Sesampainya di pinggir, Mak Edet sudah menyiapkan kantung pelastik besar untuk membawa buah kecapi. Kawanan Monyet Ekor Panjang yang tadi dilihat oleh sang bocah mulai mengawasi gerak gerik mereka bertiga dari atas pepohonan yang besarnya sampai menutupi sinar matahari.
Monyet bernama latin Macaca Fascicularis tersebut tidak menyerang mereka. Mungkin monyet dan manusia di tahun 1999 masih bisa bermesraaan satu sama lain untuk saling berbagi habitat tempat tinggal dan tempat mencari makan.
Bocah sintal tadi beranjak dewasa, dirinya beserta orangtua dan adik perempuannya memutuskan pindah dari kontrakan yang berada 500 meter dekat kediaman neneknya, menuju rumah baru berjarak tiga kilometer dari rumah Nenek Rahayu. Sedih bercampur senang, itulah perasaan sang bocah yang pindah rumah ketika duduk dibangku SD kelas 3.
Walau pindah, setidaknya enam bulan sekali ia mengunjungi "kampung halamannya" di Pejaten Barat. Tapi sayang, ketika kembali di suatu waktu, dia melihat tangisan alam yang merindukan perdamaian dengan manusia. Dahulu ketika masih tinggal di rumah kontrakan, sang bocah pernah melihat kejadian langka yaitu buaya yang sedang mengamati ayam di pinggir Kali Ciliwung.
Buaya yang awalnya disangka kayu olehnya tiba-tiba keluar dari dalam alirang sungai dan mengangkat kedua rahangnya ke tanah. Seketika ayam yang sedang asik menikmati makanan di tanah hilang ditelan ganasnya buaya.
Sekarang, yang ia lihat dari dalam rumah dan jendela yang biasa dia gunakan untuk mengamati kegiatan satwa di pinggir sungai hanyalah tumpukan sampah. Pohon besar dan monyet yang dulu bergelantungan disana pun hilang digantikan rumah beratapkan genting coklat.
Habitat para monyet tersebut memang sudah rusak apalagi di Condet, salah satu wilayah yang dilintasi Kali Ciliwung tersebut berubah menjadi pemukiman warga yang amat padat. Pada suatu hari Kakek Oman, Adik Ipar Nenek Rahayu, mengunjungi rumah baru si bocah di daerah Jatipadang.
Si bocah dan sang kakek terlibat pembicaraan mengenai Condet. Menurut Kakek Oman, Condet dulunya disesaki dengan pohon buah-buahan. Biasanya para pedagang buah mengambil rezeki dari sana dan menjualnya di Pasar Minggu.
Itulah sebenarnya cikal bakal ekonomi warga Condet, khususnya warga Pasar Minggu yang dahulu dikenal sebagai penjual buah sekaligus bercocok tanam. Pada tahun 1960-1980an, Pasar Minggu memang dikenal sebagai sentra buah di Jakarta. Saking banyaknya stok buah ketika musim buah tiba, buah-buahan tersebut disalurkan ke pasar lainnya di Jakarta. Maka tak heran ada lagu dengan lirik "Pepaya Mangga Pisang Jambu di bawa dari pasar minggu,"
Pria bermata sayu dengan tinggi sekitar 180 cm menuturkan, dulu banyak sekali ialalang di condet karena tanah lapang masih tersedia cukup luas. Karena banyaknya lahan resapan air, Condet selalu terdapat "ntuk" atau mata air yang muncul begitu saja dari tanah sehingga warga condet dan sekitarnya tidak pernah merasa kekeringan sebelum masuk tahun 2000an.