Mohon tunggu...
Diaz Abraham
Diaz Abraham Mohon Tunggu... Jurnalis - Penyesap kopi, pengrajin kata-kata, dan penikmat senja

Peraih Best Feature Citizen Jurnalis 2017 dari PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) | Sisi melankolianya nampak di Tiktok @hncrka | Narahubung: diazabraham29@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Purnama tanpa Bintang

29 Agustus 2016   22:07 Diperbarui: 29 Agustus 2016   22:59 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hanya emblem, ia emblem yang aku incar. Maklum lah, karena melihat rekan-rekan dengan emblem banyak di kedua lengan irilah hati ini, ingat aku itu tidak ikut ke organisasi manapun walaupun punya teman serta sering kali diajak untuk berafiliasi dengan organ tertentu, aku selalu menampiknya dengan alasan sama.

Pertemuan dengan Dina menjadi titik balik perubahan arah keyakinan. Dina merupakan wanita cerdas dengan kedalaman ilmu agama yang melebihi diriku tentu saja. Aku yang tak pernah Shalat dan mengaji sejak lulus SMA, walaupun ketika SD telah merampungkan seluruh bab di Al Kitab.

Pada siang hari yang terik, usai rapat Himakom, Dina keluar dari ruangan rapat. Tubuhnya yang tinggi semampai memberikan kemolekannya tersendiri ketika berjalan. Dia berjalan ke arah ku yang sedang duduk di kursi kayu disebelah ruangan.

Dina ternyata ingin sholat dan mengajak ku. Aku ragu untuk meng iyakan ajakan itu, tapi hati kecil ku berbisik untuk mengikuti ajakan tersebut. Akhirnya kami berdua menyusuri lorong selasar lantai III untuk melakukan prosesi khusuk tersebut. Untung saja bacaan shalat plus surat pendeknya masih nyangkut di otak.

Sejak saat itu tembok hati yang dulunya kokoh dibentengi dengan pikiran tak bertuhan perlahan tapi pasti kian runtuh. Hati kecil yang tadinya terasa hampa mulai terisi dengan ajaran Tuhan. Telah lama disadari, hati ini terasa sunyi, seakan ada partikel kecil yang mengilang dan ternyata partikel kecil itu adalah siraman rohani dari agama.

Cinta itu memuncak ketika kami melakukan sedikit permainan di semester IV sedangkan Dina menginjak semester III, kami berjanji untuk saling mengalahkan dalam perolehan Indeks Prestasi. Perlu digaris bawahi, aku itu orangnya pemalas dan nilai mata kuliah Ilmu Komunikasi yang notabene adalah ilmu dasar bagi seorang calon wartawan, haruslah di kuasai tetapi apa mau dikata, kemalasan telah menjangkiti langkah kaki menuju ruang kelas. Karena otak ini selalu mengendalikan kedua kaki untuk berbelok arah menuju kantin, tempat paling nikmat guna menenggak secangkir kopi hitam dan beberapa batang rokok serta menyantap kudapan asik dari beberapa tokoh "kiri" populer melalui buku-bukunya.

Tetapi saat perjanjian itu diikrarkan, aku sangat ambisius untuk mengalahkan Dina yang memiliki IP selalu diatas 3,5. Tapi kali ini aku mampu menjawab suara sumbang dari mulut para dosen yang sering berkata "Fais, masuk kelas lah jangan males ke kelas. Kapan lu mau lulusnya?". Tak disangka IP kali ini terbilang sangat tinggi yaitu 3,75 mengalahkan IP Dina yang terpaut 0,03 point.

Sesuai perjanjian Dina meneraktir berbuka puasa dan menonton, saat itu film yang kami pilih adalah X-Men. Saat menunggu studia di buka, kami duduk di sofa di depan studio XXI di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan.

Dari sana kami tukar cerita, termasuk cerita yang telah aku untaikan di catatan kecil ini. Kami tak mengindahkan keberadaan pengunjung lain di sudut-sudut sofa, yang kami rasakan saat itu hanyalah kami yang memiliki ruangan tersebut.

Dina hanya mengangguk lalu memandangi ku tanpa memberikan tanggapan saat aku bercerita, mungkin dia bingung harus berkata apa lagi. Walau udara disana dingin, tapi semuanya terasa hangat entah kenapa. Ada sesuatu yang menggelitik di lubuk jiwa, nampaknya ini cinta.

Mungkin benar, cinta itu datang tak terduga tak dirasa dan tidak ada alasannya. Cinta itu juga yang membuat ku hancur sampai tak berbentuk kini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun