"Membaca itu penting loh bu," kata seorang perempuan dengan satu buku di tangannya yang berbincang bersama rekannya di angkutan umum pagi tadi pukul 09.38 WIB. "Ia, anak gw aja udah mulai membaca sekarang alhamdulillah walaupun cuma baca novel atau cerpen" kata rekannya yang lain.
Entah mengapa saya langsung terenyuh mendengar percakapan kedua rekanan kerja yang sama-sama menggunakan pakaian dinas pertanian. Jujur saja setelah mendengar percakapan tersebut, saya teringat dengan tulisan Najwa Sihab dalam kolomnya di Kompas.com.
Dalam tulisannya tersebut presenter yang namanya melejit lewat acara mata najwa itu menggambarkan bagaimana kondisi budaya membaca di Indonesia sangat memperihatinkan. Menurut penelitian The Organisation fpr Economic Co-operation and Development (OECD), minat baca Indoneaia berada di peringkat 52 di Asia.
Menurut laporan UNESCO, kemampuan membaca Indonesia hanya 0,001 persen. Dengan kata lain dari 1000 anak Indonesia hanya satu anak yang mampu membaca satu buku sampai habis.
Dari data tersebut dapat di lihat bagaimana minat baca anak Indonesia sangat memprihatinkan. Padahal membaca merupakan jendela dunia.
Lewat membaca kita bisa mengetahui segala informasi yang terjadi pada belahan dunia lain. Membaca mampu menggambarkan kita soal kehidupan masa lampau lewat bacaan sejarah.
Bahkan dengan membaca juga kita bisa memprediksi apa yang akan terjadi pada masa depan lewat disiplin ilmu masing-masing. Jujur saja dahulu, saya tidak suka membaca.
Membaca merupakan modal awal sebelum kita bisa menulis, karena membaca kita mampu menambah khasanah pengetahuan sehingga memperbanyak ide kita untuk menulis. Bahkan, dapat membuat kita mengetahui bidang lain diluar bidang yang kita senangi.
Tulisan yang kita buat akan semakin banyak. Misal, jika Anda suka membaca buku tentang lingkungan, Anda pasti mampu menulis dengan baik tetapi jika anda diberikan tantangan menulis politik pasti akan kesulitan. Hal ini akibat dari kurangnya Anda dalam membaca buku bertema politik.
Selama sekolah, saya amat anti membaca, termasuk membaca komik sekalipun. Saya lebih suka mendengarkan dalam sebuah diskusi dan menarik kesimpulan sebagai ilmu untuk saya pribadi.
Membaca merupakan momok membosankan karena kita hanya melihat tulisan hitam dan putih. Berbeda sengan mengamati diskusi dan menonton Tv, disana kita bisa mendengar dan melihat keadaan di sekeliling apa lagi detemani dengan kopi.Ditambah dengan gaya bahasa yang membosankan dan kata-kata “berat”, membuat saya amat malas untuk membaca buku.
Tetapi lama kelamaan saya tersadar bahwa berdiskusi tanpa membaca maupun menonton tanpa membaca, membuat kita makin bodoh. Saat berdiskusi saya habya bisa berdebat mengenai kulit dari sebuah masalah yang di perdebatkan.
Kurangnya informasi dan pengetahuan membatasi pikiran liar saya untuk berdebat. Praktis, saat berdebat reverensi saya hanyalah Tv yang notabene gaya penyajian beritanya tidak mendalam seperti media cetak macam koran dan buku tentu saja.
Sama seperti tentang diskusi tanpa membaca, ketika sedang menonton perdebatan maupun di Tv kita sulit memprediksi apa saja aspirasi yang masuk akal dan tidak. Sehingga kita tidak menelan mentah-mentah opini tersebut.
Kejengahan dengan Tv dan bantuan rekan sepermainan membuat hubungan saya dengan buku semakin harmonis. Lewat background jurnalistik, saya mengetahui sedikit banyak mengenai borok media khususnya Tv yang sedang kita bicarakan.
Kepemilikan media Tv oleh politikus membuat pemberitaannya di setir oleh si empunya media sehingga berita yang kita liat sehari-hari bukan berita objektif tetapi sesuatu yabg sudah di saring dan di pilah oleh editor. Apalagi tayangan-tayangan di media kini tidak lagi berisi.
Tayangan sinetron dengan aktor maupun aktris berparas cantik dan tampan di tampilkan. Isi dari cerita sinetron itu tak jauh dari kehidupan remaja, kehidupan hedonis, gaya bicara kekinian yang tanpa tendeng aling-aling kata-kata itu keluar dari mulut aktor yang terkesan kasar.
Budaya santun antara orangtua dan anak jarang di tonjolkan. Aksi kekerasan sering di tampilkan seperti tamparan. Pokoknya banyak lagi tayangan yang tidak baik di tv dan sangat memalukan termasuk aksi kekerasan dalam dagelan-dagelan pelawak, itu tidak lucu bung.
Lebih parah lagi ketika KPI dan tentu saja kementerian komunikasi dan informasi sebagai otorita pengawas siaran melarang beredarnya kartun. Hay sebenarnya kalian hidup di dunia nyata atau di dunia fantasi, mosok yang di larang acara-acara imajiner yang merangsang kreatifitas anak sedang acara yang jelas jelas tidak mendidik anak masih dilegalkan?
Pernah saya melontarkan pertanyaan yang barbau sarkasme dalam sebuah acara diskusi yang diadakan oleh KPI di puncak "Mas gw mau nanya, kan dari tadi kita bicara soal apa saja yang tidak boleh di tayangkan salah satunya adalah kekerasan dan seks. Mengapa tinju dan gulat masih di perbolehkan? Padahal itu kekerasan dan membuka aurat kan? Kenapa sinetron yang menampilkan pkaian mini oleh para pemerannya di perbolehkan?" Mungkin karena itu olahraga dan memiliki rulsnya sendiri jadi tidak apa, tapi kalo alasan lainnya kurang tau bro, gua kan bawahan bro," katanya.
Dalam sesi tanya jawab yang tak resmi itu saya melanjutkan pertanyaan "terus kata dosen gw frekuesi siaran itu gak bisa di beli sama swasta dan ada Undang-Undangnya tapi kenapa masih terjadi transaksi jual beli frekuensi?" Dia tidak menjawab dan melanjutkan menyeruput kopinya di tangan.
Tulisan ini jadi ngalor ngidul ya kompasianers, oke balik lagi ke topik literasi. Dalam obrolan di angkutan umum yang akan menghubungkan saya dengan stasiun, Ibu yang mengatakan anaknya sedang suka membaca mengatakan "Anak gw di sekolahnya udah mulai diwajibkan membaca 5 novel per tahun,". Hebat sekali pikir saya dalam hati karena budaya literasi mulai di galakkan.
Acara tahunan ini akan diselenggarakan di Jakarta Convention Center (JCC). Acara ini selalu menampilkan buku dari berbagai penjuru dunia, buku bekas pun ada dengan harga miring pula. Acara ini juga yang membuat saya kecanduan buku akibat keresahan saya akibat media televisi hari ini.
Ayo kita galakan budaya membaca agar kita menjadi lebih cerdas dalam menyikapi setiap persoalan. Selamat membaca dan persiapkan uang anda di acara IIBF nanti.
Oh ia sekedar tips jika ke event IIBF, datang lah ketika hari penutupan acara karena di akhir akan ada banyak dorprize dan harga bukunya sangat miring!!! Sampai jumpa di Senayan ya!
Salam Literasi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H