Mungkin kalian yang mencintai olah raga tendang menendang bola amatlah terbiasa mendengar kalimat "Kick Politic in Our Football". Kalimat ini merupakan pertanda bahwa para pecinta olahraga ini, termasuk FIFA sebagai induk organisasinya sepak bola seluruh, dunia mengutuk keberadaan politik dalam sepak bola.
Hal ini bukanlah tanpa alasan, politik dinilai sebuah isu yang sangat sensitif bagi setiap negara. Setiap negara memiliki isu ssendiri-sendiri, layaknya perang berkepanjangan antara Palestine dan Israel.
Lihatlah fans Celtic dalam dua kesempatan berbeda, mereka membentangkan bendera Palestina ketika tim kebanggaannya bersua dengan klub asal Israel. Atas aksinya, Celtic dihadiahi sanksi oleh UEFA sebagai induk sepak bola Eropa atas aksinya mendukung perjuangan rakyat Palestina atas penjajahan Israel.
Kejadian ini terlihat sekali bahwa sepak bola di Eropa khususnya, sangat menentang adanya aroma politik. Bagaimana dengan kondisi di Indonesia?
Pertama-tama kita harus berbangga bahwa sepak bola kita sudah mulai bangkit. Walaupun PSSI belum mampu membuat kompetisi resmi, tapi gairah memperbaiki kondisi sepak bola sedikit terasa.
PSSI mulai berbenah dengan berbagai agenda mulai dari mempersiapkan Timnas untuk berlaga di ajang sepak bola ASEAN (AFF) serta Timans U-19. Bukan hanya mempersiapkan Tim, mereka juga mulai membenahi keanggotaan PSSI dengan menyusun rangkaian Kongres Luar Biasa (KLB) mengingat masa aktif pengurus PSSI akan habis.
Dalam KLB pertama, pada Rabu 3 Agustus 2016, nama Hinca Panjaitan disetujui oleh 82 pemilik suara untuk meneruskan masa bakti sebagai PLK Ketum PSSI hingga digelarnya Konferensi Luar Biasa (KLB) PSSI untuk memilih ketum Baru tanggal 17 Oktober 2016. Perlu diingat, La Nyalla Mattalliti yang dulunya menjabat sebagai ketum PSSI telah menjadi tersangka kasus korupsi dana hibah Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Jawa Timur.
Silahkan Anda membuka tautan berikut, didalamnya terdapat struktur organisasi Partai Demokrat. Ternyata nama Hinca Panjaitan ada disana, posisinya pun tidak main-main yaitu sebagai Sekertaris Jendral.
Tetapi ketika melihat berita olahraga di Tv, sebagian besar media memberi label Hinca sebagai PLT PSSI, bukan politikus Demokrat. Dari sana terkesan media menutupi keanggotaan Hinca di partai besutan mantan Presiden SBY.
Saya teringat dengan kasus Lumpur Lapindo, saat kasus ini menyeruak ke peremukaan, seluruh media massa mejadikan peristiwa ini sebagai Head Line di medianya. Sudut pandang berbeda ditunjukan dari pemberitaan ini, termasuk penamaan peristiwa mengerikan tersebut.
Seluruh media masa menyebut peristiwa tersebut sebagai bencana lumpur lapindo, sedangkan Tv One salah satu media massa milik Abu Rizal Bakrie, menyebutnya sebagai lumpur sidoarjo. PT Lapindo Brantas merupakan perusahaan milikl ARB yang melakukan pengeboran minyak di Sidoarjo, tempat peristiwa keluarnya lumpur dari perut bumi berlangsung. Sehingga, salah satu cara ARB menekan opini warga untuk menyudutkannya dengan menggunakan kata Sidoarjo, bukan nama perusahaan pengeboraannya.
Lalu bagaimana perang memperebutkan kursi PSSI 1? PSSI telah mengumumkan daftar nama calon yang akan bertarung dalam KLB di Sulawesi Selatan. Setidaknya ada tiga nama hingga tanggal 31 Agustus 2016 yang resmi mencalonkan diri, ketiganya adalah Edy Rahmayadi, Moeldoko, dan Erwin Aksa.
Mari kita telisik sepak terjang ketiganya. Edy Rahmayadi dan Moeldoko adalah orang dengan latar belakang militer. Edy merupakan Panglima Komando Cadanagan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrat) yang masih aktif sedangkan Moeldoko merupakan seniornya. Terakhir karier Moeldoko di bidang kemiliteran menjabat sebagai Panglima Jenderal TNI.
Para prajurit memiliki caranya tersendiri dalam bertugas, berbeda dengan pekerja di kantoran, mereka selalu melaksanakan perintah atasannya tanpa bantahan. Lalu, siapakan panglima tertinggi dalam dunia kemiliteran? Jawabnnya tidak lain dan tidak bukan adalah presiden. Bukan tidak mungkin jika keduanya bisa disetir oleh pemerintahan yang sarat akan nuansa politis.
Bagaimana dengan Erwin Aksa? Pria ini bukan orang baru di dunia sepak bola, karena dia pernah mencalonkan diri sebagai waketum PSSI periode 2011-2015. Erwin Aksa tercatat sebagai Wakil ketua Kadin, organisasi yang membuat La Nyalla masuk bui seperti yang sudah diutarakan sebelumnya.
Keponakan Wakil Presiden Jusuf Kalla ini merupakan Direktur Utama konglomerasi dagang di indonesia Timur bernama Bosowa Corp. Sangat mungkin jika pemilik suara di indonesia Timur memilihnya sebagai ketum PSSI 2016-2020.
Apakah Anda ingat Panama Papers? Sebuah skandal penggelapan pajak di panama melalui firma hukum internasional Mossack Fonseca. Erwin Aksa menjadi salah seorang yang masuk dalam daftar orang di Panama papers tersebut. Sayangnya skandal yang menyeret banyak tokoh Indonesia menguap begitu saja di permukaan hingga kini belum ada audit dari pemerintah atas masalah tersebut. walau agak skeptis, tapi bukan tidak mungkin kasus penggelapan pajak yang bisa dibilang penyelewengan jabatan akan kembali terulang jika dia menjadi ketua PSSI kelak.
Jika ditelisik lebih jauh, sejarah mencatat pahlawan sekaliber Tan Malaka menggunakan sepak bola sebagai cara perlawanan bawah tanahnya di Banten Selatan. Tan Malaka membentuk kesebelasan bernama Pantai Selatan.
Tahanan politik Indonesia yang dibuang oleh Kolonialis Belanda di Digul juga melakukan sepak bola. Para tahanan melakukan ini untuk menghilangkan kebosanannya di tanah buangan. Jika tidak begitu mereka akan dihantui oleh rasa frustasi dan depresi.
Mungkin gambaran paling nyata tentang penjajahan yang berbau politis dalam sepak bola dapat dilihat di Barcelona. Barcelona merupakan kota yang dihuni oleh Bangsa Catalan, mereka selalu berusaha membebaskan diri dari Spanyol.
Pepatah mengatakan “sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui” itulah yang dilakuka Franto, membiarkan sekaligus mengendalikan rasa nasionalisme Catalan dengan memperbolehkan menyuarakan rasa nasionalisme tersebut di lapangan hijau.
“Kick Politic in Our Football” hanyalah dagelan belaka jika meruntut kondisi sekarang, karena tidak bisa dipungkiri, kekuasaan pemerintah dalam bentuk politik telah merasuki sendi-sendi sepak bola bahkan sejak masa penjajahan dulu. Mari kita memperhatikan dunia sepak bola, sebagai sarana murah untuk rakyat mengurangi beban hidup sekaligus mempersempit ruang politikus mirip tukus yang memakan apapun di depannya termasuk kebahagiaan masyarakat tadi.
Seperti petikan lirik lagu Iwan Fals berjudul “Mereka Ada di Jalan”
Tiang gawang puing-puing
Sisa bangunan yang tergusur
Tanah lapang hanya tinggal cerita
Yang nampak mata hanya para pembual saja
Anak kota tak mampu beli sepatu
Anak kota tak punya tanah lapang
Sepak bola menjadi barang yang mahal
Milik mereka yang punya uang saja
Dan sementara kita disini
Di jalan ini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H