Mohon tunggu...
Diaz Abraham
Diaz Abraham Mohon Tunggu... Jurnalis - Penyesap kopi, pengrajin kata-kata, dan penikmat senja

Peraih Best Feature Citizen Jurnalis 2017 dari PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) | Sisi melankolianya nampak di Tiktok @hncrka | Narahubung: diazabraham29@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Hikayat Pinggiran Ciliwung yang Tak Seelok Dulu

7 September 2016   19:26 Diperbarui: 8 September 2016   05:02 638
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: pojoksatu.id

Nama Condet sendiri merupakan nama sebuah anak sungai Ciliwung bernama Ci Ondet. Nama Ondet, Ondeh, atau Ondeh-ondeh merupakan nama pohon semacam pohon buni yang buahnya bisa dimakan dengan nama ilmiah Antidesma Diandrum Sprg.

Kakek Oman yang tahun ini berusia 83 tahun, dari kecil tinggal di Condet. Menurutnya pada waktu dahulu aliran Kali Ciliwung sangat bersih dan bening, sampai-sampai dia mampu melihat dasar kali. Bahkan saking bersihnya banyak sekali warga yang mandi, mencuci, dan buang air di sepanjang aliran sungai. Bukan hanya itu, kali Ciliwung menjadi tempat warga mencari makan karena disana masih tersedia udang dan ikan. Ada juga warga yang mencari tutut, siput kecil yang enak untuk dimasak.

Sumber Gambar: merdeka.com
Sumber Gambar: merdeka.com
Karena keganasan manusia yang tanpa henti merusak ekosistem, Kali Ciliwung akhirnya mengamuk pada tanggal 1-2 Februari 2007. Saat itu banjir bandang disertai pasangnya air laut menyandera kehidupan warga Jakarta. Tercatat ada 80 orang meninggal dalam insiden banjir 5 tahunan yang paling parah melanda Jakarta di era modern.

Sang bocah yang menyaksikan sendiri peristiwa bersejarah itu keheranan melihat rumah-rumah di pinggiran kali tidak terlihat lagi, bahkan antenanya pun tak nampak. Arus deras sungai membawa material kayu serta perkakas rumah tangga sebagai bukti pembabatan hutan di daerah Bogor serta pembangunan rumah di sepanjang Bogor hingga Jakarta tak kenal kompromi terhadap alam.

Akhirnya bocah tadi beranjak dewasa, ketika umurnya menginjak 19 tahun, dia kembali ke rumah Alm. Neneknya untuk yang terakhir kali, karena keesokan harinya rumah itu akan rata dengan tanah. Ia mengamati dengan seksama kondisi rumah yang tak terawat tapi masih meninggalkan beberapa barang seperti mesin jahit yang biasa digunakan tantenya untuk bekerja serta Tv yang dulu ia gunakan untuk menonton yang harus di pukul layarnya agar berwarna.

Goresannya di dinding triplek dibawah jendela tempatnya dahulu berimajinasi sebagai ahli biologi itu masih ada bertuliskan "Diaz Sayang Nenek" dan pertanyaan dengan jawaban pilihan ganda "dimanakah nenek setiap pagi memasak? A. Kamar Mandi B. Dapur C. Kamar D. Taman.

Kini bocah itu sudah menjadi tulang punggung keluarga di usia 22 tahun, dia berharap hikayat pinggiran Ciliwung ini tak akan lekang oleh waktu. Setidaknya saat anak cucunya lahir atau jika nyawanya tak sampai kesana, hikayat ini mampu mengingatkan bahwa Jakarta pernah punya alam liar serta pepohonan tinggi dengan satwa didalamnya hidup harmonis dengan manusia. Karena kini, pinggiran Kali Ciliwung merupakan neraka bagi alam karena ulah manusia liar, melebihi keliaran hewan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun