Mohon tunggu...
Diaz Abraham
Diaz Abraham Mohon Tunggu... Jurnalis - Penyesap kopi, pengrajin kata-kata, dan penikmat senja

Peraih Best Feature Citizen Jurnalis 2017 dari PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) | Sisi melankolianya nampak di Tiktok @hncrka | Narahubung: diazabraham29@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Sampah Jakarta Gak Cuma di Darat, Bang!

11 Januari 2017   12:44 Diperbarui: 12 Januari 2017   05:16 689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sampah di laut dokumentasi pribadi

 Trio pasangan bakal cagub dan cawagub DKI saling adu strategi dan program dalam mengambil simpati rakyat Jakarta. Sedikitnya ada tiga masalah  utama yang ingin dibenahi oleh para petarung yaitu banjir, kemacetan, dan kesenjangan ekonomi. Sayangnya kali ini saya hanya ingin fokus pada masalah banjir yang setia menemani Jakarta. 

Berbicara mengenai banjir, kita harus melihat dari hulu hingga hilir guna membebaskan Jakarta dari bahaya tersebut. Karena perjalanan air yang mengaliri Ibu Kota amat melelahkan dan membosankan akibat banyak arus air terhalang oleh sampah, mari kita tabuhkan genderang perang pada sampah. 

Disamping pembalakan liar dan alih fungsi resapan air di daerah puncak menjadi vila-vila, sampah yang dibuang ke sungai menjadi pemicu lain terjadinya banjir. Kurangnya kesadaran masyarakat untuk membuang sampah ditempat seharusnya adalah salah satu sebabnya.  

Mudahnya membuang sampah di sungai dibanding di Tempat Pembuangan Sementara (TPS) merupakan dalih warga. Bagaimana tidak, rumah warga yang berdekatan dengan bibir sungai adalah satu pemicunya. Ailiran air pun membawa sampah rumah tangga tersebut menuju muaranya yaitu laut, kadang tersangkut sampah lain dan menumpuk menyebabkan naiknya permukaan air sehingga banjir tak terhindarkan. 

Pembangunan rumah di bibir sungai merupakan satu perbuatan yang melanggar hukum karena menurut UU No 7/2004 tentang Sumber Daya Air dan PP No 38/2011 tentang Sungai menyatakan bahwa 10-20 meter dari bibir sungai atau sempadan dilarang untuk dibangun. Sungai, termasuk sempadan, adalah milik negara. Sumber

Tapi warga di bibir sungai punya dalih lainnya yakni mempertanyakan kecerobohan Pemprov dalam menerbitkan surat tanah yang mereka miliki. Inilah kendala Ahok ketika hendak merelokasi warga bantaran sungai ke rusun-rusun, pembebasan lahan menjadi jawaban ketika ia menjabat sebagai cagub untuk mempercantik bantaran sungai.  

Setidaknya itulah dalih Pemprov DKI dan masyarakat bantaran sungai menghadapi salah satu perdebatan mengatasi banjir sekaligus menghilangkan aliran sungai dari sampah. Pekerja Prasarana dan Sarana Umum (PPSU) menjadi pelita warga DKI untuk menghilangkan sampah yang bertebaran di sudut-sudut kota. 

Walau kinerjanya sangat efektif menghilangkan sampah tetap saja beda nahkoda beda formasi yang diterapkan. Ahok hilang, sungai kembali dipenuhi sampah. Meskipun Anda bukan Ahoker, cobalah untuk tidak membohongi hati kecil bahwa realita yang saya utarakan adalah benar adanya. 

Sebentar, ada bagian yang hilang dari pembuangan sampah ke ke sungai. Kita belum bicara soal muara dan kepulauan seribu yang masuk provinsi DKI Jakarta! Bagaimana penanganan sampah disana apalagi beberapa pulau itu merupakan destinasi wisata warga. 

Muram! Itulah satu kata yang harus saya lontarkan. Sungai mengalir dan bermuara di lautan lepas. Sampahnya juga terbawa sebagai bekal dari kita, manusia, kepada lautan yang memberikan kita protein dan komuditas tambang. Sampah plastik dan pempers adalah beberapa ornamen penghias teluk Jakarta. 

Situasi ini saya alami sendiri ketika hendak menyebrang menuju Pulau Pramuka, salah satu gugusan kepulauan seribu. Petualangan sampah tak berhenti di teluk, Anda akan menemukan mereka di tengah laut! 

Inilah bagian paling asyiknya diantara sederet teks tak bermanfaat ini bagi para pemangku kebijakan. Maklum mereka sibuk dan susah piknik ke pulau, kususnya pulau seribu sehingga tak tau kondisinya dan banyak diantaranya terlihat alergi terhadap kritik. 

Mereka membuat sarana prasarana penunjang pariwisata disana namun lupa menyediakan tempat untuk membuang sampah wisatawan, bukan tong sampah tapi (Tempat Pembuangan Akhir) TPA dekat Kepulauan Seribu. Alhasil sampah tersebut banyak yang dibuang begitu saja oleh warga dan penguniung ke tepian pulau. 

sampah di laut dokumentasi pribadi
sampah di laut dokumentasi pribadi
Saya melihat PPSU dan kapal pengangkut sampah namun menurut keterangan salah seorang ABK KLPN KN.Keris, kapal pengangkut sampah yang disediakan Pemprov tidak setiap hari beroprasi mengangkut sampah menuju TPA Bantar Gebang. Petugas yang disiagakan membersihkan areal Pulau Pramuka hanya bisa membersihkan sampah di sekitaran pulau, mereka tidak memiliki alat pendukung membersihkan sampah di lautan lepas. 

Menurut kesaksian ABK tersebut, sampah yang saya lihat di tengah laut merupakan buah tangan warga di kepulauan seribu untuk menyapa pengunjung sebelum menjejakan kaki ke gugusan pulau yang penuh dengan sejarah dan keindahan alam. Kotornya perairan di Indonesia khususnya di pulau yang padat penduduknya bukanlah hal aneh. 

Menurut seorang rekan yang bertugas sebagai ABK di kapal-kapal pelayaran, untuk membedakan lautan Indonesua dengan negara lainnya amatlah mudah. Jika terlihat sebuah pulau keluarlah ke geladak kapal, jika ada bungkus rokok yang kita kenali mengapung di sekitar kapal berarti Anda sudah masuk perairan Indonesia. 

Begitu buruknya kondisi manajemen persampahan Indonesia sampai tercetuslah ide kocak itu untuk mencirikan perairan kita. Namun maaf, saya harus mengatakan dengan jujur bahwa tiga pasang cagub dan cawagub Jakarta belum memperhatikan dampak terombang ambingnya sampah di lautan yang mungkin jumlahnya melebihi korban perang yang mencari suaka ke negara lain. 

Karena cagub juga manusia, mereka lupa memperhatikan kelangsungan laut kepulauan seribu yang dahulu terkenal dengan keindahannya. Saya belum melihat maupun membaca program cagub DKI untuk memperhatikan sampah yang seliweran dilautan. 

Kepulauan Seribu seakan anak tiri yang tak diharapkan keberadaannya di Jakarta sehingga Pemprov mencontohkan pada kita bagaimana timpangnya pembangunan Ibu Kota. Padahal Kepulauan Seribu merupakan salah satu tempat favorit menghabiskan waktu liburan. 

Bagai sebuah hukum kausal, kedatangan manusia menuju satu tempat berdampak pada kehancuran. Setidaknya inilah kenyataan di negeri ini yang tak bisa kita bantah. Pemberian Tuhan berupa akal nyatanya tak digunakan dengan bijak demi kelangsungan bumi sebagai tempat makhluk hidup bermain. 

Dibanding menyiapkan satuan tugas PPSU dan kapal pengangkut sampah, perubahan pola pikir harusnya jadi prioritas pemerintah dalam memberangus sampah di lingkungan masyarakat. Penyadaran tentang bahaya sampah terhadap kelangsungan hidup dan cara mendaur ulang sampah menjadi barang yang berdaya guna harus di dorong. 

Walau kesadarannya tidak timbul dalam satu atau dua tahun, namun karena akal yang telah Tuhan anugerahkan kepada manusia, program ini akan terlaksana dan kesadaran membuang sampah pada tempatnya akan sukses. Generasi alergi buang sampah sembarangan akan tercipta. Selanjutnya generasi tersebut akan beranak pinak sehingga menularkan kebiasaannya pada anak cucu, begitu seterusnya. 

Perlu konsep matang demi suksesnya cita-cita ini. Melakukan sosialisasi ke berbagai daerah khususnya di daerah pelosok yang belum banyak terkontaminasi oleh tangan jail manusia. Kenapa harus pelosok? Karena warganya cenderung memegang teguh tradisi dan amat bergantung pada alam. Tapi ancaman suatu saat datang ketika pemerintah melakukan eksploitasi dalam bentuk ekonomi baik pembukaan lahan, pembangunan pabrik, atau pembukaan daerah pariwisata yang dibarengi dengan sarana serta prasarana transportasi sehingga mengundang manusia dari banyak daerah. 

Pembangunan tersebut suka tidak suka akan merusak alam karena mengundang manusia untuk datang dengan kotoran yang dihasilkan. Peran serta masyarakat asli dalam menjaga dan melek terhadap keberlangsungan alam akan mengawal pembangunan dan kebersihan lingkungan sehingga para pendatang segan merusak lingkungan. 

Bagaimana dengan lingkungan yang terlanjur rusak dengan warga yang kurang memiliki kepekaan terhadap lingkungan seperti Jakarta? Caranya sama dengan penyuluhan yang terus menerus namun harus diramu dengan argumen kuat dan masuk akal, karena warga Jakarta dan kota-kota maju lainnya lebih modern sehingga pemikirannya lebih maju dibanding warga pedalaman yang percaya dengan kepercayaan serta tahayul. 

Pemberian denda seberat-beratnya serta relokasi dari bantaran sungai cukup efektif untuk meningkatkan keresahan warga bantaran sungai kembali membandel. Mengapa harus keras? Coba tengok masa Soeharto berkuasa, sangat sedikit orang yang berani bangun dari kasur nyamannya untuk berorasi menyuarakan kritik pada pemerintahan orba. 

dokumentasi pribadi (situgunung)
dokumentasi pribadi (situgunung)
Semua itu terjadi karena ketakutan mereka akibat sanksi yang diberikan berupa penjara atau lenyap dari muka bumi. Indonesia saat itu aman dari demo dan mogok kerja, penggugatan ke pengadilan juga tidak ada. Sedikit keras itu perlu layaknya orangtua bersama anak. 

Jika persoalannya melanggar HAM masyarakat bantaran susngai, penjara juga melanggar HAM karena jeruji besi itu menjauhkan manusia dari keluarga, lingkungan, dan teman sepermainannya. Mereka juga dirampas hak untuk melepas kegundahan syahwatnya. 

Saatnya berfikir soal KAM, Kewajiban Azazi Manusia karena ada hak ada kewajiban, bukan? Berfikirlah cerdas, dunia ini tidak dibuat hanya untuk Anda. Dunia ini dibuat untuk seluruh mahluk termasuk yang terkecel seperti mikroba dan orang-orang yang taat peraturan tetapi terkena dampak sampah Anda!

Menarik ditunggu perjalanan tiga pasang calon Gubernur DKI dalam menanggulangi sampah di laut, perumahan kumuh di bantaran sungai, dan banjir. Apakah konsep rumah apung akan dipakai? Apakah penggusuran yang katanya tidak bermoral itu dilakukan lagi? Atau mempercantik rumah kumuh dengan pengecetan ulang bisa berfaedah mengurangi banjir? Semua itu tergantung selera Anda, warga DKI yang terhormat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun