Tetapi jika dahulu menggunakan sistem demokrasi, pembangunan itu akan sulit terjadi karena banyak kepala yang memikirkan arahnya belum lagi hambatan di parlemen yang tidak menyetujui gagasan pemerintah. Karena Presiden tidak memiliki kekuasaan absolut seperti zaman otoriter, kini DPR kedudukannya setara dengan Presiden.
Dengan teknologi ini, keterbukaan informasi tak bisa di hindarkan. Batasan-batasan geografi bukanlah satu halangan di era modern ini, apalagi didukung dengan perangkat pendukung internet seperti gadget dan komputer, membuat kita semakin mudah menggunakan teknologi ini.
Pembatasan informasi ke masyarakat serta diperkecil celah individu untuk menyuarakan  aspirasinya akan sulit saat ini apa lagi dengan adanya sistem demokrasi yang berbasis pada kebebasan. Contoh nyatanya adalah Uni Soviet yang dulunya dikenal sebagai negara pencetus paham komunis. Kini negara yang dikenal dengan sebutan Rusia telah terbuka dan terseret menggunakan sistem ekonomi kapitalisme layaknya Amerika.
Jadi Indonesia memang tepat menggunakan sistem otoriter ketika negara ini masih dilanda krisis dan sedang mencari jati diri. Tetapi paham ini akan sangat sulit digunakan ketika masyarakat sedang kecanduan "kebebasan".
*Tulisan ini ditunjukan kepada mereka yang skeptis terhadap kondisi Indonesia di masa kini dan beranggapan bahwa Indonesia lebih baik menggunakan sistem otoriter dibanding demokrasi, padahal mereka lupa, informasi yang mudah kota dapat tidak mungkin dirasakan waktu itu.
Pemilu 1955 tidak dilanjutkan sesuai jadwal pada lima tahun berikutnya, 1960. Hal ini dikarenakan pada 5 Juli 1959, dikeluarkan Dekrit Presiden yang membubarkan Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945. Kemudian pada 4 Juni 1960, Soekarno membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, setelah sebelumnya dewan legislatif itu menolak RAPBN yang diajukan pemerintah. Presiden Soekarno secara sepihak melalui Dekret 5 Juli 1959 membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) dan MPR Sementara (MPRS) yang semua anggotanya diangkat presiden.
KA Bogor-Palmerah
15 Septermber 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H