Hal ini terjadi karena RAPBN saat itu tidak di setujui kemudian muncul lah dekrit presiden tanggal 5 Juli 1959 yang mengangkat DPR-Gotong Royong dan MPR Sementara. Seluruh anggotanya dipilih oleh Presiden, pembubarannya pun dilakukan sepihak oleh Presiden.
Sekarang kita berbicara zaman Soeharto, pasca peristiwa G30S keadaan Indonesia sangat memperihatinkan. Seperti yang sudah diutarakan sebelumnya, kondisi masyarakat sangat tidak terkendali. Tetapi pemerintah Soeharto pada waktu itu terlihat tidak peduli.
Lambat laun, ekonomi Indonesia membaik di bawah kekuasaan Soeharto. Dia berhasil memberikan kepercayaan asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Tetapi lagi-lagi, kebebasan sangat di batasi. Kondisi sosial indonesia hampir sama seperti zaman orla bahkan lebih kejam.
Praktik Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme menjadi hal yang lumrah terjadi ketika itu. Konsenterasi pembangunan saat itu hanya terpusat di Pulau Jawa, membuat perekonomian dan pembangunan di wilayah lain tidak merata.
Dari dua kondisi yang menggambarkan Indonesia pada waktu itu jelas terlihat stabilitas politik, ekonomi, dan sistem sosial belum berjalan dinamis. Dibutuhkan sebuah cara untuk menstabilkan kondisi yang ada.
Dibutuhkan pemimpin yang bermental baja dan bertangan besi untuk memperbaiki kondisi tersebut. Cara paling mudah untuk menegaskannya yaitu menggunakan sistem pemerintahan otoriter.
Kekuasaan Presiden menjadi paling tinggi di sistem tersebut sehingga mempermudah Presiden dalam memerintah dan memutuskan kebijakan yang diinginkan sehingga semua sejalan dengan satu gerbong, satu kepala, yaitu presiden. Hal ini dilakukan agar perdebatan di parlemen dan masyarakat tidak menambah runyam situasi Indonesia pada waktu itu.
"Fase ricuh" jika boleh dikatakan menengok kondisi saat itu, tidak mungkin diselesaikan dengan demokrasi. Demokrasi yang berlandaskan pada kekuasaan rakyat dan kebebasan berbicara malah membuat situasi semakin tidak terkendali.
Gelombang unjuk rasa pastilah terjadi di seluruh pelosok negeri tiap harinya. Perdebatan demi perdebatan di parlemen sampai ke akar rumput semakin marak terjadi. Dengan kondisi waktu itu ketika masyarakat yang heterogen tidak dibekali dengan pengetahuan, pastilah mereka mudah di hasut.
Menurut catatan pribadi Presiden Indonesia ke 3, Bacharuddin Jusuf Habibie, yang di bukukan dengan judul Detik-detik yang menentukan, angka masyarakat yang melek huruf hanyalah 15% setelah merdeka  sedangkan saat rezim Soeharto berkuasa selama kurang lebih 32 tahun, terjadi peningkatan menjadi 70%. Jika melihat kondisi sekarang yang notabene masyarakatnya mudah mendapat informasi dan berpendidikan lebih tinggi, masyarakat kita masih mudah di pengaruhi.