Suara lembut terlontar dari mulut Nenek Rahayu yang sedang melantunkan ayat suci Al-Quran. Berkat suaranya, seorang bocah yang tertidur disampingnya ikut terbabangun dari mimpinya di Minggu pagi.
Seperti biasa, Nenek Rahayu selalu menyempatkan waktunya untuk membaca Al-Quran seusai menjalankan kewajibannya sebagai Umat Islam yaitu shalat ketika mentari menampakkan wajahnya di waktu subuh.
Anak yang tadinya masih berbaring diatas permadani, segera bangkit menuju jendela rumah. Berkat rahmat Tuhan yang memberinya tubuh sintal dan sedikit tinggi, mengharuskannya untuk berdiri diatas kursi demi menggapai jendela.
Setelah berdiri diatas kursi, dengan sigap ia membuka jendela, sebuah hal yang selalu ia nanti ketika menginap di kediaman neneknya. Rumah neneknya berada di Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan persis di seberang Kali Ciliwung dan beseberangan dengan wilayah Condet.
Rumahnya yang cukup tinggi, membuat pemandangan saat melihat aliran Kali Ciliwung begitu indah dengan riak-riak akibat terbentur bebatuan. Tapi pemandangan paling indah di pinggir Ciliwung adalah ketika matahari terbit.
Tak perlu menunggu lama, sang anak langsung kegirangan melihat monyet yang mulai beraktifitas diatas pohon-pohon besar seperti pohon kapuk dan pohon kecapi di pinggir Ciliwung, kelurahan Condet. Sangking girangnya, ia sampai melompat-lompat sambil berteriak "Mbah ada monyet ada monyet!" diatas kursi. Karena ulahnya pula sang nenek yang khusu membaca Al-Quran harus berhenti sejenak menenangkan kegirangan sang cucu.
Tiba-tiba monyet-monyet tadi yang tak terhitung jumlahnya mulai berlompatan dari satu dahan ke dahan lainnya seperti di film Tarzan. Akibat bias cahaya matahari, badan monyet itu terlihat seperti bayangan yang melompat-lompat.
Bocah lima tahunan itu mulai turun dari kursinya dan asyik menonton tv yang sudah dinyalakan oleh sang nenek selagi si cucuk asyik memandangi beberapa koloni monyet. Tak terasa mentari mulai menyengat di kulit tatkala sinarnya masuk dari jendela rumah yang sedari subuh di buka, tiba-tiba suara temannya memanggil dari luar rumah untuk mengajak bermain.
Ajakan itu segera di iyakan, keduanya menuruni tangga yang ada di depan rumah Nenek Rahayu yang menghubungkan warga dengan tepian Kali Ciliwung. ketika berada persis di pinggir aliran air Ciliwung, ada seorang Ibu-ibu bernama Edet memanggil mereka dan mengajak mereka untuk menyeberangi sungai.
Menyeberangi sungai merupakan hal yang biasa untuk mereka, apalagi buah di pohon kecapi banyak yang masak, kedua bocah tadi sangat suka buah kecapi sehingga mengikuti perintah Mak Edet keseberang untuk memunguti buahnya yang telah masak di tanah.
Sesampainya di pinggir, Mak Edet sudah menyiapkan kantung pelastik besar untuk membawa buah kecapi. Kawanan Monyet Ekor Panjang yang tadi dilihat oleh sang bocah mulai mengawasi gerak gerik mereka bertiga dari atas pepohonan yang besarnya sampai menutupi sinar matahari.
Monyet bernama latin Macaca Fascicularis tersebut tidak menyerang mereka. Mungkin monyet dan manusia di tahun 1999 masih bisa bermesraaan satu sama lain untuk saling berbagi habitat tempat tinggal dan tempat mencari makan.
Bocah sintal tadi beranjak dewasa, dirinya beserta orangtua dan adik perempuannya memutuskan pindah dari kontrakan yang berada 500 meter dekat kediaman neneknya, menuju rumah baru berjarak tiga kilometer dari rumah Nenek Rahayu. Sedih bercampur senang, itulah perasaan sang bocah yang pindah rumah ketika duduk dibangku SD kelas 3.
Walau pindah, setidaknya enam bulan sekali ia mengunjungi "kampung halamannya" di Pejaten Barat. Tapi sayang, ketika kembali di suatu waktu, dia melihat tangisan alam yang merindukan perdamaian dengan manusia. Dahulu ketika masih tinggal di rumah kontrakan, sang bocah pernah melihat kejadian langka yaitu buaya yang sedang mengamati ayam di pinggir Kali Ciliwung.
Buaya yang awalnya disangka kayu olehnya tiba-tiba keluar dari dalam alirang sungai dan mengangkat kedua rahangnya ke tanah. Seketika ayam yang sedang asik menikmati makanan di tanah hilang ditelan ganasnya buaya.
Sekarang, yang ia lihat dari dalam rumah dan jendela yang biasa dia gunakan untuk mengamati kegiatan satwa di pinggir sungai hanyalah tumpukan sampah. Pohon besar dan monyet yang dulu bergelantungan disana pun hilang digantikan rumah beratapkan genting coklat.
Habitat para monyet tersebut memang sudah rusak apalagi di Condet, salah satu wilayah yang dilintasi Kali Ciliwung tersebut berubah menjadi pemukiman warga yang amat padat. Pada suatu hari Kakek Oman, Adik Ipar Nenek Rahayu, mengunjungi rumah baru si bocah di daerah Jatipadang.
Si bocah dan sang kakek terlibat pembicaraan mengenai Condet. Menurut Kakek Oman, Condet dulunya disesaki dengan pohon buah-buahan. Biasanya para pedagang buah mengambil rezeki dari sana dan menjualnya di Pasar Minggu.
Itulah sebenarnya cikal bakal ekonomi warga Condet, khususnya warga Pasar Minggu yang dahulu dikenal sebagai penjual buah sekaligus bercocok tanam. Pada tahun 1960-1980an, Pasar Minggu memang dikenal sebagai sentra buah di Jakarta. Saking banyaknya stok buah ketika musim buah tiba, buah-buahan tersebut disalurkan ke pasar lainnya di Jakarta. Maka tak heran ada lagu dengan lirik "Pepaya Mangga Pisang Jambu di bawa dari pasar minggu,"
Pria bermata sayu dengan tinggi sekitar 180 cm menuturkan, dulu banyak sekali ialalang di condet karena tanah lapang masih tersedia cukup luas. Karena banyaknya lahan resapan air, Condet selalu terdapat "ntuk" atau mata air yang muncul begitu saja dari tanah sehingga warga condet dan sekitarnya tidak pernah merasa kekeringan sebelum masuk tahun 2000an.
Nama Condet sendiri merupakan nama sebuah anak sungai Ciliwung bernama Ci Ondet. Nama Ondet, Ondeh, atau Ondeh-ondeh merupakan nama pohon semacam pohon buni yang buahnya bisa dimakan dengan nama ilmiah Antidesma Diandrum Sprg.
Kakek Oman yang tahun ini berusia 83 tahun, dari kecil tinggal di Condet. Menurutnya pada waktu dahulu aliran Kali Ciliwung sangat bersih dan bening, sampai-sampai dia mampu melihat dasar kali. Bahkan saking bersihnya banyak sekali warga yang mandi, mencuci, dan buang air di sepanjang aliran sungai. Bukan hanya itu, kali Ciliwung menjadi tempat warga mencari makan karena disana masih tersedia udang dan ikan. Ada juga warga yang mencari tutut, siput kecil yang enak untuk dimasak.
Sang bocah yang menyaksikan sendiri peristiwa bersejarah itu keheranan melihat rumah-rumah di pinggiran kali tidak terlihat lagi, bahkan antenanya pun tak nampak. Arus deras sungai membawa material kayu serta perkakas rumah tangga sebagai bukti pembabatan hutan di daerah Bogor serta pembangunan rumah di sepanjang Bogor hingga Jakarta tak kenal kompromi terhadap alam.
Akhirnya bocah tadi beranjak dewasa, ketika umurnya menginjak 19 tahun, dia kembali ke rumah Alm. Neneknya untuk yang terakhir kali, karena keesokan harinya rumah itu akan rata dengan tanah. Ia mengamati dengan seksama kondisi rumah yang tak terawat tapi masih meninggalkan beberapa barang seperti mesin jahit yang biasa digunakan tantenya untuk bekerja serta Tv yang dulu ia gunakan untuk menonton yang harus di pukul layarnya agar berwarna.
Goresannya di dinding triplek dibawah jendela tempatnya dahulu berimajinasi sebagai ahli biologi itu masih ada bertuliskan "Diaz Sayang Nenek" dan pertanyaan dengan jawaban pilihan ganda "dimanakah nenek setiap pagi memasak? A. Kamar Mandi B. Dapur C. Kamar D. Taman.
Kini bocah itu sudah menjadi tulang punggung keluarga di usia 22 tahun, dia berharap hikayat pinggiran Ciliwung ini tak akan lekang oleh waktu. Setidaknya saat anak cucunya lahir atau jika nyawanya tak sampai kesana, hikayat ini mampu mengingatkan bahwa Jakarta pernah punya alam liar serta pepohonan tinggi dengan satwa didalamnya hidup harmonis dengan manusia. Karena kini, pinggiran Kali Ciliwung merupakan neraka bagi alam karena ulah manusia liar, melebihi keliaran hewan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI