Mohon tunggu...
Diaz Abraham
Diaz Abraham Mohon Tunggu... Jurnalis - Penyesap kopi, pengrajin kata-kata, dan penikmat senja

Peraih Best Feature Citizen Jurnalis 2017 dari PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) | Sisi melankolianya nampak di Tiktok @hncrka | Narahubung: diazabraham29@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Mempersoalkan Keberpihakan Media, Sama Saja Bertanya Kapan Kiamat Tiba!

10 Oktober 2016   17:28 Diperbarui: 10 Oktober 2016   19:36 1036
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lalu bagaimana keberpihakan itu dilihat dan dirasakan oleh Kompasianer dan pembaca di kompasiana? Padahal seperti analisis yang sudah saya jabarkan tadi, keberpihakan admin terhadap satu pasang calon pemimpin itu sulit terjadi.

Untuk menjawabnya, izinkan saya memberikan sedikit pengetahuan saya tentang hari kiamat. Dahulu, ketika belajar di TPA, saya ingat perkataan guru ngaji saya. Dia mengatakan bahwa kiamat itu tidak bisa diprediksi oleh siapapun.

Kedatangan kiamat itu hanya Tuhan, yang bernama Allah dalam ajaran agama saya yang mengetahui kapan tanggal pastinya. Guru ngaji saya menggambarkan bahwa kiamat akan menghancurkan sesisi jagad raya. Manusia layaknya kapas yang diombang-ambing oleh angin dan sebagainya. Entah penggambaran ini sesuai dengan hari akhir nanti atau tidak, namun yang pasti bagi seorang manusia beragama Islam, saya amat percaya dengan datangnya hari terakhir itu.

Tidak ada satu manusia pun yang tahu soal datangnya kiamat. Selama ini kita hanya menerka tentangnya. Bahkan orang barat sana percaya bahwa kiamat datang pada tahun 2012 namun sang pencipta berkata lain. Bumi masih hidup sampai kini, setidaknya hingga tanggal 6 Oktober 2016 pukul 10:10, hari kedua saya merancang artikel ini.

Kiamat layaknya keberpihakan. Kita selama ini hanya menerka apakah keberpihakan itu benar terjadi atau tidak karena yang kita lihat hanyalah luarnya saja, kita tidak bisa melihat dalamnya. Selama ini kita sebagai penikmat produk pers hanya melihat beritanya tanpa pernah melihat apa yang ada di dalam dapur produksinya dan psikologis si pembuat berita atau admin di Kompasiana. Seperti kiamat, kita hanya melihat buih-buihnya seperti penggundulan hutan, lapisan ozon yang kian menipis, dll.

Sumber Gambar: www.pikirreview.com
Sumber Gambar: www.pikirreview.com
Keberpihakan yang tersirat amatlah sulit diterka. Apalagi dalam media warga macam Kompasiana ini. Bagaimana keberpihakan itu tidak terlihat jika penulisnya adalah warga yang mungkin banyak diantaranya tidak berasal dari jurusan jurnalistik dan tak pernah bekerja sebagai insan pers. Sehingga tidak mengetahui bagaimana kaidah jurnalistik yang di dalamnya mengharamkan keberpihakan dan subjektifitas.

Jadi amat jelas kaitan antara penulis Kompasiana yang sering menuliskan opininya dengan pemilihan admin mengganjar artikel pilihan dan headline. Karena admin memilih artikel terbaik tanpa mengurangi isi artikel dan warga menyampaikan opininya, opini itu adalah lambang subjektifitas penulis, yang bisa saja memiliki tujuan untuk meninggikan atau merendahkan kredibilitas pasangan calon lain.

Dengan kata lain, penilaian keberpihakan hanya Anda, para para penulis dan pembaca yang menentukan. Tapi ada satu proses yang saya belum analisis di sini, yaitu aspek psikologis admin.

Aspek psikologis amatlah penting untuk menentukan bagaimana sesorang dalam bekerja. Aspek psikologis lebih menekankan pada pengalaman pribadi atau sifat pribadi seseorang. Psikologis juga menentukan bagaimana orang itu akan bersikap.

Keberpihakan itu sebenarnya ada di dalam setiap individu. Bagaimana dia memilah dan memilih gaya berpakaian, memilih tujuan, memilih pasangan dan sebagainya. Semua ini merupakan hasil memilih, pemilihan itu meruapakan hasil dari keberpihakan.

Pun begitu dalam menyikapi Pemilu, semua orang punya pilihan jagoan masing-masing. Ada juga yang memilih untuk tidak bersikap lantaran tidak senang dengan pilihan calon yang tersedia. Sekarang, wartawan pun begitu. Walau dia bekerja di bawah naungan media yang di miliki oleh tokoh politik, tidak menyurutkan niatnya untuk memilih calon di luar pasangan yang di dukung oleh atasannya itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun