Inilah bagian paling asyiknya diantara sederet teks tak bermanfaat ini bagi para pemangku kebijakan. Maklum mereka sibuk dan susah piknik ke pulau, kususnya pulau seribu sehingga tak tau kondisinya dan banyak diantaranya terlihat alergi terhadap kritik.Â
Mereka membuat sarana prasarana penunjang pariwisata disana namun lupa menyediakan tempat untuk membuang sampah wisatawan, bukan tong sampah tapi (Tempat Pembuangan Akhir) TPA dekat Kepulauan Seribu. Alhasil sampah tersebut banyak yang dibuang begitu saja oleh warga dan penguniung ke tepian pulau.Â
Menurut kesaksian ABK tersebut, sampah yang saya lihat di tengah laut merupakan buah tangan warga di kepulauan seribu untuk menyapa pengunjung sebelum menjejakan kaki ke gugusan pulau yang penuh dengan sejarah dan keindahan alam. Kotornya perairan di Indonesia khususnya di pulau yang padat penduduknya bukanlah hal aneh.Â
Menurut seorang rekan yang bertugas sebagai ABK di kapal-kapal pelayaran, untuk membedakan lautan Indonesua dengan negara lainnya amatlah mudah. Jika terlihat sebuah pulau keluarlah ke geladak kapal, jika ada bungkus rokok yang kita kenali mengapung di sekitar kapal berarti Anda sudah masuk perairan Indonesia.Â
Begitu buruknya kondisi manajemen persampahan Indonesia sampai tercetuslah ide kocak itu untuk mencirikan perairan kita. Namun maaf, saya harus mengatakan dengan jujur bahwa tiga pasang cagub dan cawagub Jakarta belum memperhatikan dampak terombang ambingnya sampah di lautan yang mungkin jumlahnya melebihi korban perang yang mencari suaka ke negara lain.Â
Karena cagub juga manusia, mereka lupa memperhatikan kelangsungan laut kepulauan seribu yang dahulu terkenal dengan keindahannya. Saya belum melihat maupun membaca program cagub DKI untuk memperhatikan sampah yang seliweran dilautan.Â
Kepulauan Seribu seakan anak tiri yang tak diharapkan keberadaannya di Jakarta sehingga Pemprov mencontohkan pada kita bagaimana timpangnya pembangunan Ibu Kota. Padahal Kepulauan Seribu merupakan salah satu tempat favorit menghabiskan waktu liburan.Â
Bagai sebuah hukum kausal, kedatangan manusia menuju satu tempat berdampak pada kehancuran. Setidaknya inilah kenyataan di negeri ini yang tak bisa kita bantah. Pemberian Tuhan berupa akal nyatanya tak digunakan dengan bijak demi kelangsungan bumi sebagai tempat makhluk hidup bermain.Â
Dibanding menyiapkan satuan tugas PPSU dan kapal pengangkut sampah, perubahan pola pikir harusnya jadi prioritas pemerintah dalam memberangus sampah di lingkungan masyarakat. Penyadaran tentang bahaya sampah terhadap kelangsungan hidup dan cara mendaur ulang sampah menjadi barang yang berdaya guna harus di dorong.Â
Walau kesadarannya tidak timbul dalam satu atau dua tahun, namun karena akal yang telah Tuhan anugerahkan kepada manusia, program ini akan terlaksana dan kesadaran membuang sampah pada tempatnya akan sukses. Generasi alergi buang sampah sembarangan akan tercipta. Selanjutnya generasi tersebut akan beranak pinak sehingga menularkan kebiasaannya pada anak cucu, begitu seterusnya.Â