Mohon tunggu...
Diaz Abraham
Diaz Abraham Mohon Tunggu... Jurnalis - Penyesap kopi, pengrajin kata-kata, dan penikmat senja

Peraih Best Feature Citizen Jurnalis 2017 dari PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) | Sisi melankolianya nampak di Tiktok @hncrka | Narahubung: diazabraham29@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Jargon "Kick Politics from Our Football" Hanya Dagelan!

1 September 2016   20:55 Diperbarui: 2 September 2016   03:02 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: theguardian.com

Mungkin kalian yang mencintai olah raga tendang menendang bola amatlah terbiasa mendengar kalimat "Kick Politic in Our Football". Kalimat ini merupakan pertanda bahwa para pecinta olahraga ini, termasuk FIFA sebagai induk organisasinya sepak bola seluruh, dunia mengutuk keberadaan politik dalam sepak bola.

Hal ini bukanlah tanpa alasan, politik dinilai sebuah isu yang sangat sensitif bagi setiap negara. Setiap negara memiliki isu ssendiri-sendiri, layaknya perang berkepanjangan antara Palestine dan Israel.

Lihatlah fans Celtic dalam dua kesempatan berbeda, mereka membentangkan bendera Palestina ketika tim kebanggaannya bersua dengan klub asal Israel. Atas aksinya, Celtic dihadiahi sanksi oleh UEFA sebagai induk sepak bola Eropa atas aksinya mendukung perjuangan rakyat Palestina atas penjajahan Israel.

Kejadian ini terlihat sekali bahwa sepak bola di Eropa khususnya, sangat menentang adanya aroma politik. Bagaimana dengan kondisi di Indonesia?

Pertama-tama kita harus berbangga bahwa sepak bola kita sudah mulai bangkit. Walaupun PSSI belum mampu membuat kompetisi resmi, tapi gairah memperbaiki kondisi sepak bola sedikit terasa.

PSSI mulai berbenah dengan berbagai agenda mulai dari mempersiapkan Timnas untuk berlaga di ajang sepak bola ASEAN (AFF) serta Timans U-19. Bukan hanya mempersiapkan Tim, mereka juga mulai membenahi keanggotaan PSSI dengan menyusun rangkaian Kongres Luar Biasa (KLB) mengingat masa aktif pengurus PSSI akan habis.

Dalam KLB pertama, pada Rabu 3 Agustus 2016, nama Hinca Panjaitan disetujui oleh 82 pemilik suara untuk meneruskan masa bakti sebagai PLK Ketum PSSI hingga digelarnya Konferensi Luar Biasa (KLB) PSSI untuk memilih ketum Baru tanggal 17 Oktober 2016. Perlu diingat, La Nyalla Mattalliti yang dulunya menjabat sebagai ketum PSSI telah menjadi tersangka kasus korupsi dana hibah Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Jawa Timur.

Struktur organisasi demokrat seperti link yang ada di dalam teks (dokpri)
Struktur organisasi demokrat seperti link yang ada di dalam teks (dokpri)
Secara otomatis, salah seorang wakilnya yang tak lain adalah Hinca Panjaitan menjadi PLT PSSI. Tunggu dulu, Hinca? Hinca Panjaitan? Apakah Anda mengenal sosok yang satu ini? Mari berselancar di dunia maya yang memberikan banyak informasi.

Silahkan Anda membuka tautan berikut, didalamnya terdapat struktur organisasi Partai Demokrat. Ternyata nama Hinca Panjaitan ada disana, posisinya pun tidak main-main yaitu sebagai Sekertaris Jendral. 

Tetapi ketika melihat berita olahraga di Tv, sebagian besar media memberi label Hinca sebagai PLT PSSI, bukan politikus Demokrat. Dari sana terkesan media menutupi keanggotaan Hinca di partai besutan mantan Presiden SBY.

Saya teringat dengan kasus Lumpur Lapindo, saat kasus ini menyeruak ke peremukaan, seluruh media massa mejadikan peristiwa ini sebagai Head Line di medianya. Sudut pandang berbeda ditunjukan dari pemberitaan ini, termasuk penamaan peristiwa mengerikan tersebut.

Seluruh media masa menyebut peristiwa tersebut sebagai bencana lumpur lapindo, sedangkan Tv One salah satu media massa milik Abu Rizal Bakrie, menyebutnya sebagai lumpur sidoarjo. PT Lapindo Brantas  merupakan perusahaan milikl ARB yang melakukan pengeboran minyak di Sidoarjo, tempat peristiwa keluarnya lumpur dari perut bumi berlangsung. Sehingga, salah satu cara ARB menekan opini warga untuk menyudutkannya dengan menggunakan kata Sidoarjo, bukan nama perusahaan pengeboraannya.

Lalu bagaimana perang memperebutkan kursi PSSI 1? PSSI telah mengumumkan daftar nama calon yang akan bertarung dalam KLB di Sulawesi Selatan. Setidaknya ada tiga nama hingga tanggal 31 Agustus 2016 yang resmi mencalonkan diri, ketiganya adalah Edy Rahmayadi, Moeldoko, dan Erwin Aksa.

Mari kita telisik sepak terjang ketiganya. Edy Rahmayadi dan Moeldoko adalah orang dengan latar belakang militer. Edy merupakan Panglima Komando Cadanagan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrat) yang masih aktif sedangkan Moeldoko merupakan seniornya. Terakhir karier Moeldoko di bidang kemiliteran menjabat sebagai Panglima Jenderal TNI.

Para prajurit memiliki caranya tersendiri dalam bertugas, berbeda dengan pekerja di kantoran, mereka selalu melaksanakan perintah atasannya tanpa bantahan. Lalu, siapakan panglima tertinggi dalam dunia kemiliteran? Jawabnnya tidak lain dan tidak bukan adalah presiden. Bukan tidak mungkin jika keduanya bisa disetir oleh pemerintahan yang sarat akan nuansa politis.

Edy Rahmayadi (waspada.co.id)
Edy Rahmayadi (waspada.co.id)
Lebih parah lagi pemberitaan di media massa yang menyatakan bahwa Mantan Panglima Jenderal Moeldoko telah diberi restu oleh presiden. Secara logika, pemilihan Ketum PSSI dipilih oleh para voters yang terdiri dari Asosiasi Provinsi  di seluruh Indonesia (Asprov), Klub Divisi Utama, Divisi Satu, Divisi Dua, dan Asosiasi Sepak bola yang diakui, keseluruhannya berjumlah 107 pemilih. Lalu apa gunanya restu presiden dalam pemilihan, apalagi Moeldoko sudah tidak menjabat sebagai Panglima Jenderal?

Bagaimana dengan Erwin Aksa? Pria ini bukan orang baru di dunia sepak bola, karena dia pernah mencalonkan diri sebagai waketum PSSI periode 2011-2015. Erwin Aksa tercatat sebagai Wakil ketua Kadin, organisasi yang membuat La Nyalla masuk bui seperti yang sudah diutarakan sebelumnya.

Keponakan Wakil Presiden Jusuf Kalla ini merupakan Direktur Utama konglomerasi dagang di indonesia Timur bernama Bosowa Corp. Sangat mungkin jika pemilik suara di indonesia Timur memilihnya sebagai ketum PSSI 2016-2020.

Apakah Anda ingat Panama Papers? Sebuah skandal penggelapan pajak di panama melalui firma hukum internasional Mossack Fonseca. Erwin Aksa menjadi salah seorang yang masuk dalam daftar orang di Panama papers tersebut. Sayangnya skandal yang menyeret banyak tokoh Indonesia menguap begitu saja di permukaan hingga kini belum ada audit dari pemerintah atas masalah tersebut. walau agak skeptis, tapi bukan tidak mungkin kasus penggelapan pajak yang bisa dibilang penyelewengan jabatan akan kembali terulang jika dia menjadi ketua PSSI kelak.

Jika ditelisik lebih jauh, sejarah mencatat pahlawan sekaliber Tan Malaka menggunakan sepak bola sebagai cara perlawanan bawah tanahnya di Banten Selatan. Tan Malaka membentuk kesebelasan bernama Pantai Selatan.

Tahanan politik Indonesia yang dibuang oleh Kolonialis Belanda di Digul juga melakukan sepak bola. Para tahanan melakukan ini untuk menghilangkan kebosanannya di tanah buangan. Jika tidak begitu mereka akan dihantui oleh rasa frustasi dan depresi.

Mungkin gambaran paling nyata tentang penjajahan yang berbau politis dalam sepak bola dapat dilihat di Barcelona. Barcelona merupakan kota yang dihuni oleh Bangsa Catalan, mereka selalu berusaha membebaskan diri dari Spanyol.

Sumber Gambar: theguardian.com
Sumber Gambar: theguardian.com
Tetapi Jenderal fasis yang berkuasa tahun 1936, Fransisco Franto, membiarkan Kota Barcelona dan FC Barcelona masih berdiri, bahkan sampai sekarang. Hal ini dikarenakan Franto paham bahwa Nou Camp, stadion Barcelona, merupakan tempat yang pas bagi bangsa Catalan untuk meluapkan rasa nasionalismenya.

Pepatah mengatakan “sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui” itulah yang dilakuka Franto, membiarkan sekaligus mengendalikan rasa nasionalisme Catalan dengan memperbolehkan menyuarakan rasa nasionalisme tersebut di lapangan hijau.

“Kick Politic in Our Football” hanyalah dagelan belaka jika meruntut kondisi sekarang, karena tidak bisa dipungkiri, kekuasaan pemerintah dalam bentuk politik telah merasuki sendi-sendi sepak bola bahkan sejak masa penjajahan dulu. Mari kita memperhatikan dunia sepak bola, sebagai sarana murah untuk rakyat mengurangi beban hidup sekaligus mempersempit ruang  politikus mirip tukus yang memakan apapun di depannya termasuk kebahagiaan masyarakat tadi.  

Seperti petikan lirik lagu Iwan Fals berjudul “Mereka Ada di Jalan”

Tiang gawang puing-puing
Sisa bangunan yang tergusur
Tanah lapang hanya tinggal cerita
Yang nampak mata hanya para pembual saja

 Anak kota tak mampu beli sepatu
Anak kota tak punya tanah lapang
Sepak bola menjadi barang yang mahal
Milik mereka yang punya uang saja
Dan sementara kita disini
Di jalan ini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun