Mohon tunggu...
Diaz Abraham
Diaz Abraham Mohon Tunggu... Jurnalis - Penyesap kopi, pengrajin kata-kata, dan penikmat senja

Peraih Best Feature Citizen Jurnalis 2017 dari PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) | Sisi melankolianya nampak di Tiktok @hncrka | Narahubung: diazabraham29@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Purnama tanpa Bintang

29 Agustus 2016   22:07 Diperbarui: 29 Agustus 2016   22:59 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: lavoz.com.ar/

Waktu menunjukan pukul 0:15 WIB, waktu yang pas untuk menikmati hangatnya kopi dan beberapa batang rokok. Aku mulai keluar dari dalam rumah untuk menikmati sejuknya malam di Kota Jakarta.

Bulan nampak gagah diatas kepala saat leherku menohok ke langit. Bentuknya yang bulat sempurna ditutup dengan beberapa awan.

Malam ini sang bulan tak ditemani oleh hamparan bintang. Nampaknya sang bintang tidak diajak bermain karena beberapa jam sebelumnya hujan sempat mengguyur kota metropolitan tersebut.

Aku yang sebelumnya sudah menyeduh satu bungkus kopi hitam mulai menyalakan rokok. Korek mulai ku keluarkan dari saku celana, tak lupa sebatang rokok sudah berada di sela bibirku.

Gesekan antara batu di korek gas mulai memantikan api, “kreek”, bunyinya yang khas selalu menemani setiap perokok ketika ingin menghisap batangan-batangan rokok. Di ujung rokok tersebut mulai terlihat bara api menyala merah, asap mulai keluar dari mulutku.

Kuhembuskan asap itu kelangit, asap tersebut cepat tersapu oleh angin yang bertiup perlahan. Malam minggu kali ini terasa menjemukan, karena tak ada yang bisa kuajak untuk menikmati hari libur.

Memang, sebagian besar pekerja memanfaatkan hari liburnya dengan beristirahat di rumah. Tetapi aku tidak suka berdiam di rumah, aku lebih suka berinteraksi dengan orang lain serta menikmati suasana baru untuk melepas penat yang ditimbulkan dari rutinitas pekerjaan yang menjemukan.

Maklum saja, teman-teman ku yang lain juga memiliki rutinitas berbeda. Aku yang kini genap berusia 25 tahun mulai ditinggalkan oleh rekan sejawat karena alasan pekerjaan dan keluarga yang sudah mereka bina. Pasangan ku? Ah jangan ditanyakan, aku sudah lama tidak merasakan hangatnya percintaan sejak 3 tahun lalu.

Kandasnya hubungan kala itu membuat aku urung membuka lembaran baru di dunia percintaan. Sangat menyakitkan ketika kita sudah saling kenal, sebuah konsep pernikahan telah dibicarakan, dan orangtua ku telah menganggapnya seperti anak sendiri tetapi lagi-lagi semuanya lenyap begitu saja. Luka itu masih mendarah daging diujung hati.

Aku kembali menghisap dalam rokok ku, tak terasa abunya sudah panjang menempel di ujung rokok. Ternyata lamunan ku terlalu lama dan angin terus menyambar rokok ku. Alhasil, hanya abu yang menutupi bara api di ujung rokok, ini sebuah kerugian bagi perokok karena jatah hisapannya telah dipotong oleh angin.

Karena dirasa sudah cukup dingin, cangkir mulai ku dekatkan ke mulut dengan tangan kanan ku, aliran kopi mulai masuk ke tenggorokan. Shhh aaahhh, Rasa hangatnya masih terasa. Kuletakkan kembali secangkir kopi itu di tempat semula, diatas toren berwarna biru disamping tempat ku bersandar dengan tembok.

Bola mata ku nakal melihat rokok, aku jadi teringat 4 tahun lalu ketika Dina marah besar karena aku yang selalu membandel dengan rokok. "Perempuan mana yang sudi melihat pasangannya sakit akibat rokok. Lihat baru satu hari kita bersama, tapi kamu sudah menghabiskan 3 bungkus rokok!?" Katanya lantang.

Aku hanya terdiam kala itu di sebuah kamar yang kami sewa ketika berlibur ke Kota Batu, Malang. Udara dinginnya tak kuasa membuat ku untuk merokok, padahal aku tau bahwa dia tidak suka aku merokok begitu banyak.

Aku sadar, merokok itu banyak merugikannya dibanding manfaatnya. Namun aku sudah kecanduan sejak SD, kebiasaan itu sulit aku hilangkan. Mungkin seandainya tahun 1986 media masa sudah secanggih sekarang, nama ku sudah terpampang di halaman utama media dengan judul "Bocah SD kelas 1 Sudah Merokok 2 Bungkus per Hari".

Dina merupakan orang yang aku kenal ketika menjadi panitia musyawarah mahasiswa (Musma) komunikasi. Pada hari Sabtu 25 Desember 2010, ketua panita bernama Rian mengumpulkan para panitia di selasar Universitas Harapan Bangsa (UHB).

Seluruh anggota mulai saling memperkenalkan diri, sampai tiba saat diriku berkenalan dengannya. “Faris, kataku sambil mengulurkan tangan kepada Dina. Kemudian Dina menyambar permintaan jabat tangan ku dengan mengulurkan tangan kanannya, aku Dina kak, sambil melemparkan senyum manisnya,”.

Kembali ku seruput kopi hitam di atas pinggiran toren tadi, panasnya mulai berkurang diterpa angin yang yang berhembus kencang. Walaupun tidak sepanas seperti pertama aku meminumnya, suhunya masih terasa di tenggorokan.

Rokok di tangan kiri kembali ku hisap, saking panjangnya abu yang menempel di ujung bara api, dengan sendirinya abu itu terjatuh ke genting rumah yang persis dibawah kaki kiri ku. Kembali aku mengenang kedekatan dengan Dina 6 tahun lalu di tahun 2010, mengacu pada tahun aku menulis catatan kecil ini.

Aku yang sangat membenci organisasi diminta oleh Ketua Prodi Ilmu Komunikasi untuk masuk ke pengurusan Himpunan Mahasiswa Komunikasi periode 2010-2011. Alasannya mudah, karena masuk kesebuah organisasi kita tidak bisa bergaul, mengapa? Karena kita dipaksa untuk tunduk dengan ideologi organisasi yang kita ikuti dan setiap organisasi memiliki ideologinya masing-masing. Sehingga sangat sulit untuk menemukan titik temu jika kita berbicara dengan penganut organisasi lain.

Di UHB banyak sekali organisasi ekstra kampus yang berhaluan Islam tulen macam HMI, atau Islam yang mengusung penghormatan kepada seluruh agama macam PMII. Ada pula organisasi yang dipayungi oleh parpol macam Liga Mahasiswa Nasdem bahkan organisasi berhaluan "kiri" macam HAMAS juga tersedia disana. Saking kirinya, ada anggota Hamas berkata "seandainya khotbah Jumat bisa di Interupsi, gue bakal masuk mesjid dan mengkritik kata-kata sang penceramah".

Perdebatan didalam ruang Ka. Prodi terjadi antara aku dan Ibu Yayu, selaku Kaprodi Komunikasi. Akhirnya aku luluh, dia menjelaskan organisasi intra kampus berbeda dengan organisasi ekstra. Organisasi Intra kampus macam Himakom bergerak untuk memberikan edukasi dan kegiatan bagi mahasiswa.

Sementara keseganan untuk masuk dalam kepengurusan Himakom lantaran ketuanya yang terpilih bernama Rahayu berasal dari organ HMI. Jelas ini teramat sulit, karena aku tidak menampik, haluan politik yang aku anut adalah "kiri". Sempat pula aku menganut atheis, karena sering mengkaji ayat demi ayat lewat akal serta membaca buku tokoh terkenal macam Tan Malaka, Marx, dan Lenin.

Hanya emblem, ia emblem yang aku incar. Maklum lah, karena melihat rekan-rekan dengan emblem banyak di kedua lengan irilah hati ini, ingat aku itu tidak ikut ke organisasi manapun walaupun punya teman serta sering kali diajak untuk berafiliasi dengan organ tertentu, aku selalu menampiknya dengan alasan sama.

Pertemuan dengan Dina menjadi titik balik perubahan arah keyakinan. Dina merupakan wanita cerdas dengan kedalaman ilmu agama yang melebihi diriku tentu saja. Aku yang tak pernah Shalat dan mengaji sejak lulus SMA, walaupun ketika SD telah merampungkan seluruh bab di Al Kitab.

Pada siang hari yang terik, usai rapat Himakom, Dina keluar dari ruangan rapat. Tubuhnya yang tinggi semampai memberikan kemolekannya tersendiri ketika berjalan. Dia berjalan ke arah ku yang sedang duduk di kursi kayu disebelah ruangan.

Dina ternyata ingin sholat dan mengajak ku. Aku ragu untuk meng iyakan ajakan itu, tapi hati kecil ku berbisik untuk mengikuti ajakan tersebut. Akhirnya kami berdua menyusuri lorong selasar lantai III untuk melakukan prosesi khusuk tersebut. Untung saja bacaan shalat plus surat pendeknya masih nyangkut di otak.

Sejak saat itu tembok hati yang dulunya kokoh dibentengi dengan pikiran tak bertuhan perlahan tapi pasti kian runtuh. Hati kecil yang tadinya terasa hampa mulai terisi dengan ajaran Tuhan. Telah lama disadari, hati ini terasa sunyi, seakan ada partikel kecil yang mengilang dan ternyata partikel kecil itu adalah siraman rohani dari agama.

Cinta itu memuncak ketika kami melakukan sedikit permainan di semester IV sedangkan Dina menginjak semester III, kami berjanji untuk saling mengalahkan dalam perolehan Indeks Prestasi. Perlu digaris bawahi, aku itu orangnya pemalas dan nilai mata kuliah Ilmu Komunikasi yang notabene adalah ilmu dasar bagi seorang calon wartawan, haruslah di kuasai tetapi apa mau dikata, kemalasan telah menjangkiti langkah kaki menuju ruang kelas. Karena otak ini selalu mengendalikan kedua kaki untuk berbelok arah menuju kantin, tempat paling nikmat guna menenggak secangkir kopi hitam dan beberapa batang rokok serta menyantap kudapan asik dari beberapa tokoh "kiri" populer melalui buku-bukunya.

Tetapi saat perjanjian itu diikrarkan, aku sangat ambisius untuk mengalahkan Dina yang memiliki IP selalu diatas 3,5. Tapi kali ini aku mampu menjawab suara sumbang dari mulut para dosen yang sering berkata "Fais, masuk kelas lah jangan males ke kelas. Kapan lu mau lulusnya?". Tak disangka IP kali ini terbilang sangat tinggi yaitu 3,75 mengalahkan IP Dina yang terpaut 0,03 point.

Sesuai perjanjian Dina meneraktir berbuka puasa dan menonton, saat itu film yang kami pilih adalah X-Men. Saat menunggu studia di buka, kami duduk di sofa di depan studio XXI di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan.

Dari sana kami tukar cerita, termasuk cerita yang telah aku untaikan di catatan kecil ini. Kami tak mengindahkan keberadaan pengunjung lain di sudut-sudut sofa, yang kami rasakan saat itu hanyalah kami yang memiliki ruangan tersebut.

Dina hanya mengangguk lalu memandangi ku tanpa memberikan tanggapan saat aku bercerita, mungkin dia bingung harus berkata apa lagi. Walau udara disana dingin, tapi semuanya terasa hangat entah kenapa. Ada sesuatu yang menggelitik di lubuk jiwa, nampaknya ini cinta.

Mungkin benar, cinta itu datang tak terduga tak dirasa dan tidak ada alasannya. Cinta itu juga yang membuat ku hancur sampai tak berbentuk kini.

Suara dangdut masih berdentuman, kali ini waktu menunjukan pukul 00.37, tak terasa rokok di tangan kiri ku telah habis disambar angin. Kembali aku sulut keretek kedua.

Lagi-lagi, sosok Dina belum bisa dilupakan. Karena disini, di balkon rumah, banyak kenangan tersaji antara kami berdua. Ditempat ini kami saling intropeksi dan berbicara lebih dekat, karena aku tidak terlalu suka berbicara yang intim di tempat umum. tangis dan tawa menjadi penghias balkon ini, balkon ini menjadi saksi bisu perjalanan cinta kami.

Cinta kami diiringi kesederhanaan. Kami selau bahagia walau merayakan 2 tahun hubungan kami di warung kopi, melewati hari ulangtahun yang hampir bersamaan di kebun binatang, miskin? Oh tidak, kami sadar uang di dompet kami bukan hasil jerih payah sendiri sehingga tak perlu dibanggakan dengan bepergian ke tempat mewah ditengah gemerlapan cahaya serta gencarnya postingan di instagram tentang tempat-tempat yang ngehits.

Tanggal 15 Okober menjadi tanggal spesial bagi kami, karena tepat saat itu kami saling berjanji untuk bersama. Sialnya, sejak saat itu banyak yang menyinyir hubungan kami. Banyak teman bahkan teman dekat tidak suka dengan hubungan ku bersama Dina dengan berbagai alasan intinya adalah aku dan dia tidak cocok.

Tapi semuanya tidak pernah aku hadapi dengan omongan tapi dengan tindakan. Seperti kata W.S Rendra, "Kesadaran adalah matahari, Kesabaran adalah bumi, Keberanian adalah cakrawala, Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata,". Aku memperjuangkan kata-kata ku untuk bersamanya dan terus berjuang bersamanya walaupun banyak cibiran dari kanan kiri. Semua omongan nyinyir tadi kubalas dengan tindakan terus bersamanya hingga banyak yang berkata "wah kalian romantis ya".

Amat disayangkan, perjuangan hanya bisa terwujud selama tiga tahun. Dina meninggalkan ku dengan alasan aneh, yaitu karena dia merasa tidak bisa menjadi yang terbaik untuk ku. Dina meninggalakn begitu saja diriku ditengah pergolakan batin antara bertuhan dan tidak, antara rencana yang sudah dipikirkan, dan angan masa depan rumah tangga kami kelak.

Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara lolongan anjing, lolongannya terdengar sebagai sebuah kesedihan. Sama seperti perasaan yang aku rasakan kini. Hanya kesendirian dan kesedihan yang aku rasa.

Bagaimana bisa aku memejamkan mata kala malam datang jika bayangalnya selalu menghantui. Ornamen-ornamen kamar yang dijejali barang pemberiannya selalu mengintai pejaman mata ku sehingga keduanya malas untuk terlelap. Pikirkan lah jika didalam kamar mu selalu mencium wangi yang sama dengan orang yang telah hilang dari hidup, itu juga yang mengganggu malam-malam ku selama tiga tahun. Bagaimana bisa kalian tidur diatas bantal yang tertera wajah kalian dan pasangan, itu juga yang aku rasakan.

Pukul 01.00 Dangdut berhenti, Purnama masih hilang ditengah kepulan awan. Aku mulai mencoba menyadari situasi, purnama tak pernah menghardik Tuhan kala dipisahkan oleh bintang, purnama juga tak menyesal sendirian mungkin dia tau bintang sedang menjalani hidupnya di belahan bumi bagian lain dengan riang tanpa bantuan purnama.

Aku mencoba memahami hal ini, karena tiga tahun belakangan aku selalu menghardik Tuhan, seakan-akan benteng yang kokoh bertuliskan “anti Tuhan” ingin membangun dinastinya lagi. Selama tiga tahun itu juga batinku terus bergolak antara bertuhan dan tidak.

Rokok yang aku pegang ditangan kiri kubuang ke tanah dan membiarkan gelas berisi kopi tetap diatas toren. Aku mulai berdiri dan mengintruksikan kaki untuk melangkah ke sebuah pintu, dan berharap didepan pintu tersebut ada kebahagiaan untuk ku dan Dina di kemudian hari seraya purnama dengan bintang di malam ini yang ikhlas, purnama yakin sang bintang yang biasa menemani malam-malamnya sedang bermahkotakan kebahagiaan di belahan bumi lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun