekerasan terhadap orang yang diindikasikan keturunan Tiongkok padahal ekonomi Indonesia saat itu amat dimanjakan dengan para pengusaha keturunan Tiongkok. Seperti yang sebelumnya telah disebutkan, posisi sebagai “minoritas perantara”membuat mereka serba salah, satu sisi dimusihi namun disisi lain dicintai.
Berkaca pada catatan sejarah tersebut, walaupun mencoba mendekatkan diri dengan pribumi sejak sebelum VOC datang ke Indonesia lewat jalur perdagangan, pernikahan dengan penduduk pribumi, memeluk Agama mayoritas yaitu Islam, melakukan akulturasi budaya, dan mendekatkan diri pada penguasa membuat anak-anak keturunan Tiongkok ini seperti kata Raisa, serba salah.
Saatnya pemerintah melakukan berbagai kebijakan untuk mencoba membuka slot-slot di pemerintahan bagi semua anak keturunan bangsa lain terutama Tiongkok agar mereka tidak menyatu dalam bidang ekonomi. Ekonomi merupakan masalah paling cepat untuk memicu gesekan-gesekan didalam tatanan masyarakat yang terbuka. Negara harus andil dalam membudayakan selogan Bhineka Tunggal Ika sebagai pemersatu bangsa, karena semakin kesini iklim tenggang rasa antar golongan semakin rapuh, contohnya dengan pembuatan parade di setiap hari kebesaran agama lain dan menggalakan pelajaran nasionalisme dalam mata pelajaran kewarganegaraan.