Mohon tunggu...
Diaz Abraham
Diaz Abraham Mohon Tunggu... Jurnalis - Penyesap kopi, pengrajin kata-kata, dan penikmat senja

Peraih Best Feature Citizen Jurnalis 2017 dari PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) | Sisi melankolianya nampak di Tiktok @hncrka | Narahubung: diazabraham29@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Palagan Baru Para Calon Presiden 2014

27 Desember 2016   19:51 Diperbarui: 28 Desember 2016   11:58 843
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertarungan para calon presiden 2014 yang dilakukan oleh Jokowi dan Prabowo memang telah usai dan dimenangkan oleh pasangan Jokowi dan wakilnya JK. Namun pada kenyataannya, pertarungan tersebut masih berlangsung hingga kini di akhir tahun 2016. Perjalanan keduanya amatlah panjang sebelum Jokowi keluar sebagai jawara. Keduanya bersama relawan dan tim suksesnya beradu strategi untuk meraup sebanyak-banyaknya suara masyarakat untuk melanggengkan niatan menjadi presiden terpilih menggantikan SBY yang telah kenyang menjabat kursi Presiden RI selama sepuluh tahun.

Selain kematangan strategi, tim sukses kedua kubu juga mencoba memperbaiki citra para jagoannya masing-masing. Jokowi dengan label media darling yang beritanya selalu dicari oleh awak media, sedangkan Prabowi sibuk menghilangkan stigma soal masa lalunya. Sebagai media darling, sosok Jokowi tak perlu repot mengiklankan diri dan mengundang media, karena medialah yang akan mendatanginya. Sosoknya pun telah dikenal luas sebagai pemimpin yang tak segan bertemu rakyat seperti saat ia menjabat sebagai Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta. Bagaimana dengan Prabowo?

Pria yang memang jarang nampil di depan layar itu harus berdamai dengan kebiasaan masa lalunya demi memenangkan palagan baru baginya, ia akhirnya turun gunung dan menampakan wujudnya didepan sorotan kamera serta alat perekam milik insan pers lainnya. Kesalahan masa lalu sebagai tangan kanan pemimpin orde baru, Soeharto, tak bisa ia hilangkan dengan cepat.

Potret muram mengenai pelanggaran HAM dimasa itu terus menghantui langkahnya. Tuduhan percobaan makar yang dilakukannya ketika BJ Habibie mengantikan Soeharto adalah tantangan lainnya untuk mengangkat citra mantan Denjen Kopasus itu. Akhirnya ia mendekati media dan mematahkan semua tuduhan itu dengan memanfaatkan media massa. Ditengah pusaran dua poros politik tersebut, media massa pun bersikap.

Para pemilik modal setiap media dan menjabat sebagai petinggi parpol memanfaatkan kelebihan ini. Mereka saling memanfaatkan media miliknya demi melanggengkan tujuan politik sang pemilik. Pemberitaan amat keruh saat itu, berkah kebebasan berpendapat di muka umum terasa dinodai. Cerita pertarungannya pun berlanjut mendekati hari H pemilihan presiden.

Tak disangka dan diduga, diera keterbukaan saat itu ada segelintir orang tak bertanggung jawab membuat dan menyebarkan majalah obor. Seperti nama media itu, obor, yang memiliki sifat mencerahkan tetapi jika kekuatan api di obor itu tak mampu dikendalikan dapat merusak semuanya. Itulah karakteristik majalah ini. Majalah itu menghembuskan isu negativ bahkan menjorok pada isu bohong atau fitnah.

Citra Jokowi anjlok dan berdampak pada elektabilitasnya. Persaingan keduanya yang tadinya jelas dimenangkan oleh Jokowi berubah semakin ketat. Prabowo dengan semua kaki tangannya bergerak masif Namun sang pemenang tetaplah mendapatkan hadiahnya, Jokowi diambil sumpahnya untuk mengayomi masyarakat Indonesia.

Dua tahun sudah ia menjabat sebagai presiden resmi namun selama itu pula sebagian masyarakat tidak mengamini sosoknya sebagai presiden. Banyak warga mencibir kinerjanya sebagai pencitraan, lainnya tak mengakui keberadaannya sebagai presiden. Mengapa demikian? Dari sekian banyak orang yang meniadakan keberadaannya, sosok Jokowi dilihat gagal membawa Indonesia ke arah lebih baik.

Contohnya adalah ekonomi dinilai semakin sulit dan lapangan kerja amat langka. Namun fakta paling mencengangkan dari beberapa diskusi saya dengan warga yang berbeda adalah kebanyakan dari mereka merupakan pendukun Prabowo ketika ia bertarung memperebutkan kursi RI 1. Ternyata banyak rakyat belum bisa move on dari palagan saat itu. Jika dilihat, sosok Prabowo adalah tokoh khas militer dengan perawakan tegap dan gagah.

Gestur tubuhnya juga terbentuk dari dunia kemiliteran, tak heran kesan tegas amat melekat pada dirinya. Beberapa orang yang saya tanyai juga mengamini hal ini, jadi bisa ditarik kesimpulan masyarakat Indonesia khususnya Jakarta ada yang memandang seorang tokoh panutannya dari gestur tubuhnya.

Hal inilah yang tidak bisa dimiliki Jokowi, orang kampung khas Jawa yaitu santun, terkesan lembek karena pembawaan orang Jawa kebanyakan adalah lembut dan kurus. Presiden kita memng kurus, apa mau dikata? Aura ketegasan amat sedikit terlihat dari perawakannya ini. Babak belurnya citra sang presiden kala Pilpres terjadi, menambah panjang cerita stigma di masyarakat.

"Seandainya" menjadi satu kata kunci mengawali harapan masyarakat yang pupus. "Seandainya Prabowo jadi presiden" "Seandainya Soeharto masih jadi presiden" yah itulah beberapa kalimat yang sering terlontar. Sosok militer seakan amat kental di lubuk hati masyarakat tapi mereka juga mengutuk tindakan represif militer saat Soeharto berkuasa. Sehingga dapat disimpulkan perawakan pemimpin yang tinggi besar dan tegap masih menjadi figur pemimpin di benak masyarakat.

Sepertinya masih banyak masyarakat, yang saya liat dari kalangan berpendidikan minim dan berafilisasi pada kelompok tertentu, amatlah sulit berfikir jernih dan melupakan semua pertempuran dahsyat tersebut. Walaupun situasi ini tidak asik untuk Indonesia yang ingin belajar berjalan, tapi inilah posisi negara saaat ini. Peran media massa juga memiliki andil besar untuk membentuk sebuah opini.

Seperti yang kita tahu, Pemerintahan Jokowi sering diterpa isu miring. Isu-isu tersebut semakin kencang berhembus kala para oposisi menyampaikan pendapatnya dan terkadang pendapat tersebut amat menjatuhkan pemerintahan. Media massa menjadi corong oposisi menyuarakan aspirasinya. Negara ini memang demokratis, namun demokrasi harus dibarengi dengan peraturan atau setidaknya norma.

Jika kebebasan itu di dilepas liarkan, dapat menyebabkan ketidak stabilan. Dewasa ini, media massa dimiliki oleh konglomerat yang bermain di dunia politik. Sehingga media tersebut menjadi alat propaganda sang pemilik modal, lalu kita sebagai masyarakat yang dijadikan konsumen harus rela mendapatkan berita-berita yang memihak.

Walau keberpihakan itu tidak terlalu kentara namun kita bisa menganalisisnya jika sering melihat produk berita dari berbagai media massa. Setiap media massa memiliki frame atau bingkainya tersendiri di setiap peristiwa. Dari sana kita bisa menafsirkan pesan apa yang sebenarnya ingin ditekankan oleh media tersebut.

Sehingga kita harus menjadi warga cerdas dalam memilah dan memilih produk pers sebagai konsumsi. Warganya ingin sejahtera namun tidak dibarengi dengan aksi nyata. Bagaimana sebuah bahtera bernama Indonesia berjalan sendiri tanpa bantuan teknisi dan anak buah kapal jika keduanya kita gunakan sebagai pengandaian masyarakat?

Bahtera itu tidak akan berjalan sesuai harapan. Sebagai sebuah kesatuan, seharusnya masyarakat dan pemerintah mampu bersinergi agar Indonesia menjadi negara yang lebih baik. Semoga tahun 2017 sinergi dan stigma tentang pemerintah berubah positif dan berbuah manis pada pemerataan pembangunan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun