Mohon tunggu...
Diaz Abraham
Diaz Abraham Mohon Tunggu... Jurnalis - Penyesap kopi, pengrajin kata-kata, dan penikmat senja

Peraih Best Feature Citizen Jurnalis 2017 dari PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) | Sisi melankolianya nampak di Tiktok @hncrka | Narahubung: diazabraham29@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pentingnya Membaca dan Kebodohan yang Menghantui

19 September 2016   14:10 Diperbarui: 20 September 2016   02:15 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membaca merupakan momok membosankan karena kita hanya melihat tulisan hitam dan putih. Berbeda sengan mengamati diskusi dan menonton Tv, disana kita bisa mendengar dan melihat keadaan di sekeliling apa lagi detemani dengan kopi.Ditambah dengan gaya bahasa yang membosankan dan kata-kata “berat”, membuat saya amat malas untuk membaca buku.

Tetapi lama kelamaan saya tersadar bahwa berdiskusi tanpa membaca maupun menonton tanpa membaca, membuat kita makin bodoh. Saat berdiskusi saya habya bisa berdebat mengenai kulit dari sebuah masalah yang di perdebatkan.

Kurangnya informasi dan pengetahuan membatasi pikiran liar saya untuk berdebat. Praktis, saat berdebat reverensi saya hanyalah Tv yang notabene gaya penyajian beritanya tidak mendalam seperti media cetak macam koran dan buku tentu saja.

Sama seperti tentang diskusi tanpa membaca, ketika sedang menonton perdebatan maupun di Tv kita sulit memprediksi apa saja aspirasi yang masuk akal dan tidak. Sehingga kita tidak menelan mentah-mentah opini tersebut.

Kejengahan dengan Tv dan bantuan rekan sepermainan membuat hubungan saya dengan buku semakin harmonis. Lewat background jurnalistik, saya mengetahui sedikit banyak mengenai borok media khususnya Tv yang sedang kita bicarakan.

Kepemilikan media Tv oleh politikus membuat pemberitaannya di setir oleh si empunya media sehingga berita yang kita liat sehari-hari bukan berita objektif tetapi sesuatu yabg sudah di saring dan di pilah oleh editor. Apalagi tayangan-tayangan di media kini tidak lagi berisi.

Tayangan sinetron dengan aktor maupun aktris berparas cantik dan tampan di tampilkan. Isi dari cerita sinetron itu tak jauh dari kehidupan remaja, kehidupan hedonis, gaya bicara kekinian yang tanpa tendeng aling-aling kata-kata itu keluar dari mulut aktor yang terkesan kasar.

Budaya santun antara orangtua dan anak jarang di tonjolkan. Aksi kekerasan sering di tampilkan seperti tamparan. Pokoknya banyak lagi tayangan yang tidak baik di tv dan sangat memalukan termasuk aksi kekerasan dalam dagelan-dagelan pelawak, itu tidak lucu bung.

Lebih parah lagi ketika KPI dan tentu saja kementerian komunikasi dan informasi sebagai otorita pengawas siaran melarang beredarnya kartun. Hay sebenarnya kalian hidup di dunia nyata atau di dunia fantasi, mosok yang di larang acara-acara imajiner yang merangsang kreatifitas anak sedang acara yang jelas jelas tidak mendidik anak masih dilegalkan?

Pernah saya melontarkan pertanyaan yang barbau sarkasme dalam sebuah acara diskusi yang diadakan oleh KPI di puncak "Mas gw mau nanya, kan dari tadi kita bicara soal apa saja yang tidak boleh di tayangkan salah satunya adalah kekerasan dan seks. Mengapa tinju dan gulat masih di perbolehkan? Padahal itu kekerasan dan membuka aurat kan? Kenapa sinetron yang menampilkan pkaian mini oleh para pemerannya di perbolehkan?" Mungkin karena itu olahraga dan memiliki rulsnya sendiri jadi tidak apa, tapi kalo alasan lainnya kurang tau bro, gua kan bawahan bro," katanya.

Dalam sesi tanya jawab yang tak resmi itu saya melanjutkan pertanyaan "terus kata dosen gw frekuesi siaran itu gak bisa di beli sama swasta dan ada Undang-Undangnya tapi kenapa masih terjadi transaksi jual beli frekuensi?" Dia tidak menjawab dan melanjutkan menyeruput kopinya di tangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun